Minggu, 29 September 2013

Indikator Kemiskinan

Berdasarkan indikator kemiskinan menurut BPS, maka penduduk yang dikatagorikan fakir miskin adalah penduduk yang dibawah garis sangat miskin. Katagori sangat miskin dan miskin  dibedakan dalam hal pengeluaran transportasi dan aneka barang/jasa yang diperlukan seharihari. Berdasarkan standard garis kemiskian pada tahun 2002, yaitu ukuran pendapatan seseorang maksimal Rp.130.499,/bulan di daerah perkotaan dan Rp.96.512.00,- / bulan di daerah pedesaan, maka pada tahun 2002 jumlah penduduk miskin di Indonesia tercatat sebesar 38,4 juta jiwa dan diantaranya termasuk penduduk fakir miskin sebanyak 16,5 juta  atau sekitar 43 %  dari populasi penduduk miskin.

Indikator untuk menentukan fakir miskin yang dimaksud menurut Departemen Sosial RI, ( 2005 : 13-14 ) sebagai berikut :

  1. Penghasilan rendah, atau berada dibawah garis sangat miskin yang dapat diukur dari tingkat pengeluaran per orang per bulan berdasarkan standar BPS per wilayah propinsi dan Kabupaten Kota.
  2. Ketergantungan pada batuan pangan untuk penduduk miskin (seperti zakat/beras untuk orang miskin/santunan sosial).
  3. Keterbatasan kepemilikan pakaian untuk setiap anggota keluarga per tahun (hanya mampu memilki 1 stel pakaian lengkap per orang per tahun)
  4. Tidak mampu membiayai pengobatan jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit.
  5. Tidak mampu membiayai pendidikan dasar 9 tahun bagi anak-anaknya
  6. idak memilki harta (asset) yang dapat dimanfaatkan hasilnya atau dijual untuk membiayai kebutuhan hiodup selama tiga bulan atau dua kali batas garis sangat miskin.
  7. Tinggal dirumah yang tidak layak huni.
  8. Sulit memperoleh air bersih.
Sedangkan Indikator Miskin menurut BPS dalam penanggulangan masalah kemiskinan melalui program Bantuan Langsung Tunai (BLT), menetapkan 14 (empat belas) kreteria keluarga miskin, seperti yang telah disosialisasikan oleh Departemen komunikasi dan informatika (2005), rumah tangga  yang memiliki ciri rumah tangga miskin, yaitu :

  • Luas lantai banguan tempat tinggal kurang dari 8 m 2 per orang
  • Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah, bambu/kayu murahan
  • Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
  • Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan  rumah tangga lain.
  • Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
  • Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindungi/sungai/air hujan
  • Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.
  • Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
  • Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun
  • Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.
  •  tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik
  • Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp.600.000,- per bulan.
  •  Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga; tidak bersekolah/tidak tamat SD/hanya SD.
  • Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp.500.000,-, seperti: sepeda motor (kredit/non kredit) emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

Sementara itu BAPPENAS membuat Indikator kemiskinan di Indonesia berdasarkan rumusan yang konkrit adalah sebagai berikut:

  1.  Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, dilihat dari stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu. Sekitar 20 persen penduduk dengan tingkat pendapatan terendah hanya mengkonsumsi 1.571 kalori per hari. Kekurangan asupan kalori, yaitu kurang dari 2.100 kalori per hari, masih dialami oleh 60 persen penduduk berpenghasilan terendah (BPS, 2004).
  2. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan oleh kesulitan mandapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi;  jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedang masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di Puskesmas. Demikian juga persalinan oleh tenaga kesehatan pada penduduk miskin, hanya sebesar 39,1 persen dibanding 82,3 persen pada penduduk kaya.
  3. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan yang disebabkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas,  tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung.
  4.  Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumah tangga.
  5. Terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi. Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai.
  6.  Terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapatkan air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air.
  7.  Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah. Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian.
  8. Memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir, daerah pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada sumberdaya alam sebagai sumber penghasilan.
  9.  Lemahnya partisipasi, Berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya pertisipasi mereka dalam pengambilan keputusan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka.
  10. Besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi. Menurut data BPS, rumahtangga miskin mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih besar dari pada rumah tangga tidak miskin. Rumahtangga miskin di perkotaan rata‑rata mempunyai anggota 5,1 orang, sedangkan rata-rata anggota rumah tangga miskin di perdesaan adalah 4,8 orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar