Kamis, 23 Juni 2016

POTRET dan DILEMA REFORMASI BIROKRASI DI INDONESIA


Pengertian Reformasi dari Khan: suatu perubahan bentuk sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama, sedangkan menurut Quah: suatu proses untuk mengubah proses, prosedural birokrasi publik dan sikap serta tingkah laku birokrat untuk mencpai efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional sejalan dengan Khan dan Quah menurut pendapat Susanto tentang pengertian reformasi  dilihat dari aspek per lembaga terjadilah tuntutan ekonomi, sosial dan hukum, keseimbangan antara hak dan kewajiban serta konsensus antara prinsip-prinsip yang berlaku di masyarakat.

Berdasarkan pengertian reformasi diatas maka yang dimaksud dengan reformasi adalah tuntutan untuk mengubah paradigma dan sistem yang ada dibirokrasi yang dianggap sudah tidak sejalan dengan perkembangan zaman, karena sistem lama dianggap sudah tidak mumpuni dan adanya tuntutan perubahan di sektor ekonomi, sosial dan kepastian hukum yang berdasarkan konsensus dan nilai nilai yang berlaku dimasyarakat. Dari pengertian reformasi inilah semestinya tuntutan perubahan (reformasi) berada pada tuntutan ke arah yang lebih baik.

Berkaitan dengan hal diatas maka di Indonesia terjadi suatu reformasi yang ditandai dengan pasca lengsernya Presiden Soeharto dan hal itu memicu lahirnya sebuah era baru yang dinamakan “ERA REFORMASI” tetapi jika kita semua mau jujur pada saat itu baik pemerintah (birokrasi) maupun masyarakat sebenarnya belum siap menghadapi dan menerima style tersebut. Kekacauan politik saat itu memicu lahirnya sebuah era baru yang dinamakan “ERA REFORMASI” tetapi jika kita semua mau jujur pada saat itu baik pemerintah (birokrasi) maupun masyarakat sebenarnya belum siap menghadapi dan menerima style tersebut sebab reformasi di Indonesia di korelasikan dengan bumbu-bumbu demokrasi, peletakan HAM dan pembagian "kue-kue politik" sehingga hal ini menimbulkan ke"bias"an dari tujuan dan makna reformasi yang sebenarnya.
 Namun apapun yang sudah terjadi reformasi di Indonesia terus melaju seiring dengan berjalannya roda pemerintahan, pada awalnya reformasi di Indonesia berjalan penuh dengan kekerasan, intrik politik, friksi antar birokrasi dan tuntutan sebagain masyarakat yang menginginkan suatu perubahan yang dramatis.
Dan Reformasi di Indonesia dapat dikatakan lahir pada tanggal 20 Mei 1998 bersamaan dengan pemaksaan kehendak beberapa elemen bangsa dan masyarakat yang sangat menginginkan perubahan tetapi sayangnya para reformis tidak mempersiapkan dengan baik pemimpin pengganti Presiden Soeharto yang telah menjaga Bangsa Indonesia selama 32 tahun dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Sejalan dengan bergulirnya era reformasi di bidang politik tersebut diatas maka hal ini tentunya memiliki  implikasi pada reformasi di bidang birokrasi (pemerimntah) sebab antara politik dan birokrasi memiliki korelasi yang sangat kuat dan ke dua unsur ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business prosess) dan sumber daya manusia aparatur.
Berbagai permasalahan/hambatan yang mengakibatkan sistem penyelenggaraan pemerintahan tidak berjalan atau diperkirakan tidak akan berjalan dengan baik harus ditata ulang atau diperharui.
    Reformasi birokrasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dengan kata lain, reformasi birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional.
    Selain itu dengan sangat pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi serta perubahan lingkungan strategis menuntut birokrasi pemerintahan untuk direformasi dan disesuaikan dengan dinamika tuntutan masyarakat.
    Oleh karena itu harus segera diambil langkah-langkah yang bersifat mendasar, komprehensif, dan sistematik, sehingga tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Reformasi di sini merupakan proses pembaharuan yang dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan, sehingga tidak termasuk upaya dan/atau tindakan yang bersifat radikal dan revolusioner.
    Hakikat Reformasi Birokrasi: merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business prosess) dan sumber daya manusia aparatur.
