Minggu, 29 September 2013

TINJAUAN TENTANG PEMBERDAYAAN SOSIAL

Pemberdayaan yang diadaptasikan dari istilah empowerment berkembang di Eropa mulai abad pertengahan, dan terus berkembang hingga diakhir 70-an, 80-an, dan awal 90-an. Konsep pemberdayaan tersebut kemudian mempengaruhi teori-teori yang berkembang belakangan. Jika dilihat dari proses operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan memiliki dua kecenderungan, antara lain : pertama, kecenderungan primer, yaitu kecenderungan proses yang memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan (power) kepada masyarakat atau individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi


Kedua, kecenderungan sekunder, yaitu kecenderungan yang menekankan pada proses memberikan stimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Dua kecenderungan tersebut memberikan (pada titik ekstrem) seolah berseberangan, namun seringkali untuk mewujudkan kecenderungan primer harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu. Beberapa pandangan tentang pemberdayaan masyarakat, antara lain sebagai berikut : (Ife, 1996:59)

  1.  Struktural, pemberdayaan merupakan upaya pembebasan, transformasi structural secara fundamental, dan eliminasi struktural atau sistem yang operesif.
  2. Pluralis, pemberdayaan sebagai upaya meningkatkan daya sesorang atau sekelompok orang untuk dapat bersaing dengan kelompok lain dalam suatu ’rule of the game’ tertentu.
  3. Elitis, pemberdayaan sebagai upaya mempengaruhi elit, membentuk aliniasi dengan elit-elit tersebut, serta berusaha melakukan perubahan terhadap praktek-praktek dan struktur yang elitis.
  4. Post-Strukturalis, pemberdayaan merupakan upaya mengubah diskursus serta menghargai subyektivitas dalam pemahaman realitas sosial.
Hakikat dari konseptualisasi empowerment berpusat pada manusia dan kemanusiaan, dengan kata lain manusia dan kemanusiaan sebagai tolok ukur normatif, struktural, dan substansial. Dengan demikian konsep pemberdayaan sebagai upaya membangun eksistensi pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, pemerintah, negara, dan tata dunia di dalam kerangka proses aktualisasi kemanusiaan yang adil dan beradab. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people centred, participatory, empowering, and sustainable” (Chambers, 1995).

Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan  lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa yang  lalu. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara lain oleh Friedman (1992) disebut sebagai alternative development, yang menghendaki ‘inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenerational equaty”.

(Ginanjar K., “Pembangunan Sosial dan Pemberdayaan : Teori, Kebijaksanaan, dan Penerapan”, 1997:55) Konsep pemberdayaan masyarakat ini muncul karena adanya kegagalan sekaligus harapan. Kegagalan yang dimaksud adalah gagalnya model-model pembangunan ekonomi dalam menanggulangi masalah kemiskinan dan lingkungan yang berkelanjutan. Sedangkan harapan, muncul karena adanya alternatif pembangunan yang memasukkan nilai-nilai demokrasi, persamaan gender, dan pertumbuhan ekonomi yang memadai. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakanan. Dengan kata lain, pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.

Dalam upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu ; pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena jika demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasikan, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.

Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya. Dalam rangka pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf  pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar.

Masukan berupa pemberdayaan ini menyangkut pembangunan prasarana dan sarana dasar fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada lapisan paling bawah, serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di perdesaan, dimana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya amat kurang. Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena program-program umum yang berlaku tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini.

Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. 

Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat didalamnya. Yang terpenting disini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan, pengamalan demokrasi.

Friedman (1992) menyatakan “The empowerment approach, which is fundamental to an altenative development, places the emphasis an autonomy in the decesion marking of territorially organized communities, local self-reliance (but not autachy), direct (participatory) democracy, and experiential social learning.

Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah.

Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity). Karena, pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertikarkan dengan pihak lain). Dengan demikian tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan.

1.   Definisi Pemberdayaan
Upaya pembangunan sosial pada dasarnya merupakan suatu upaya pemberdayaan masyarakat. Bagi seorang pelaku perubahan, hal yang dapat dilakukan terhadap klien mereka (baik pada tingkat individu, keluarga, kelompok ataupun komunitas) adalah upaya memberdayakan (mengembangkan klien dari keadaan tidak atau kurang berdaya menjadi mempunyai daya) guna mencapai kehidupan yang lebih baik.
Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat mampu menguasai (berkuasa atas) kehidupannya (Suharto,1997:215). 

