Senin, 27 November 2017

KORELASI KEMISKINAN DENGAN PROFESIONALISME PEKSOS DI INDONESIA

Protret kemiskinan di Indonesia yang terjadi bersifat multidemensial dan satu dengan yang lain saling terkait erat , yakni antara kemiskinan ekonomi , kemiskinan struktural, kemiskinan budaya.dan bahkan orang miskin sendiri menciptakan budayanya sendiri.

Seorang pekerja sosial memiliki tugas utama untuk membantu orang, kelompok, keluarga dan masyarakat dalam mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan mengakses sistem sumber, keberfungsian sosial dan menyiapkan mereka dalam mengahadapi perubahan-perubahan sosial.

Menurut NASW pekerjaan sosial adalah kegiatan profesional yang membantu individu, kelompok-kelompok ataupun masyarakat untuk meningkatkan atau memperbaiki kemampuan mereka dalam berfungsi sosial serta menciptakan kondisi masyarakat yang memungkinkan mereka mencapai tujuan.

Menurut Max Siporin pekerjaan sosial bersifat sosial dan institusional untuk membantu orang mencegah dan memecahkan masalah-masalah sosial, untuk memulihkan dan meningkatkan kemampuan menjalankan fungsi sosial mereka. Pekerjaan sosial dapat dikatakan juga sebagai institusi sosial, profesi pelayanan manusia dan seni praktek.

Menurut BOEHM pekerjaan sosial berusaha untuk meningkatkan keberfungsian sosial individu, kelompok melalui kegiatan-kegiatan yang dipusatkan pada relasi sosial yang merupakan interaksi antara manusia dengan lingkungannya.

Keberfungsian sosial terkait dengan ketidak mampuan seseorang dalam melaksanakan peranan sosial, ketidak mampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar dan ketidak mampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi.

Keberfungsian diakibatkan oleh ketidaktahuan memanfaatkan sistem sumber, menggali sistem sumber dan mengoptimalkan sistem sumber. Sistem sumber yaitu segala sesuatu yang dapat digali, dimanfaatkan, didayagunakan dan dikembangkan.

Sistem sumber menurut Pincus dan Minahan sbb:
1. Sistem sumber Informal : seseorang tidak terkait dengan sistem sumber informal dan tidak menggunakan atau meminta bantuan kepada sistem sumber lain(kerabat, teman,sahabat dll)
2. Sistem sumber formal: organisasi formal tidak ada, klien tidak mengetahui keberadaan sistem sumber tersebut dan organisasi tersebut tidak menyediakan program pelayanan sosial.
3. Sistem sumber kemasyarakatan: terbatasnya pelayanan, secara geografis terlalu sulit dan model pelayanan yang digunakan berbeda dengan kebutuhan klien.

Sedangkan Atkinson (1987) menyatakan definsi perubahan yaitu merupakan kegiatan atau proses yang membuat sesuatu atau seseorang berbeda dengan keadaan sebelumnya dan merupakan proses yang menyebabkan perubahan pola perilaku individu atau institusi.Ada empat tingkat perubahan yang perlu diketahui yaitu perubahan, sikap, perilaku, individual dan perilaku kelompok. Setelah suatu masalah analisa, tentang kekuatannya maka pemahaman tentang tingkat-tingkat perubahan dan silklus perubahan akan dapat berguna.

Perubahan sosial seringkali diakibatkan oleh pergeseran nilai budaya akan memperngaruhi perilaku seseorang, seperti individualistik, sentimen terhadap budaya lain, sikap radikal akibat dari rasa saling memiliki budaya tertentu yang rawan dengan konflik dan rawan sosial.

Perubahan sosial yang ditimbulkan akibat dari perubahan ekonomi akan memperngaruhi status sosial seseorang, perbedaan klas, kesenjangan, persaingan di bidang pekerjaan, pengangguran, kriminalitas dan kerawanan ekonomi di kalangan perempuan.

Perubahan politik mengakibatkan lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara, lembaga peradilan, birokrasi pemerintahan dan ketidak adilan struktural. Semakin tinggi konstelansi suhu politik maka akan semakin membawa dampak melemahnya kewibawaan pemerintah sehingga mengakibatkan semakin tinggi angka penyandang masalah kesejahteraan sosial.

Dengan demikian dalam upaya mengahadapi perubahan-perubahan sosial masyarakat tidak semua siap menghadapi hal tersebut terutama kelompok-kelompok masyarakat yang tidak beruntung atau bahkan termajinalkan.

Kondisi dan situasi inilah yang menjadi setting dan lahan penting bagi seorang pekerja sosial dan intervensi yang akan dilakukan oleh seorang pekerja sosial antara lain melalui pengorganisasian dan pengembangan masyarakat :
1. Sebagai suatu proses dari paradigma yang berkesinambungan berupa perubahan dari tahap suatu kondisi kepada masyarakat yang mandiri.

2. Sebagai suatu metode yang menitik beratkan pada dua cara yaitu partisipasi masyarakat dan pengorganisasian masyarakat.

3. Sebagai suatu program yang menitikberatkan pada pencapaian tujuan organisasi dan penyelesaian serangkaian kegiatan yang bisa diukur hasilnya secara kualitas dan bisa dilaporkan.

4. Sebagai suatu gerakan dan usaha untuk perubahan perilaku masyarakat yang buruk pada suatu komitmen dan partisipasi.

Dari penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa peranan pekerja sosial sangat penting berkaitan dengan patologi sosial seperti isu-isu publik, isu gender, kenakalan remaja, kemiskinan, lansia, pekerja sex komersial, pengangguran, demo buruh dll yang dalam hal ini membutuhan penanganan yang profesional dan berksinambungan sehingga dapat meminimalisir masalah-masalah baru yang mungkin akan timbul di kemudian hari.

Pendapat Jim Ife (1995:117-127) yang membahas mengenai peran-peran pekerjaan sosial meliputi :

a. Peran Fasilitator
Peranan fasilitator mengandung tujuan untuk memberikan dorongan semangat atau membangkitkan semangat kelompok sasaran atau klien agar mereka dapat menciptakan perubahan kondisi lingkungannya, antara lain:

1) Animasi sosial, yang bertujuan untuk mengaktifkan semangat, kekuatan, kemampuan sasaran yang dapat dipergunakan dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi dalam bentuk suatu kegiatan bersama, sedangkan dalam kondisi ini seorang pekerja sosial harus memiliki antusiasme yang tinggi yang dapat menciptakan terlaksananya kegiatan-kegiatan yang telah direncakan bersama klien atau kelompok sasaran. Antusiasme ini dapat diikat dengan komitmen bersama-sama kelompok sasaran.

2) Mediasi dan negosiasi, peran ini dapat dimanfaatkan untuk meredam dan menyelesaikan ketika terjadi konflik internal maupun eksternal pada kelompok sasaran. Seorang pekerja sosial dalam hal ini harus bersikap netral tanpa memihak satu kelompok tertentu.

3) Support, peran ini berarti memberikan dukungan moril kepada kelompok sasaran untuk terlibat dalam struktur organisasi dan dalam setiap aktivitas-aktivitas yang sedang berlangsung dan yang akan berlangsung dimasa datang .

4) Pembangunan Konsensus, peran ini meliputi upaya-upaya yang menitik beratkan pada tujuan bersama, mengidentifikasikan kepentinggan bersama dan upaya-upaya pemberian bantuan bagi pencapaian konsensus yang dapat diterima semua masyarakat.

5) Memfasilitasi Kelompok, peranan ini akan melibatkan peranan fasilitatif dengan kelompok, bisa sebagai ketua kelompok atau bisa juga sebagai anggota kelompok.

b. Peran Edukasi
Peran ini melibatkan peran aktif pekerja sosial didalam proses pelaksanaan semua kegiatan-kegiatan yang sudah direncanakan bersama kelompok sasaran sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan mereka. Dalam konteks ini dapat diwujudkan berupa pelatihan-pelatihan ketrampilan, misalnya: pelatihan tatacara pengambilan keputusan, pelatihan agenda rapat atau mengelola rapat, pelatihan administrasi surat-menyurat dan pelatihan pemanfaatan waktu luang yang mereka miliki.

1) Peningkatan Kesadaran, peran ini berarti membantu orang untuk mengembangkan pandangan tentang suatu alternatif atau beberapa alternatif dalam tataran kepentingan personal dan politis.

2) Memberikan Informasi, peran ini berarti memberiakn informasi tentang program-progam yang ada di masyarakat tetapi dengan hati-hati karena terdapat variasi kehidupan sosial di masyarakat, informasi tersebut berupa sistem sumber eksternal, sumber dana , sumber ahli, berbagai petunjuk pelaksanaan program, presentasi audio visual dan pelatihan-pelatihan.