    Reformasi birokrasi di Indonesia menempatkan pentingnya rasionalisasi birokrasi yang menciptakan efesiensi, efektifitas, dan produktifitas melalui pembagian kerja hirarkikal dan horizontal yang seimbang, diukur dengan rasio antara volume atau beban tugas dengan jumlah sumber daya disertai tata kerja formalistic dan pengawasan yang ketat.
    Penataan organisasi pemerintah baik pusat maupun daerah didasarkan pada visi, misi dan sasaran startegis, agenda kebijakan, program dan kinerja kegiatan yang terencana dan diarahkan terbangunannya sosok birokrasi dengan tugas dan bertanggungjawaban terbuka dan aksessif.
    Penyederahanaan tata kerja dalam hubungan intra dan antar aparatur serta antar aparatur dengan masyarakat dan dunia usaha yang berorientasi pada criteria dan mekanisme yang impersonal terarah pada penerapan pelayanan prima.
    Reformasi birokrasi juga merupakan langkah strategis membangun sumber daya aparatur Negara yang professional, memiliki daya guna dan hasil guna yang professional dalam rangka menunjang jalannnya pemerintah dan pembangunan nasional.
Sedangkan dasar kebijakan reformasi birokrasi antara lain : UU No.17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, Perpres no.5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014, Peraturan Presiden No.81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dan 10  Peraturan Menteri PAN & RB tentang Pelaksanaan Reformasi Birokrasi di Indonesia.
Permen No.20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi (Pelaksanaan Reformasi Birokrasi) dapat dijelaskan dalam tabel berikut :
Tabel: 1
Road Map Reformasi Birokrasi
Program untuk tingkat makro
Program untuk tingkat meso
Program untuk tingkat mikro
1
Penataan birokrasi
Manajemen perubahan
Manajemen perubahan
2
Penataan tatalaksana
Konsultasi dan asistensi
Penataan peraturan Per UU
3
Penataan manajemen SDM aparatur
Monitoring evaluasi dan pelaporan
Penataan dan penguatan organisasi
4
Penguatan pengawasan
Knwoledge management
Penataan tata laksana
5
Penguatan akuntabilitas kinerja

Penataan sistem manajemen SDM aparatur
6
Peningkatan pelayanan publik

Penguatan pengawasan
7


Penguatan akuntabilitas kinerja
8


Peningkatan kualitas pelayanan publik
9


Monitoring dan evaluasi
Sumber : Kebijakan Reformasi Birokrasi Pusat, 2010
Berkaitan dengan hal tersebut maka potret birokrasi di Indonesia dalam tercover dari lima unsur, yakni:1) Organisasi, 2) Kepastian Hukum dan Peraturan Per UU, 3) Sumber Daya Aparatur, 4) Business Process dalam Pelayanan Publik dan 5) Mindset Culture Set.
Organisasi  terkait dengan struktur gemuk dan tidak fit dengan fungsinya, belanja birokrasi lebih besar dari pada belanja publik dan pembentukan SKPD tidak selalu sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerah.
Kepastian Hukum dan Peraturan Per Undang Undangan  terkait dengan kontradiktif an ambigu dalam implementasinya, belum terpadunya instansi pelaksana pengawasan produk hukum daerah kabupaten dan kota, masih banyaknya produk hukum daerah kabupaten/kota yang dibatalkan, prioritas penyusunan produk hukum daerah yang masih dapat berubah walaupun telah ditetapkan, masih banyaknya aksi kekerasan terhadap perempuan dan anak yang mengakibatkan masayarakat merasa belum sepenuhnya merasa aman dan nyaman dan terakhir  lembaga peradilan tidak pernah memihak pada masyarakat miskin dalam hal ini hukum dipersepsikan sebagai lembaga bisnis “ siapa yang mampu membeli dan memiliki kuasa dia yang akan menang diperadilan sekalipun dia adalah pelaku sebuah kejahatan “
Sumber Daya Aparatur sangat berhubungan dengan overstaffed and understaffed, masalah integritas. Mismatch dan kompetensi, distribusi tidak profesional, kurangnya disiplin PNS, prinsip moralitas PNS belum sepenuhnya dijunjung tinggi dan pola karir belum dilaksanakan dengan baik.