Selanjutnya Craig dan Mayo dalam Huraira (2006) mengatakan bahwa konsep pemberdayaan termasuk dalam pengembangan masyarakat dan terkait dengan konsep-konsep : kemandirian (self help), partisipasi (participation), jaringan kerja (networking), dan pemerataan (equty).

Pemberdayaan adalah upaya membangun daya saing, dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan aksi yang dimiliki masyarakat serta berupaya untuk mengembangkannya (Kartasasmita 1996). Selanjutnya pemberdayaan menurut Suharto (2005) menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam :

  1. Memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom, dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan)
  2. Menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan.
  3. Berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.
Pendapat Suharto (2005) tersebut mengisyaratkan bahwa pemberdayaan sangat identik dengan kebebasan atau bisa diartikan sebagai sebuah kemerdakaan. Artinya secara normatif kebutuhan dasar dan kebutuhan untuk mengeksplorasi diri seseorang juga perlu di beri kebebasan. Kemudian diberi kemudahan dalam mengakses sumber-sumber pelayanan serta secara politik, diberi kebebasan untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan yang dimulai dari proses perencanaan sampai pada tahap evaluasi.

Soetarso (1994) menjelaskan bahwa pemberdayaan masyarakat pada hakikatnya mempunyai dua pengertian yang saling berkaitan, yaitu :

  1. Peningkatan kemampuan, motivasi dan peran semua unsur masyarakat agar dapat menjadi sumber yang langsung untuk mendukung semua bentuk usaha kesejahteraan sosial.
  2. b.Pemanfaatan sumber masyarakat yang telah ditingkatkan kemampuan, motivasi dan perannya.

Pendapat Soetarso (1994) tersebut memberi gambaran bahwa letak pemberdayaan masyarakat adalah pada peningkatan kemampuan baik secara individu , organisasi maupun masyarakat, sehingga individu atau masyarakatlah yang secara langsung menjadi sumber pelayanan sosial. Berikutnya adalah pemanfaatan sumber masyarakat yang telah ditingkatkan kemampuan, motivasi dan perannya yang berkaitan dengan pemahaman lingkungan. Artinya, pemberdayaan masyarakat harus memahami karakteristik sumber dilingkungan sosial budaya setempat Selain itu pemberdayaan masyarakat juga dapat dilakukan melalui pemberian informasi kepada masyarakat secara terus-menerus. Sebagai contoh, menjelaskan apa saja yang dimaksudkan dengan masalah sosial dan bagaimana pengaruh negatifnya terrhadap kehidupan masyarakat. Selanjutnya usaha-usaha apa saja yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Hal ini tentunya sangat penting untuk dilakukan agar individu atau masyarakat memiliki kesadaran serta dapat memahami sebab dan akibat dari sebuah tindakan yang dilakukan.

Dari pendapat Suharto (2005) dan Soetarso (1994), terlihat adanya perbedaan mengenai pemberdayaan itu sendiri. Pendapat Suharto (2005) menitikberatkan pada sebuah kebebasan baik bebas mengemukakan pendapat, kelaparan, kebodohan dan kesakitan. Pendapat ini lebih cenderung bahwa seseorang memiliki kebebasan untuk memperoleh kebutuhan dasar, pelayanan sosial serta secara politik diberi kebebasan dalam mengemukakan pendapat. Sedangkan pendapat Soetarso (1994), adalah memberikan pemahaman tentang pemberdayaan bahwa individu, organisasi ataupun masyarakat diberi kemampuan, dimotivasi sehingga dapat menjadi sumber yang mapan atau langgeng dalam rangka mendukung usaha kesejahteraan sosial. Apabila warga masyarakat baik perseorangan maupun dalam kelompok atau organisasi yang belum aktif dalam usaha kesejahteraan sosial, maka dianggap tidak mengerti tentang masalah sosial dan pengaruhnya didalam masyarakat, tidak mengerti tentang usaha kesejahteraan sosial atau karena alasan lain.

Menurut Cornell University Empowerment Group dalam Saleebey (1992), mengartikan pemberdayaan sebagai berikut :
“suatu proses yang disengaja dan berlangsung secara terus menerus yang dipusatkan di dalam kehidupan komunitas lokal, meliputi: saling menghormati, sikap refleksi kritis, adanya kepedulian dan partisipasi kelompok, yang melaluinya masyarakat yang merasa kurang memiliki secara bersama sumber-sumber yang berharga menjadi memperoleh akses yang lebih besar untuk mendapatkan dan mengontrol sumber-sumber tersebut”.