3) Mengkonfrontasikan, peran ini berarti keinginan kelompok masyarakat yang positif sedangkan kelompok lain berkeinginan negatif, jadi keduanya harus dikonfrontasikan untuk mencapai konsesus, tetapi harus diingat ini pilihan terakhir tanpa kekerasan.

4) Pelatihan, peran ini berarti mencari dan menanalisa sumber-sumber dan tenaga ahli yang diperlukan dalam pelatihan.

c. Peran Representatif.
Dalam peran ini pekerja sosial bertindak sebagai enabler atau sebagai agen perubahan, antara lain membantu klien menyadari kondisi mereka, mengembangkan relasi klien untuk dapat bekerja sama dengan pihak lain (networking ) dan membantu klien membuat suatu perencanaan.
1) Mendapatkan Sumber, peranan ini berarti memanfaatkan sistem sumber yang ada dalam masyarakat dan di luar masyarakat.

2) Advokasi, peranan ini berarti mewakili kepentingan-kepentingan klien berupa dengan pendapat,lobbying dengan para politis/pemegang kekuasaan, membentuk perwakilan di pemerintah lokal atau pusat dan membela klien di pengadilan.

3) Memanfaatkan Media Massa, peranan ini untuk memperjelas isu tertentu dan membantu mendapatkan agenda publik.

4) Hubungan Masyarakat, peranan ini berati memahami gambaran-gambaran proyek-proyek masyarakat dan mempromosikan gambaran tersebut ke dalam konteks yang lebih besar, melalui publikasi agar masyarakat tergerak terlibat dalam proyek tersebut dan menarik simpati dukungan dari pihak lain.

5) Jaringan Kerja Networking, peranan berarti mengembangkan relasi dengan berbagai pihak, kelompok dan berupaya mendorong mereka untuk turut serta dalam upaya perubahan.

6) Berbagi Pengetahuan dan Pengalaman, peranan ini dilakukan dalam kegiatan seperti keterlibatan aktif dalam pertemuan-pertemuan formal maupun non formal seperti: konfrensi-konfrensi, penulisan jurnal, surat kabar, seminar dll.

d. Peranan Teknis
1) Pengumpulan dan Analisis Data, peranan ini berarti sebagai peneliti sosial, dengan memanfaatkan berbagai metodologi penelitian ilmu pengetahuan sosial untuk mengumpulkan dan menganalisa data serta mempresentasikannya dengan baik.

2) Menggunakan Komputer, peranan ini berarti mampu menggunakan komputer dengan tujuan untuk penyusunan proposal, rancangan penelitian, analisis data, penyunan laporan keuangan, membuat selebaran, spanduk, leaflet, surat menyurat.

3) Presentasi Verbal dan Tertulis, peranan ini berarti harus mampu mengekspresikan pikiran-pikiran, tindakan-tindakan secara langsung dan dalam bentuk tulisan.

4) Management, peranan ini berarti bertanggung jawab untuk mengelola program kegiatann yang telah dibuatnya.

Selain peran-peran pekerjaan sosial juga harus memahami nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat dan nilai-nilai yang berlaku umum. Sejalan dengan hal ini Pumhrey berpendapat tentang tingkatan nilai-nilai sebagai berikut:

1. Nilai-nilai akhir atau abstrak, seperti demokrasi, keadilan, persamaa, kebebasan, kedamaian dan kemajuan sosial, perwujudan diri dan penentuan diri.

2. Nilai-nilai tingkat menengah, seperti kualitas keberfungsian manusia/pribadi, keluarga yang baik, pertumbuhan, peningkatan kelompok dan masyarakat yang baik.

3. Nilai-nilai tingkat ketiga merupakan nilai-nilai instrumental atau operasional yang mengacu kepada ciri-ciri perilaku dari lembaga sosial yang baik, pemerintahan yang baik dan orang profesional yang baik. Misalnya: dapat dipercaya, jujur dan memiliki disiplin diri.

Dalam menjalankan profesinya seorang pekerjaan sosial selain dilandasi oleh perananan dan nilai maka pekerja sosial juga wajib menjunjung tinggi Kode Etik Profesi antara lain :

1. Pekerja sosial mengutamakan tanggungjawab melayani kesejahteraan individu atau kelopok, yang meliputi kegiatan perbaikan kondisi-kondisi sosial.