Business process dalam Pelayanan Publik yang dimaksud di sini adalah :
Seluruh aspek regulasi tata laksana penyelengaraan pemerintahan di lingkungan pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota belum memiliki standar baku.
Pemahaman aspek tata laksana penyelengaraan pemerintahan daerah bagi SKPD di lingkungan peerintahan provinsi dan kabupaten/kota masih sangat terbatas.
Variasi model tata laksana pada pemerintahan daerah masih berbeda beda dan belum seluruh pedoman sistem tata laksana yang dapat dijadikan sebagai acuan bertindak oleh daerah (yang berlaku saat ini sifatnya parsial).
Pelayanan Publik memiliki ketidakpastian terutama yang berhubungan dengan prosedur, biaya, waktu, kurang berkualitas dan terbuka celah untuk melakukan tindak korupsi.
Pelayanan publik belum sepenuhnya melayani masyarakat secara optimal yang disebabkan karena minimnya sarana prasarana, kapasitas aparatur dan sistem prosedur yang belum sepenuhnya dijalankan dengan baik.
Sedangkan yang dimaksud dengan mindset dan culture set adalah pelayanan publik kurang melakukan inovatif dan minim dengan semangat perubahan.
Hal- hal diatas memicu dan mendorong percepatan lahirnya era Reformasi birokrasi dan reformasi birokrasi  merupakan salah satu upaya Pemerintah untuk mencapai good governance dan dasar pemikiran tersebut berdasarkan pertimbangan serta melihat pengalaman sejumlah Negara yang menunjukan bahwa reformasi birokrasi merupakan langkah awal untuk mencapai kemajuan sebuah Negara.
Melalui reformasi birokrasi, dilakukan penataan terhadap system penyelenggaraan pemerintahan yang tidak hanya efektif dan efesien tapi juga reformasi birokrasi menjadi tulang punggung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Reformasi birokrasi memang akan diterapkan dijajaran kementerian dan lembaga pemerintah. Mereformasi birokrasi kementerian dan lembaga memang sudah saatnya dilakukan sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi saat ini, dimana birokrasi dituntut untuk dapat melayani masyarakat secara cepat, tepat dan profesional.
Birokrasi merupakan faktor penentu dalam mencapai tujuan pembangunan nasional. Oleh sebab itu cita-cita reformasi birokrasi adalah terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang professional, memiliki kepastian hukum, transparan, partisipatif, akuntable dan memiliki kredibilitas serta berkembangnya budaya dan perilaku birokrasi yang didasari oleh etika, pelayanan dan pertanggungjawaban public serta integritas pengabdian dalam mengemban misi perjuangan bangsa mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara.
Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business prosess) dan sumber daya manusia aparatur.
Reformasi birokrasi di Indonesia menempatkan pentingnya rasionalisasi birokrasi yang menciptakan efesiensi, efektifitas, dan produktifitas melalui pembagian kerja hirarkikal dan horizontal yang seimbang, diukur dengan rasio antara volume atau beban tugas dengan jumlah sumber daya disertai tata kerja formalistic dan pengawasan yang ketat.
Penataan organisasi pemerintah baik pusat maupun daerah didasarkan pada visi, misi dan sasaran startegis, agenda kebijakan, program dan kinerja kegiatan yang terencana dan diarahkan terbangunannya sosok birokrasi dengan tugas dan bertanggungjawaban terbuka dan aksessif.
Penyederahanaan tata kerja dalam hubungan intra dan antar aparatur serta antar aparatur dengan masyarakat dan dunia usaha yang berorientasi pada criteria dan mekanisme yang impersonal terarah pada penerapan pelayanan prima.
Reformasi birokrasi juga merupakan langkah strategis membangun sumber daya aparatur Negara yang professional, memiliki daya guna dan hasil guna yang professional dalam rangka menunjang jalannnya pemerintah dan pembangunan nasional.
Pelaksanaan reformasi birokrasi telah mendapatkan landasan yang kuat melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025.
Selanjutnya, dalam implementasinya telah ditetapkan landasan operasional dalam bentuk Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 20 tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014.
Kemajuan yang cukup berarti, dalam tahun 2010, sebanyak 9 kementerian/lembaga telah melaksanakan reformasi birokrasi instansi (RBI).