Jika kita menyimak konsep tersebut, dapat menggambarkan bahwa pemberdayaan sebagai suatu proses atau upaya yang secara sengaja dilaksanakan secara terus menerus atau berkelanjutan. Upaya tersebut dibatasi pada skala kehidupan komunitas lokal yang tercermin dalam sikap-sikap, partisipasi, kemampuan, serta sumber-sumber yang ada dalam masyarakat lokal yang pada akhirnya merupakan upaya dalam rangka mengakses dan mendayagunakan sumber-sumber yang ada demi kepentingan masyarakat lokal setempat.

Menurut World Bank (2002) ada berbagai model pemberdayaan yang ditujukan pada masyarakat miskin, namum pada intinya pemberdayaan menekankan pada empat elemen penting, yaitu: (1) access to information, (2) inclusion and participation, (3) accountability, (4) local organization capacity. Access to information, agar pemberdayaan kelompok miskin berjalan dengan baik, maka informasi dari pemerintah kepada kelompok miskin dan dari kelompok miskin kepada pemerintah harus berjalan dengan sinergi dan lancar. 

Dengan proses informasi seperti ini akan tercipta pemberdayaan yang efektif, karena program-program pemerintah akan menjadi kebutuhan masyarakat miskin. Inclusion and participation, artinya pentingnya keterlibatan kelompok miskin dalam proses pemberdayaan termasuk didalamnya adalah perencanaan. Accountability, bahwa dalam pemberdayaan, seorang pejabat pemerintah harus dapat mempertanggungjawabkan segala kebijakan, tindakan, program dan anggaran atau dana yang digunakan secara akuntabel atau dapat dipertanggungjawabkan sehingga upaya program yang dilakukan akan berhasil dengan baik. Kemudian local organivation capacity, artinya dalam proses pemberdayaan sangat perlu adanya mengembangkan dan mengorganisasikan kemampuan masyarakat lokal setempat. Hal ini akan lebih memandirikan masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup mereka.

Pengertian Pemberdayaan
1.      Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung (Ife, 1995).
2.      Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin, 1987).
3.      Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya (Rappaport, 1984).
4.      Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya… Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons, et al., 1994).
5.      Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah, untuk (a) memiliki akses terhadap sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan (b) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.

Definisi pemberdayaan yang dikemukakan para pakar sangat beragam dan kontekstual. Akan tetapi dari berbagai definisi tersebut, dapat ditarik suatu benang merah bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memampukan dan memandirikan masyarakat. Atau dengan kata lain adalah bagaimana menolong masyarakat untuk mampu menolong dirinya sendiri.
Sumber : Edi Suharto, 2004

2.    Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat
Kekurangtepatan pemilihan strategi pembangunan terhadap negara dan masyarakatnya telah menghasilkan paradoks dan tragedi pembangunan seperti yang terjadi pada negara sedang berkembang sebagai berikut :

  • Pembangunan tidak menghasilkan kemajuan, melainkan justru semakin meningkatkan keterbelakangan (the development of underdevelopment).
  • Melahirkan ketergantungan (dependency) negara sedang berkembang terhadap negara maju.
  •  Melahirkan ketergantungan (dependency) pheriphery terhadap center.
  • Melahirkan ketergantungan (dependency) masyarakat terhadap negara/pemerintah.
  •  Melahirkan ketergantungan (dependency) masyarakat kecil (buruh, usaha kecil, tani, nelayan dll) terhadap pemilik modal.
Pada pokoknya, pendekatan konvensional ini ditandai oleh transplantatifplanning, top down, inductive, capital intensive, west-biased technological transfer, dansejenisnya. Beberapa paradigma pendekatan pembangunan mulai mengalami pergeserandari yang konvensional menuju pembangunan alternatif, yaitu :