2. Pekerja sosial mendahulukan tanggungjawab profesinya ketimbang kepentingan-kepentingan pribadinya.

3. Pekerjaan sosial tidak membedakan latar belakang keturunan, warna kulit, agama, umur, jenis kelamin, warganegara serta memberikan pelayanan dalam tugas-tugas serta dalam praktek-praktek kerja.

4. Pekerjaan sosial melaksanakan tanggung jawab demi mutu dan keluasan pelayanan yang diberikan.

5. Menghargai dan mempermudah partisipasi kelayan.
6. Mengahrgai martabat dan hargadiri kelayan.
7. Menerima kelayan apa adanya.
8. Menerima dan memahami bahwa setiap orang itu adalah unik.
9. Tidak menghakimi sikap kelayan.
10. Memahami apa yang dirasakan orang lain/empati.
11. Menjaga kerahasian kelayan.
12. Tidak mengahdiahi kelayan dan tidak pula menghakimi
13. Pekerja sosial harus sadar akan keterbatan-keterbatasan yang dimilikinya.

Pekerjaan sosial sangat berkaitan dengan kemiskinan sebab kemiskinan menjadi wadah yang sangat besar bagi semua patologi sosial dan seringkali menjadi biang keladi bagi ketidak-berdayaan seseorang atas ketidak- adilan sebuah struktur sosial, ekonomi, budaya dan struktur sebuah sistem pemerintahan.

Semakin tinggi angka keluarga miskin disuatu negara maka akan memperngaruhi pula sistem politik di negara tersebut sehingga membuat peluang yang relatif rendah bagi negara dalam memberikan kesejahteraan sosial bagi warganegaranya baik dalam bentuk material dan non material.

Secara generalis kemiskinan adalah ketidak mampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan standar tertentu dari kebutuhan dasa (sandang, pangan dan perumahan), kesehatan dan pendidikan.

Di Indonesia sendiri isu kemiskinan baru muncul pada tahun 1970-an bersama-sama dengan isu pemerataan. Dua tahun kemudian lahir konsep pembangunan yang berorientasi pada kebutuhan dasar manusia (basic need strategy) yang diadopsi dari Konvensi Geneva.

Hakikat kemiskinan di Indonesia bisa di bagi menjadi empat yang dianggap menjadi penyebab terjadinya kemiskinan, yakni: kemiskinan ekonomi, kemiskinan budaya, kemiskinan struktural dan kemiskinan politik.

Menurut Brendley (dalam Ala, 1981 : 4) kemiskinan adalah ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan sosial yang terbatas. Hal ini diperkuat oleh Salim yang mengatakan bahwa kemiskinan biasanya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memperoleh kebutuhan hidup yang pokok (Salim dalam Ala, 1981 : 1).

Menurut Baswir (1997 : 21) kemiskinan natural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti karena cacat, sakit, usia lanjut atau karena bencana alam.

Menurut Robert Chambers (1983) “ inti dari masalah kemiskinan adalah jebakan kekurangan atau deprivation trap”

Sehubungan tersebut Departemen Komunikasi dan Informatika (2005) telah mengeluarkan sebuah indikator kemiskinan yang dapat dijelaskan sbb :

1) Luas lantai temapt tinggal kurang dari 8 m2 per orang.
2) Jenis dinding bangunan tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa plester.
3) Sumber penerangan tidak menggunakan listrik.
4) Jenis lantai tanah/bambu/kayu murahan.
5) Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.
6) Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.
7) Hanya mengkomsomsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
8) Hanya membeli pakaian baru setahu sekali.
9) Makan maximum 2 kali sehari
10) Dan Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di klinik maupun puskesmas.
11) Tidak memiliki tanbungan aset berharga.
12) Bahan bakar sehari hanya mengunakan arang/kayu/minyak tanah.
13) Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga hanya SD/SMP
14) Sumber pendapatan hanya maximum Rp.600.000,- dan bagi petani hanya memiliki lahan 0,5 ha.