Dengan demikian, saat ini sudah terdapat 13 K/L yang melaksanakan RBI. Dalam rangka meningkatkan koordinasi, menajamkan dan mengawal pelaksanaan reformasi birokrasi, telah ditempuh langkah-langkah kebijakan, antara lain:
1.                    Penerbitan Keppres 14 Tahun 2010 tentang Pembentukan Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional, yang disempurnakan menjadi Keppres Nomor 23 Tahun 2010;
2.                    Keputusan Menpan dan RB Nomor 355 Tahun 2010 tentang Pembentukan Tim Independen,
3.                    Keputusan Menpan dan RB Nomor 356 Tahun 2010 tentang Pembentukan Tim Penjamin Kualitas (Quality Assurance).
Pada tahun 2011, diharapkan K/L yang telah melaksanakan RBI semakin bertambah sejalan dengan komitmen pemerintah untuk menuntaskan RBI pada seluruh K/L.
Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis RBI diharapkan dapat diselesaikan dan diimplementasikan.
Sejalan dengan perluasan reformasi birokrasi pada instansi pemerintah daerah, maka sosialisasi dan asistensi kepada pemerintah daerah terus ditingkatkan.
Kualitas pelaksanaan reformasi birokrasi khususnya dampaknya pada peningkatan kinerja dan pelayanan publik terus diawasi melalui Tim Quality Assurance.
Pada akhirnya keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi akan sangat mendukung dalam penciptaan good dovernance karena reformasi birokrasi merupakan inti dari upaya penciptaan good governance, sehingga akan dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan meningkatkan investasi di Indonesia yang berujung pada peningkatan pertumbuhan perekonomian Indonesia yang membawa implikasi terhadap kesejahteraan rakyat.
Di Indonesia reformasi birokrasi menurut E. E. Mangindaan, 17 Maret 2010 dalam bukunya yang berjudul Reformasi Birokrasi dan Profil PNS Kedepan (2025) sbb:
 “Pelaksanakan reformasi birokrasi nasional pemerintah tidak akan mengorbankan pegawai negeri sipil yang telah bekerja belasan atau puluhan tahun. Pegawai pada satu fungsi atau jabatan yang tidak tepat, tidak akan dibuang begitu saja”

Maksud dan tujuan reformasi birokrasi adalah mewujudkan birokrasi profesional yang handal dalam memberikan pelayanan kepada publik telah berkembang menjadi tuntutan perubahan dan semestinya, pelayanan publik baik akan mendorong ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat.
Michael E. Porter (2007, vii) di dalam bukunya Dynamic Governance bertanya “What makes government effective?”
Pertanyaan ini ditujukan Porter mengingat bahwa banyak sekali kegagalan terjadi di berbagai Negara disebabkan oleh kebijakan pemerintahan buruk, implementasi buruk, kegagalan etika, dan ketidakmampuan pemerintah menyesuaikan diri dengan perubahan ketika diperlukan.

Selanjutnya menurut Porter, pemerintahan buruk akan mengakibatkan penderitaan hidup pada warganya. Pemerintahan yang baik akan menghasilkan sinergi antara para pemangku kepentingan.
Menurut Carolina G. Hernandez (1999, 4), tentang prinsip prinsip Good Governance versi United Nations Development Programme, setidaknya menyebutkan keterlibatan ketiga unsur, yaitu pemerintah, masyarakat, dan swasta, dalam pembangunan. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
a) participation;
b) rule of law;
c) transparency;
d) responsiveness;
e) consensus orientation;
 f) equity;
g) effectiveness and efficiency;
 h) accountability;
i) strategic vision.
 Reformasi birokrasi Indonesia mau tidak mau akan selalu melibatkan Pegawai Negeri baik itu sipil (PNS), TNI/Polri maupun tenaga honorer (Prasodjo, 2010; Affandy, 2010).
Namun demikian, reformasi birokrasi haruslah juga memperhatikan berbagai arah perubahan strategis dari berbagai literatur berkaitan dengan reformasi birokrasi yang ada, seperti reinventing government, dynamic governance, new public management, new public service, sampai pada akhirnya dapat dijelaskan bagaimana keseluruhan perubahan yang ada berhubungan dengan profil birokrasi yang diinginkan.