  1. Pembangunan wilayah (regional development)
  2. Pembangunan berwawasan lingkungan (environmental development).
  3. Pembangunan berbasis komunitas (community-based development).
  4. Pembangunan berpusat pada rakyat (people-centered development).
  5. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
  6. Pembangunan berbasis kelembagaan (institution-based development).
Ciri mencolok yang membedakan pendekatan alternatif ini adalah penekanannyaterhadap lokalitas, baik dalam pengertian kelembagaan, komunitas, lingkungan, maupunkultur. Implikasi kebijakan pendekatan ini adalah penekanan pada transformative antransactive planning, bottom up, community empowerment, dan participative, semuanyaini terkenal dengan Pembangunan Komunitas (Community Development).
Strategi pembangunan yang bertumpu pada pemihakan dan pemberdayaan dipahami sebagai suatu proses transformasi dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya,dan politik masyarakat. Perubahan struktural yang diharapkan adalah proses yang berlangsung secara alamiah, yaitu yang menghasilkan harus menikmati. Begitu pula sebaliknya, yang menikmati haruslah yang menghasilkan.

Pemberdayaan masyarakat dapat dipandang sebagai jembatan bagi konsepkonseppembangunan makro dan mikro. Dalam kerangka pemikiran itu berbagai input seperti dana, prasarana dan sarana yang dialokasikan kepada masyarakat melalui berbagai program pembangunan harus ditempatkan sebagai rangsangan untuk memacu percepatan kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Proses ini diarahkan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat (capacity building) melalui pemupukan modal yang bersumber dari surplus yang dihasilkan dan pada gilirannya dapat menciptakan pendapatan yang dinikmati oleh masyarakat. Dengan demikian, proses transformasi itu harus digerakkan oleh masyarakat sendiri.

Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan objek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunannya sendiri. Berdasarkan konsep demikian, maka pemberdayaan masyarakat harus mengikuti pendekatan sebagai berikut ; pertama, upaya itu harus terarah. Ini yang secara populer disebut pemihakan.Upaya ini ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya. 

 Kedua, program ini harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu mempunyai beberapa tujuan, yakni agar bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan kehendakdan mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka. Selain itu, sekaligus meningkatkan kemampuan masyarakat dengan pengalaman dalam merancang, melaksanakan, mengelola, dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya. 

Ketiga, menggunakan pendekatan kelompok, karena secara sendiri-sendiri masyarakat miskin sulit dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Juga lingkup bantuan menjadi terlalu luas jika penanganannya dilakukan secara individu. Pendekatan kelompok ini paling efektif dan dilihat dari penggunaan sumber daya juga lebih efisien. Implementasi program pembangunan yang menerapkan strategi pemberdayaan masyarakat tersebut merupakan suatu konsukensi dari pergeseran paradigm pembangunan nasional yang mengarah pada tercapainya upaya pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development).

2.      Prinsip Pemberdayaan Masyarakat
Dubois dan Miley (1992), memberi beberapa prinsip yang dapat menjadi pedoman dalam pemberdayaan masyarakat :

  • Membangun relasi pertolongan
  • Membangun komunikasi
  • Terlibat dalam pemecahan masalah
  • Merefleksikan sikap dan nilai profesi pekerjaan sosial
Jika dianalisis pendapat tersebut, maka sebagai seorang pekerja sosial dalam melakukan praktek pengembangan masyarakat ketika berada di tengah-tengah masyarakat, perlu memperhatikan prinsip-prinsip tersebut. Pertama, membangun relasi pertolongan merupakan suatu tahapan yang harus dilalui. Hal ini dapat dilakukan dengan merespon empati, menghargai pilihan dan hak klien untuk menentukkan nasibnya sendiri, menghargai perbedaan dan keunikan individu serta melakukan kerjasama klien.

Kedua, membangun komunikasi dengan cara menghormati dan menghargai hak-hak klien, mempertimbangkan keragaman individu mengingat di masyarakat terdapat perbedaan baik karakteristik, status sosial, tingkat pendidikan dan sebagainya, serta menjaga kerahasiaan klien. 

Ketiga, terlibat dalam pemecahan masalah dengan cara memperkuat partisipasi klien dalam semua aspek proses pemecahan masalah, menghargai hak-hak klien, kemudian melibatkan klien dalam pembuatan keputusan dan evaluasi. 

Keempat, merefleksikan sikap dan nilai profesi pekerjaan sosial melakui ketaatan terhadap kode etik profesi. Dalam hal ini, seorang pekerja sosial ketika berada di masyarakat harus mempertimbangkan kode etik sebagai kontrol atas segala sikap dan tindakan yang akan diambil.