Sedangkan menurut Drinowski dan Scott (1977) dalam Muhidin (2005:99) untuk mengukur taraf hidup (level of living index) sbb:

1. Indikator pemenuhan kebutuhan fisik:
a. Pendapatan per kapita, diukur jumlah rupiah atau equivalen beras (terutama di daerah pertanian).
b. Pangan atau makanan diukur dari kecukupan komsumsi makanan, menurut terpenuhinya gizi dan kalori yang dibutuhkan.
c. Perumahan dilihat dari kelayakan perumahan dan dapat diukur dari indeks komposit tempat tinggal dan status kepemilikannya.
d. Kepemilikan dan penguasaan tanah, diukur dari status kepemilikan tanah dan luas tanah pemilik.
e. Kesehatan diukur kondisi kesehatan dan akses terhadap pelayanan kesehatan.

2. Indikator Sosial dari jumlah rupiah atau equivalen beras (terutama di daerah pertanian).
a. Pendidikan diukur dari tingkat pendidikan yang ditamatkan.
b. Pekerjaan dan status pekerjaan kepada rumah tangga, jumlah jam kerja per minggu dan jumlah anggota keluarga.
c. Aktivitas/partisipasi anggota keluarga di dalam kegiatan sosial di luar rumah tangga.
d. Pembagian waktu antara kegiatan anggota keluarga di luar dan di dalam rumah tangga.

3. Indikator Jaringan Sosial
a. Kepemilikan alat transportasi untuk menunjang mobilitas.
b. Akses anggota keluarga terhadap sistem jaminan sosial seperti asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi rumah dan kendaraan bermotor).
c. Akses keluarga terhadap sumber daya ekonomi seperti bank, kopearsi dll
d. Akses anggota keluarga terhadap pelayanan sosial dan pelayanan publik.

Para pakar kemiskinan setuju dan berpendapat bahwa keterlibatan masyarakat dalam mengurusi diri sendiri akan menjadi penopang keberhasilan kemiskinan karena akan menumbuhkan rasa bangga pada diri sendiri.

Beberapa hal yang berhubungan dengan pengentasan kemiskinan: (Esman dan Uphoff:1984)

1. Investasi Pelayanan masyarakat dalam bidang infrastruktur fisik dan infrastruktur sosial seperti pembangunan jalan, sumber air bersih, irigasi, sekolah dan klinik kesehatan.

2. Kebijakan pemerintah yang menguntungkan masyarakat miskin seperti penyediaaan pupuk, bibit padi, kesempatan pekerjaan, pendidikan dan melibatkan pihak swasta.

3. Tehnologi, masyarakat diperkenankan mengenal tehnologi dan mengunakannya melalui pelatihan yang dikelola oleh instansi terkait.

4. Kelembagaan yang efektif, terjadi kerjasama yang terpadu antara jaringan kerja pemerintah, pengusaha dan lembaga lokal.

Pekerjaan sosial dalam memberikan pelayanan sosial bekerja berdasarkan jenis pelaynan yang dapat dijelaskan dengan tabel sbb:

Pemerintah sebenarnya telah melakukan berbagai upaya dan tindakan dalam bentuk program-program guna membantu meringankan beban keluarga miskin dan kelompok-kelompok masyarakat yang rentan antara lain melalui program sejak tahun 1994 sampai dengan tahun 2009:

1. Program Inpres Desa Tertinggal/IDT
2. Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal/P3DT
3. Program Pembangunan Kecamatan/PPK
4. Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan/P2KP
5. SD Inpres
6. Perumahan RSS
7. Rumah Susun
8. Jaring Pengaman Sosial/JPS
9. Jamsostek
10. Jamkesmas
11. Jaskeskin
12. Beras Miskin
13. Bantuan Tunai Langsung
14. Bantuan BBM
15. BOS
16. PKH
17. PNPM

Referansi :
  1. Edi Suharto,2004, kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia dalam edisi Menggagas Model Jaminan Sosial Universal Di Bidang Kesehatan, Alfabeta, Bandung.
  2. Ife,1995, Pengembangan Masyarakat” Menciptkan Alternatif-Alternatif , Masyarakat Visi Analisis dan Praktek” STKS, Bandung
  3. ICMI PUSAT,1995, Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia,Aditya Media, Jogjakarta
  4. Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial Volume 5 2006, Kemiskinan Dalam Perspektif Pekerjaan Sosial, STKS, Bandung
  5. Lembaga Studi Pembangunan STKS, 2003. kemiskinan dan keberfungsian Sosial dalam Study Kasus Rumah Tangga Miskin Di Indonesia, STKS, Bandung.