Reformasi birokrasi memiliki orientasi pada  empat unsur dan ke empat unsur itu adalah :
1.                    Paradigma reinventing government terhadap reformasi birokrasi;
2.                    Bagaimana konsep dynamic governance dapat memberikan masukan berharga bagi upaya merumuskan grand strategy reformasi birokrasi;
3.                    Menguraikan tentang tuntutan new public management dan new public service terhadap reformasi birokrasi;
4.                    Menggambarkan kesenjangan antara konsep yang ada dengan profil birokrasi yang diharapkan dalam reformasi administrasi negara vis a vis reformasi birokrasi.
Keterkaitan Reinventing Government dengan Reformasi Birokrasi Perubahan paradigman dalam memanding birokrasi telah dituangkan di dalam konsep Reinventing Govenrment dikemukakan oleh Ted Gaebler dan David Osborne (1992)  berpendapat bahwa saat ini birokrasi dihadapkan dengan perubahan besar dimana terdapat pasar global memerlukan daya kompetitif setiap individu birokrat, masyarakat sangat peka terhadap tuntutan perubahan jaman karena informasi sudah sedemikian mudah didapat. Begitu pula perubahan terjadi dimana para pemimpin harus berpacu dengan tuntutan yang dipimpin, mereka yang menginginkan otonomi lebih besar disertai kemudahan mengakses segala bentuk pilihan dan kualitas. Kesemuanya memicu pemerintah untuk cepat tanggap terhadap perubahan yang ada pada lingkungan domestik maupun internasional.
Pernyataan di atas diperkuat dalam Banishing Bureaucracy oleh David Osborne dan Plastrik (2000) 2 , mengemukakan bahwa:
 “The fundamental transformation of public systems and 1 David Oseborne and Ted Gaebler, Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit Transforming the Public Sector (New York: Penguin Book Ltd., 1992), hlm…. 2 David Osborne and Peter Plastrik, Banishing Bureaucracy (New York: Addison-Wesley Publishing Company, Inc., 2001), hlm. 12-13. organizations to create dramatic increases in their effectiveness, efficiency, adaptability, and capacity to innovate. This transormation is accomplished by changing their purpose, incentives, accountability, power structure, and culture.” (tranformasi mendasar pada sistem pemerintahan dan organisasi adalah untuk menciptakan pertumbuhan dramatis dalam efektivitas, efisiensi, adaptabilitas, dan kapasitas berinovasi. Tranformasi ini dapat dicapai dengan mengubah tujuan, insentif, pertanggungjawaban, struktur kekuasaan, dan budaya).

Singkat kata, Osboren, Gaebler, dan Plastrik, menginginkan transformasi birokrasi lebih mengarah kepada birokrasi wirausaha atau entrepreneur, karena posisi argumen mereka sangat berkaitan dengan kondisi kritis birokrasi yang tidak mampu merubah dirinya menjadi kompetitif menghadapi tantangan free market.
Birokrasi dituntut menjadi sangat efisien, persis seperti mesin-mesin di dalam suatu perusahan bekerja, namun disertai kemampuan mengembangkan diri sehingga mampu menghidupi diri sendiri dengan kreatifitas menciptakan sesuatu yang baru.
Model seperti ini memposisikan birokrasi seperti perusahaan dan pengguna atau pelanggan adalah masyarakat.
Konsep reinventing government atau lebih dikenal di Indonesia dalam terjemahannya sebagai mewirausahakan birokrasi adalah bagaimana membangun lembaga-lembaga pemerintah (baca: birokrasi) yang mampu merubah dirinya sehingga mampu menghadapi tantangan-tantangan terjadi.
Osborne dan Gaebler merumuskan sepuluh prinsip3 birokrasi berjiwa entrepreneur, yaitu:
1) Pemerintahan katalis: mengarahkan ketimbang mengayuh;
2) pemeirntahan milik masyarakat: memberi wewenang ketimbang melayani;
3) pemerintahan yang kompetitif: menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan;
4) pemerintahan yang digerakkan misi: mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan;
 5) pemerintahan yang berorientasi hasil: membiayai hasil dibandingkan dengan masukan;
6) pemerintahan berorientasi pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan bukan birokrasi;
7) peemrintahan wirausaha: menghasilkan dibandingkan dengan membelanjakan;
8)  pemerintahan antisipatif: mencegah daripada mengobati;
9)  pemerintahan 3 Ibid, Osborne and Gaebler, hlm 15. desentralisasi; 10)pemerintahan berorientasi pasar: mendongkrak perubahan melalui pasar.