3.   Indikator Keberdayaan
Sebagaimana Kieffer dalam Suharto (2006:63), pemberdayaan mencakup tiga dimensi yang meliputi kompetensi kerakyatan, kemampuan sosiopolotik, dan kompetensi partisipatif. Selanjutnya, Parsons juga mengajukan tiga dimensi pemberdayaan yang merujuk pada :

  • Sebuah proses pembangunan yang bermula dari pertumbuhan individual berkembang menjadi sebuah perubahan sosial yang lebih besar.
  • Sebuah keadaan psikologis yang ditandai oleh rasa percaya diri, berguna dan mampu mengendalikan diri dan orang lain.
  • Pembebasan yang dihasilkan dari sebuah gerakan sosial, yang dimulai dari pendidikan dan politisasi orang-orang lemah dan kemudian melibatkan upaya-upaya kolektif dari orang-orang lemah tersebut untuk memperoleh kekuasaan dan mengubah struktur-struktur yang masih menekan.
Paparan tersebut menekankan bahwa, pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat.

 Hal ini tidak terkecuali bagi kelompok lemah dalam masyarakat adalah pengrajin miskin yang mengalami keterbatasan kemampuan dalam mengakses sumber-sumber kekuasaan sosial. Suatu proses pemberdayaan (empowerment) pada intinya ditujukan guna membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial.

Indikator Pemberdayaan
Schuler, Hashemi dan Riley mengembangkan beberapa indikator pemberdayaan, yang mereka sebut sebagai empowerment index atau indeks pemberdayaan (Girvan,
2004):
1.      Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk pergi ke luar rumah atau wilayah tempat tinggalnya, seperti ke pasar, fasilitas medis, bioskop, rumah ibadah, ke rumah tetangga. Tingkat mobilitas ini dianggap tinggi jika individu mampu pergi sendirian
2.      Kemampuan membeli komoditas ‘kecil’: kemampuan individu untuk membeli barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari (beras, minyak tanah, minyak goreng, bumbu); kebutuhan dirinya (minyak rambut, sabun mandi, rokok, bedak, sampo). Individu dianggap mampu melakukan kegiatan ini terutama jika ia dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.
3.      Kemampuan membeli komoditas ‘besar’: kemampuan individu untuk membeli barang-barang sekunder atau tersier, seperti lemari pakaian, TV, radio, koran, majalah, pakaian keluarga. Seperti halnya indikator di atas, poin tinggi diberikan terhadap individu yang dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.
4.      Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputuan rumah tangga: mampu membuat keputusan secara sendiri mapun bersama suami/istri mengenai keputusankeputusan keluarga, misalnya mengenai renovasi rumah, pembelian kambing untuk diternak, memperoleh kredit usaha.
5.      Kebebasan relatif dari dominasi keluarga: responden ditanya mengenai apakah dalam satu tahun terakhir ada seseorang (suami, istri, anak-anak, mertua) yang mengambil uang, tanah, perhiasan dari dia tanpa ijinnya; yang melarang mempunyai anak; atau melarang bekerja di luar rumah.
6.      Kesadaran hukum dan politik: mengetahui nama salah seorang pegawai pemerintah desa/kelurahan; seorang anggota DPRD setempat; nama presiden; mengetahui pentingnya memiliki surat nikah dan hukum-hukum waris.
7.      Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes: seseorang dianggap ‘berdaya’ jika ia pernah terlibat dalam kampanye atau bersama orang lain melakukan protes, misalnya, terhadap suami yang memukul istri; istri yang mengabaikan suami dan keluarganya; gaji yang tidak adil; penyalahgunaan bantuan sosial; atau penyalahgunaan kekuasaan polisi dan pegawai pemerintah.
8.      Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga: memiliki rumah, tanah, asset produktif, tabungan. Seseorang dianggap memiliki poin tinggi jika ia memiliki aspek-aspek tersebut secara sendiri atau terpisah dari pasangannya

Sumber : Edi Suharto, 2004

4.      Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Dalam konteks pekerjaan sosial, pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga aras atau matra pemberdayaan, antara lain  mikro, mezzo, dan makro (Suharto, 2005:66-67) :

  1. Aras mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, stress management, dan crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya.
  2. Aras Mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien. Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi.
  3. Aras Makro. Pendekatan ini disebut juga sebagai startegi sistem besar (large system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbyng, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini.
Pemberdayaan masyarakat berarti mengembangkan kondisi dan situasi sedemikian rupa, sehingga masyarakat memiliki daya dan kesempatan untuk mengembangkan kehidupannya, sebagai suatu kekuatan internal serta tidak berkesan bahwa pengembangan itu adalah hasil kekuatan eksternal. 