Namun demikian, kendala dalam pelaksanaan reformasi birokrasi dengan mengadopsi model di atas masih banyak, terutama seperti dikemukakan oleh Arief Budiman yang menyebut birokrasi Indonesian masih dekat dengan pelabelan bureaucratic rente, artinya birokrasi selalu menginginkan menjadi satu hegemoni kekuasaan tanpa memperbolehkan pihak lain menjadi pengkritik.
Birokrasi model ini tidak akan membiarkan lawan politik apalagi masyarakat menjadi mitra kerja dalam membangun reformasi birokrsi yang diinginkan.
Konsep New Public Management dan New Public Service New public management merupakan pendekatan manajemen dikenal pada era 1980-an yang dipopulerkan kembali tahun 1990-an.
Sebelumnya pendekatan ini telah mengalami beberapa perubahan salah satunya adalah perubahan dari Enterpreneurial Government (Osborne and Gaebler, 1992) 4 . 4 David Osborne & Ted Gaebler. Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit Is Transforming the Public Sector. New York: Penguin Press, 1992 David Osborne dan Ted Gaebler menyatakan bahwa organisasi yang memberikan pelayanan publik perlu membuka diri sehingga lebih bentuk organisasinyapun menjadi lebih ramping atau pipih (flat), efisien dan rasional serta desentralisasi.
Pelanggan menjadi sentral dalam pelayanan. Reinventing government mendasari konsep new public management (NPM), yang menekankan pada customer satisfaction.
Sehingga, new public management dapat diumpamakan sebagai aplikasi konsep manajemen bisnis pada organisasi publik.
Selanjutnya, Pollitt 5 dalam The New Public Management, berpendapat bahwa NPM bercirikan: a) usaha peningkatan efisiensi secara terus menerus; b) peningkatan penggunaan teknologi canggih secara terus-menerus; c) peningkatan disiplin pegawai untuk meningkatkan produktifitas; dan d) implementasi yang jelas terhadap peran manajemen profesional. Pendekatan ini banyak mengambil prinsip-prinsip dari Taylor. Tokoh-tokoh New Public Management antara lain: Kooiman (2003), 6 mengatakan bahwa pola hubungan masyarakat, pemerintah, dan swasta merupakan hubungan yang kompleks, dinamis, dan diverse (beragam).
Perubahan pandangan terhadap birokrasi terus terjadi ketika muncul Manajemen Pelayanan Masyarakat (New Public Services), dengan merevisi pengertian dari Reinventing Government (2005) ala Osborne dan Gaebler, yang mengungkapkan peran masyarakat ketimbang pemerintah dalam mengelola kebutuhan mereka dalam bermasyarakat.
Reformasi Birokrasi Konsep Governance menjelaskan hubungan antara pemerintah dan warga negaranya dalam menyusun kebijakan publik dan program, mengimplementasikan dan kemudian mengevaluasinya.
Dalam konteks lebih luas, konsep tersebut merujuk pada pengertian bahwa segala aturan, kelembagaan, dan jejaring kerja yang menentukan bagaimana suatu negaera atau organisasi berfungsi8 Sedangkan konsep dynamic governance berangkat dari kebutuhan perubahan kelembagaan pemerintah untuk mendorong keberdayaan kompetitif dalam sektor ekonomi dan pembangunan sosial di sebuah negara.
Lembaga pemerintah tidak lekat dengan apa yang disebut sebagai dinamisme.
Lembaga pemerintah kebanyakan terdiri dari lembaga-lembaga yang gemar sekali memonopoli dan tidak suka dengan aturan disiplin mengikat ketika mereka harus memberikan hasil dan pelayanan jasa, yang kesemuanya semestinya bisa dilakukan tanpa pungutan biaya atas dasar subsidi pemerintah.
Lebih sulit lagi, lembaga lembaga seperti itu biasanya bekerja berdasarkan anggaran yang telah ditetapkan berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang rentan pengaruh politik.
Lembaga pemerintah tidak pernah bisa beroperasi seperti perusahaan swasta yang berani mengambil resiko, merasakan akibat finansial, dari kesalahan pengambilan keputusan. Singkat kata, lembaga pemerintah tidak pernah merasakan hukuman disiplin atas perbuatan yang mereka lakukan.