Masyarakat berdaya berarti mampu, tahu, mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan, melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang itu, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan secara optimal, berani mengambil resiko atas keputusannya itu, mampu mencari dan menangkap informasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan taraf kehidupannya serta mampu bertindak secara optimal.

Soetarso (2003) bahwa pemberdayaan masyarakat pada hakikatnya saling berkaitan dengan peningkatan kemapuan, motivasi dan peran semua unsur masyarakat. Pendapat ini sangat memperkuat bahwa pemberdayaan sangat erat kaitannya dengan penguatan kapasitas, karena pada intinya penguatan kapasitas adalah juga pemberdayaan. Sumpeno, et.al. (2003) mengemukakan bahwa :“ Capacity building adalah suatu proses peningkatan atau perubahan perilaku individu, organisasi, dan sistem masyarakat dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien. Capacity building sebagai strategi untuk meningkatkan daya dukung kelembagaan dalam mengantisipasi masalah dan kebutuhan yang dihadapi ”.

Proses peningkatan atau perubahan perilaku tersebut meliputi : (1) peningkatan kemampuan individu (pengetahuan, keterampilan, dan sikap), (2) peningkatan kemampuan kelembagaan (manajemen organisasi, finansial, dan kultur), dan (3) peningkatan kemampuan masyarakat (kemandirian, keswadayaan, dan antisipasi perubahan).

5.      Mekanisme Pemberdayaan Masyarakat
Seperti dikemukakan di atas, pemberdayaan masyarakat harus melibatkan segenap potensi yang ada dalam masyarakat. Beberapa aspek di antaranya dapat diketengahkan sebagai berikut: Pertama, peranan pemerintah teramat penting. Berarti birokrasi pemerintah harus dapat menyesuaikan dengan misi ini. Dalam rangka ini ada beberapa upaya yang harus dilakukan:

  • Birokrasi harus memahami aspirasi rakyat dan harus peka terhadap masalah yang dihadapi oleh rakyat.
  • Birokrasi harus membangun partisipasi rakyat. Artinya, berilah sebanyak-banyaknya kepercayaan pada rakyat untuk memperbaiki dirinya sendiri. Aparat pemerintah membantu memecahkan masalah yang tidak dapat diatasi oleh masyarakat sendiri.
  • Untuk itu maka birokrasi harus menyiapkan masyarakat dengan sebaiknya, baik pengetahuannya maupun cara bekerjanya, agar upaya pemberdayaan masyarakat dapat efektif. Ini merupakan bagian dari upaya pendidikan sosial untuk memungkinkan rakyat membangun dengan kemandirian.
  • Birokrasi harus membuka dialog dengan masyarakat. Keterbukaan dan konsultasi ini amat perlu untuk meningkatkan kesadaran (awareness) masyarakat, dan agar aparat dapat segera membantu jika ada masalah yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh rakyat.
  • Birokrasi harus membuka jalur informasi dan akses yang diperlukan oleh masyarakat yang tidak dapat diperolehnya sendiri.
  • Birokrasi harus menciptakan instrumen peraturan dan pengaturan mekanisme pasar yang memihak golongan masyarakat yang lemah.

Untuk dapat menjalankan misinya, maka birokrasi pertama harus (1) ditingkatkan kewenangannya sampai di lapisan terendah, (2) ditingkatkan kualitasnya, agar benar -benar mampu memberikan bimbingan dan pemberdayaan masyarakat. Terutama titik berat harus diberikan kepada aparat pada tingkat yang langsung berhadapan dengan masyarakat, baik secara hirarkis seperti aparat desa dan kecamatan, maupun fungsional seperti PPL, guru, dokter, dan bidan.

Kedua, organisasi-organisasi kemasyarakatan di luar lingkungan masyarakat sendiri. Di sini yang mempunyai potensi berperan besar adalah lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM), di samping organisasi-organisasi kemasyarakatan yang bersifat nasional dan lokal. LSM dapat berfungsi sebagai pelaksana program pemerintah (mewakili pemerintah), dapat menjadi pembantu (konsultan) pemerintah, tetapi dapat juga menjadi pembantu rakyat dalam program pemerintah.
Sebaliknya LSM, sesuai dengan namanya, dapat pula mengembangkan programnya sendiri. Dalam rangka ini, aparat setempat harus menjalin kerjasama erat dengan LSM, agar program LSM dapat bersinergi dengan program pemerintah, atau sekurang-kurangnya tidak terjadi kesimpangsiuran yang dapat mengakibatkan benturan yang hanya akan merugikan rakyat. LSM harus diperlakukan sebagai mitra pemerintah dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Tentunya yang dimaksudkan di sini adalah LSM yang murni dan bukan kepanjangan tangan dari kepentingan politik yang hanya menggunakan rakyat sebagai alat politik.

Ketiga, lembaga masyarakat yang tumbuh dari dan di dalam masyarakat itu sendiri, atau sering disebut sebagai local community organization. Lembaga ini dapat bersifat semi atau kuasiformal seperti LKMD, PKK atau Karang Taruna, atau yang benar-benar tumbuh dari masyarakat sendiri seperti kelompok arisan, kelompok sinoman, kelompok paketan dan sebagainya.
Dalam rangka IDT, kelembagaan dalam masyarakat tersebut dikembangkan oleh masyarakat sendiri, sebagai bagian dari mekanismenya, yaitu kelompok-kelompok masyarakat (pokmas) yang terdiri dari atas 10 sampai 30 kepala keluarga. Kelompok-kelompok masyarakat serupa itu adalah yang paling efektif untuk upaya pemberdayaan masyarakat, oleh karena tumbuh dan berakar dari kalangan masyarakat sendiri. Secara sendiri-sendiri penduduk miskin sulit dapat mengatasi hambatan yang menyebabkan kemiskinannya. Secara bersama-sama, mereka dapat saling memperkuat dan saling menutupi kelemahan. Dinamika kelompok dan sinergi diharapkan dapat menghasilkan nilai dari upaya individual dalam kelompok.

Keempat, koperasi. Koperasi merupakan wadah ekonomi rakyat yang secara khusus dinyatakan dalam konstitusi sebagai bangun usaha yang paling sesuai untuk demokrasi ekonomi Indonesia. Koperasi dapat merupakan wahana yang efektif bagi upaya pemberdayaan masyarakat, dengan membangun manusia modern namun dengan dasar-dasar kekeluargaan dan kegotongroyongan yang menjadi ciri demokrasi Indonesia. Koperasi harus menjadi sasaran bagi pengembangan kelompok masyarakat yang sudah dapat melampaui tahap awal kerjasama dan kerja bersama dalam kelompok. Formalisasi kelompok sebagai badan (entity) ekonomi harus diarahkan ke dalam bentuk koperasi. Namun, untuk itu kelompok dan anggota-anggotanya harus benar-benar dipersiapkan, agar bentuk koperasi dapat sungguh-sungguh menunjang upaya meningkatkan kegiatan usaha para anggota yang dilakukan secara bersama.

Kelima, pendamping. Penduduk miskin pada umumnya mempunyai keterbatasan dalam mengembangkan dirinya. Oleh karena itu, diperlukan pendamping untuk membimbing penduduk miskin dalam upaya memperbaiki kesejahteraannya. Pendamping bertugas menyertai proses pembentukan dan penyelenggaraan kelompok masyarakat sebagai fasilitator, komunikator, ataupun dinamisator. Lingkup pembinaan yang dilakukan para pendamping meliputi upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, yakni kualitas para anggota dan pengurus kelompok serta peningkatan kemampuan usaha anggota.

Untuk maksud tersebut, pendamping perlu mengenal dan mengadakan komunikasi yang intensif dengan kelompok. Pendamping yang paling efektif adalah dari anggota masyarakat itu sendiri, yaitu anggota masyarakat yang telah lebih sejahtera dan telah berhasil dalam kehidupan dan kegiatan ekonominya. Selain itu, seperti dalam program IDT dapat direkrut sarjana-sarjana untuk menjadi pendamping purna waktu, antara lain dari kalangan alumni penerima beasiswa Supersemar.