Berdasarkan studi Porter di Singapura, ia menemukan bagaimana penanaman dasar-dasar nilai budaya dan kepercayaan akan bisa bekerja sama secara sinergis dengan kemampuan organisasi kuat untuk menciptkana sistem governance yang dinamis.
Suatu sistem yang mampu menciptakan perubahan terus menerus. Menurut Porter, budaya suatu lembaga dapat mendukung ataupun menghambat, memfasilitasi ataupun menghalangi dinamisme dari pengambilan keputusan dan pelaksanaannya.
Pada akhirnya, Porter merangkum tiga titik kritis kemampuan Governance atau kemampuan mengelola tata pemerintahan: 1) thinking ahead—kemampuan untuk menerima tandaptanda awal dari perubahan arah pembangunan di masa datang; 2) thingking again—kemampuan dan kemauan untuk berpikir kembali dan membuat kembali kebijakan yang ada sekarang sehingga dapat bekerja dengan lebih baik; 3) thinking across—kemampuan dan keterbukaan untuk melintas batas mempelajari pengalaman dari lainnya sehingga pemikiran-pemikiran 10 Michael Porter, On Competititon (MA: HBS Press, 1998), Chapter 6 and 7. baru dan konsep lain dapat diperkenalkan kepada lembaga tempat bekerja11 .
Kaitan antara reformasi birokrasi dengan dynamic governance terletak pada tulisan Porter tentang bagaimana kemampuan negara untuk melakukan perubahan pada arah kebijakan bergantung pada usaha terus menerus untuk mengembangkan diri dan keinginan tetap untuk belajar, adaptasi dan inovasi mereka.
Kemampuan ini tentunya tidak datang begitu saja karena dibutuhkan kemampuan para pelaku di dalam sektor pemerintah untuk berpikir ke depan dan antisipatis, berpikir kembali tentang kebijakan yang ada dan berpikir lintas batas untuk mengakomodir kebijakan yang ada di luar dan bermanfaat untuk diaplikasikan di dalam negeri.
Reformasi birorkasi tidak diperkenalkan secara eksplisit oleh Porter, namun perubahan sebagai makna reformasi sendiri sudah menjelaskan bagaimana perubahan tata kelola pemerintahan tidak akan terlepas dari subyek perubahan sendiri yaitu pelaku sektor pemerintah atau birokrasi.
Porter menampilkan kerangka dalam mengelola birokrasi menuju dynamic governance, yaitu kemampuan berubah sebagai jawaban atas tuntutan yang ada, dan kemampuan untuk mempertimbangkan dan memilih posisi-posisi dalam kondisi nilai-nilai dan kepercayaan yang tidak berubah.
Untuk itu, Porter mengilustrasikan betapa pentingnya birokrasi sebagai kunci menuju dynamic governance sebagai berikut: Ilustrasi.
People as Key to Dynamic Governance 11 Ibid, Porter, hlm. 3-4. Philosophy Policies Practices Strategic View of Leadership Character of Integrity Principle of Meritocracy Leadership Retention People Development Talent Selection Scholarship Recruitment Salary benchmarking, Promotion & recognition, Fixed term tenure Performance appraisal, Potential assessment, Job posting & rotation , Milestone courses

Filosofi dari manajemen orang atau sumber daya di dalam sektor publik atau birokrasi berdasarkan keyakinan bahwa: 1) kepentingan strategis dan penempatan peran penting dari bakat dan kepemimpinan menuju dynamic governance 2) meritokrasi merupakan dasar dari seleksi, penugasan, promosi dan pemberhentian; dan 3) rekrutmen paling penting bagi posisi pemimpin adalah mereka harus merupakan orang-orang yang memiliki integritas dan kejujuran .
Reformasi birokrasi tidak dapat berjalan tanpa adanya dukungan dari para PNS sebagai penyusun 3,7 juta angkatan kerja di Indonesia. Oleh karena itu, komitmen pemerintah untuk mereformasi birokrasi harus terus menerus disertai dengan usaha mengintegrasikan kebutuhan perubahan di dalam tubuh individu PNS itu sendiri. Sumber: Kementerian PAN dan RB (2010).
Reformasi birokrasi di Indonesia (2010-2025) versi Kementerian PAN dan RB sebenarnya sudah sedikit banyak mengakomodasi pemikiran-pemikiran yang sudah ada sebelumnya. 