Selain itu, pendamping dapat diambil dari petugas lapangan pada tingkat kecamatan dan desa dari berbagai departemen dan lembaga kemasyarakatan, antara lain dari Departemen Dalam Negeri (Latihan Pembangunan Desa Terpadu atau LPDT), Departemen Pertanian (Penyuluh Pertanian Lapangan atau PPL dan Penyuluh Pertanian Spesialis atau PPS), Departemen Sosial (Petugas Sosial Kecamatan atau PSK dan Karang Taruna), Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (Petugas Lapangan KB atau PLKB), Kantor Menteri Pemuda dan Olahraga (Pemuda Pelopor), Departemen Tenaga Kerja (Tenaga Kerja Mandiri Profesional atau TKST), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Sarjana Penggerak Pembangunan Perdesaan atau SP3), para dokter, bidan desa, guru, serta para petugas lainnya yang ada di desa dan hidup di tengah-tengah masyarakat desa.

Disamping itu, secara swadaya dan sukarela perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga kemasyarakatan lainnya, seperti LSM, dapat pula ikut serta sebagai pendamping. Untuk dapat melaksanakan tugasnya secara efektif, pendamping harus siap bekerja setiap waktu, menghadiri pertemuan kelompok, mengorganisasikan program latihan, serta membantu kelompok dalam memperoleh akses terhadap berbagai pelayanan yang dibutuhkan.

Keenam, pemberdayaan masyarakat harus dicerminkan dalam proses perencanaan pembangunan nasional, sebagai aliran dari bawah ke atas. Dewasa ini upaya tersebut telah dilakukan mulai dari tingkat desa dengan musyawarah pembangunan desa (LKMD), forum diskusi UDKP di tingkat kecamatan, sampai ke Rapat Koordinasi Pembangunan Daerah Tingkat II, Rapat Koordinasi Pembangunan Daerah Tingkat I, Rapat Konsultasi Regional Pembangunan, dan Rapat Konsultasi Nasional Pembangunan. Mulai dari Dati II, kelembagaan perencanaan sudah cukup kuat, karena telah ada Bappeda. Di tingkat kecamatan telah ada pula pejabat teknis seperti PPL, mantri statistik, juru penerang, dokter  puskesmas, yang dapat membantu kegiatan perencanaan meskipun pada taraf yang sederhana.

Yang masih lemah dan harus diperkuat dalam proses perencanaan ini adalah kemampuan perencanaan pada tingkat desa. Upaya itu harus meliputi penyempurnaan kelembagaan desa, penguatan sumber daya manusia serta pengembangan budaya masyarakat desa yang tanggap pada perubahan atau dapat disebut pula modernisasi masyarakat desa.

Ketujuh, keikutsertaan masyarakat yang lebih mampu, khususnya dunia usaha dan swasta. Pemberdayaan masyarakat dapat lebih optimal jika terjadi keterkaitan dalam kemitraan usaha diantara yang telah mampu dengan yang masih tertinggal terutama melalui penyediaan modal usaha untuk pengembangan usaha penduduk miskin. Model seperti ini sedang dikembangkan melalui gerakan nasional tabungan keluarga sejahtera (Takesra) dan kredit usaha keluarga sejahtera (Kukesra).

Dalam Takesra dan Kukesra, penduduk miskin yang termasuk dalam kategori keluarga prasejahtera dan sejahtera I mendapatkan bantuan suntikan tabungan dengan maksud untuk membiasakan menabung dan mengelola keuangan dengan baik. Bagi penduduk miskin yang telah mampu menabung dapat mengajukan bantuan modal berupa kredit Kukesra dengan menyampaikan rencana kegiatan produktif. Bantuan modal yang diberikan kepada penduduk miskin tersebut berasal dari masyarakat yang telah lebih mampu. Upaya ini yang prakarsanya diambil oleh pemerintah dapat diperluas, dalam berbagai bentuk pola kemitraan langsung terutama antara usaha swasta dengan usaha ekonomi rakyat.

Potensi dunia usaha dan masyarakat yang mampu untuk turut memberdayakan masyarakat cukup besar, dan perlu dikembangkan, karena selain penting artinya untuk memperkukuh perekonomian nasional, juga akan mempertebal persatuan dan kesatuan bangsa, karena kuatnya solidaritas sosial.
Sumber:
  1. Ife, 2003, Pengembangan Masyarakat Dalam "Menciptakan Alternatif-Alternatif Masyarakat-Visi, Analisis dan Praktik, Logman, Autralia
  2. Suharto, Edi2005, Membangun Masayrakat  Memberdayakan rakyat, Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial, Refika Aditama, Bandung
  3. Soetarso, 1992, Praktek Pekerjaan Sosial, Kopma STKS, Bandung


Tidak ada komentar:

Posting Komentar