Namun belum pemberlakukan birokrasi sebagai sebuah lembaga belum tentu seberhasil bila fokus diarahkan pada perubahan pada individu pegawai. 
Dari uraian sebelumnya, kemauan lembaga pemerintah beradaptasi, menerima pelajaran dari contoh yang baik, memerlukan perubahan di dalam diri para penyusun birokrasi itu sendiri.
Reformasi birokrasi tidak dapat berjalan tanpa adanya dukungan dari para PNS sebagai penyusun 3,7 juta angkatan kerja di Indonesia. 
Oleh karena itu, komitmen pemerintah untuk mereformasi birokrasi harus terus menerus disertai dengan usaha mengintegrasikan kebutuhan perubahan di dalam tubuh individu PNS itu sendiri.  
Jika Implementasi Reformasi Birokrasi hanya berdasarkan pada efesiensi dan efektivitas anggaran saja maka hal ini justru akan membawa kopleksivitas sikon sebuah negara sebab dalam dalam implemtasinya ada  empat (4) pertanyaan besar juga menyertai era ini, yakni :
1.  apakah Indonesia benar-benar telah siap menerapkan REFORMASI BIROKRASI saat ini ?
2.  apakah sudah dipikirkan dampaknya bagi masyarakat yang notabene adalah user (pengguna) pelayanan publik?
3.    apakah pemerintah (kalangan birokrasi) sudah memiliki value, knowlegde, skill di bidang reformasi birokrasi itu sendiri (termasuk SDM, SDA, Infrastruktur, Modal (anggaran), Smart Manager, Perangkat IT, controlling dan Moneva (monitoring dan evaluasi)?”
4.  Apakah sudah dilakukan study kelayakan  dan bagaimana hasilnya? ( Indonesia terdiri dari masyarakat yang heterogen baik dari segi SDM, budaya, adat istiadat, religi, tehnologi yang belum terdistrusi dengan baik, sebagian masyarakat daerah belum mampu mengakses sistem sumber informasi)
      Pelaksanaan reformasi birokrasi telah mendapatkan landasan yang kuat melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025.
        Selanjutnya, dalam implementasinya telah ditetapkan landasan operasional dalam bentuk Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 20 tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014.
         Kemajuan yang cukup berarti, dalam tahun 2010 ini, sebanyak 9 kementerian/lembaga telah melaksanakan reformasi birokrasi instansi (RBI). Dengan demikian, saat ini sudah terdapat 13 K/L yang melaksanakan RBI.
 Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis RBI diharapkan dapat diselesaikan dan diimplementasikan. Sejalan dengan perluasan reformasi birokrasi pada instansi pemerintah daerah, maka sosialisasi dan asistensi kepada pemerintah daerah terus ditingkatkan.
 Kualitas pelaksanaan reformasi birokrasi khususnya dampaknya pada peningkatan kinerja dan pelayanan publik terus diawasi melalui Tim Quality Assurance.
Pada akhirnya keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi akan sangat mendukung dalam penciptaan good dovernance karena reformasi birokrasi merupakan inti dari upaya penciptaan good governance, sehingga akan dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan meningkatkan investasi di Indonesia yang berujung pada peningkatan pertumbuhan perekonomian Indonesia yang membawa implikasi terhadap kesejahteraan rakyat. 
Dan ujung tombak bagi keberhasilan pelaksanaan birokrasi sebenarnya dimulai dari Integritas, Kinerja, SDM dan Moralitas para pejabat itu sendiri.
Sekali lagi bahwa kunci keberhasilan Reformasi Birokrasi justru terletak pada komitmen para pejabat dalam mengimplementasikan pelaksanaan reformasi birokrasi.
Referensi:
1.       Kementrian Pendayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, www.menpan.go.id/reformasi-birokrasi/makna dan tujuan.
2.       Sosialisai Kebijakan Reformasi Birokrasi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, 2016. Jawa Tengah.
4.       Reformasi.net/reformasi “Reformasi Birokrasi-Pemerintah
5.       www.academia.edu/6205065/Makalah Birokrasi Indonesia
6.       www.academia.edu/9768900/Tujuan Tujuan Reformasi Birokrasi
7. blog.sivitas.lipi.go.id/blog.cgiisiblog&1253275195&&am&1036006290/Apa itu reformasi birokrasi