Minggu, 29 September 2013

TINJAUAN TENTANG KEMISKINAN

A. Pengertian Kemiskinan:
Menurut Heru Nugroho (1995:38) kemiskinan adalah hasil produk dari konstruksi sosial, sehngga yang dilakukan justru menimbulkan dominasi baru atau terjadinya dialektika pembangunan. Sialektika pembangunan yang terjadi antara lain:
  • Pembangunan yang diharapakan terjadi trikle down effect, justru menimbulkan trikle up effect karena daya sedot akumulasi capital lebih kuat ke pusat dibandingkan dengan pemertaan pembangunan melalui program-program anti kemiskinan;
  • Pembangunan yang dilakukan hanya membebaskan “orang dari”, belum membebaskan”oang untuk”. Hal ini berarti bahwa pembangunan tersebut baru membebaskan didi dari rasa lapar, dan elum membebaskan diri untuk mengekspresikan kemmapuan diri dan mengoreksi pembangunan itu sendiri;
  • Para akademisi terjebak dalam penelitian yang teknis sehingga rekomendasi bagi pengentasan kemiskinan hanya mencapai sasaran teknis, yang berupa dimensi kemiskinan yang bias diukur (material well being), dan tidak memperdayakan masyarakat itu sendiri, yang berupa social well being.
Berdasarkan Study SMERU, Soeharto (2006:132) menunjukan Sembilan kriteria yang menandai kemiskinan :
  1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan komsumsi dasar (pangan, sandang dan papan);
  2. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental;
  3. Ketidakmampuan dan keberunungan social (anak telantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda msikin, eklompok marjinal dan terpencil);
  4. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia (buta huruf, rendahnya pendidikan dan ketrampilan, sakit-sakitan) dan keterbatasan sumber alam (tanah tidak subur, lokasi terpencil, ketiadaan infrastruktur jalan, listrik,air);
  5. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual (rendahnya pendapatan dan asset), maupun missal (rendahnya modal social, ketiadaan fasilitas umum);
  6. Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang memadai dan berkesimbungan;
  7. Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi);
  8. Ketiadaan jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga atau tidak adanya perlindungan social dari Negara dan masyarakat);
  9. Ketidakterlibatan dalam kegiatan social masyarakat.
Menurut Prof Sutanyo Wignjosoebroto,MPA (2005:4) ciri-ciri kemiskinan sebagai berikut :
  • Mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan pada umumnya tidak memiliki faktor produksi, sendiri: tanah yang cukup, modal ataupun ketampilan. Faktor produksi yang dimiliki umumnya sedikit, sehingga untuk memperoleh pendapat menjadi sangat terbatas.
  • Mereka pada umumnya tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri. Pendapatan yang diperoleh tidak cukup memperoleh tanah gararapan atau pun modal usaha. Sementara mereka pun tidak memiliki syarat untuk terpenuhunya kredit perbankan, seperti jaminan kredit dan lain-lain, yang mengakibatkan mereka berpaling ke lintah darat yang biasanya untuk pelunasannya meminta syarat-syarat berat dan bunga yang amat tinggi.
  • Waktu untuk mencari makan sehingga tidak ada lagi waktu untuk belajar. Demikian juga dengan anak-anak mereka, tak dapat meyelesaikan sekolah karena harus membantu orang tuanya mencari nafkah tambahan.
  • Banyak diantara mereka yang tinggal di daerah pedesaan dan tidak mempunyai tanah garapan, atau kalaupun ada relative kecil sekali. Pada umumnya mereka menjadi, karena bekerja di pertanian berdasarkan musiman, maka kesinambungan pekerjaan mereka menjadi kurang terjamin. Banyak antara mereka lalu menjadi pekerja bebas (selfemployed) yang berusaha apa saja. Akibat di dalam situasi penawaran tenaga tenaga kerja yang besar, maka tingkat upah menjadi rendah sehingga mengurung mereka selalu hidup dibawah garis kemiskinan. Didorong oleh kesulitan hidup di desa, maka banyak di antara mereka mencoba berusaha ke ota (urbanisasi) untuk mengadu nasib.
  • Banyak di antara mereka yang yang hidup di kota masih muda dan tidak mempunyai ketrampilan atau skill da pendidikan. Sedangkan kta sendiri terutama di Negara sedang berkembang tidak siap menampung gerak urbanisasi penduduk desa itu. Apabila di Negara maju pertumbuhan industry menyertai urbanisasi dan pertmbuhan kota sebagai penarik bagi masyarakat desa untuk bekerja di kota, proses urbanisasi di Negara sedang berkembang tidak sertai proses penyerapan enaga kerja dalam perkembangan industry. Bahkan, sebaliknya, perkembangan tekhnologi di kota-kota Negara berkembang justru menampik penyerapan tenaga kerja, sehingga penduduk miskin yang pindah ke kota terdampak dalam kantong-kantong kemelartan (slumps)
B. Dimensi Kemiskinan
  • Menurut Lembaga penelitian SMERU dan badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (BKPK) yang dikutip oleh Depatremen Sosial (2003:7-8) yang dimaksudkan dengan dimensi kemiskinan sebagai berikut:
  • Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan)
  • Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi dan transportasi)
  • Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga)
  • Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal.
  • Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam.
  • Tidak dilibatkan dalam kegiatan sosial masyarakat.
  • Tidak adanya akses terhadap lapangan pekerjaan dan mata penharian yang berkesinambungan
  • Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.
  • Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil)

  • Menurut Edi Suharto (2008:15-18) kemiskinan sejatinya menyangkut pula dimensi material, sosial, kultural, institusional, dan struktural. Secara konseptual kemiskinan dapat diakibatkanbatkan oleh empat faktor, yakni :
  • Faktor Individual.
  • Tekait dengan aspek patologis, termasuk konidisi fisik dan patologis si miskin.Orang miskin oleh perilaku, pilian atau emampuan dari si miskin itu sendiri dalam enghadapi kehidupan.
  • Faktor Sosial.
  • Kondisi-kondisi lingkungan sosial yang menjebak seseorang menjadi miskin. Misalnya diskriminasi berdasarkan usia, jender, etnis menyebabkan seseorang menjadi miskin keluarga si miskin yang biasanya menyebabkan kemiskinan antar generasi.
  • Faktor Kultural.
  • Kondisi atau kualitas budaya yang menyebabkan kemiskinan. Faktor ini secara khusus sering menunjuk pada konsep “ kemiskinan struktural” atau “budaya kemiskinan”yang menghbungkan kemiskinan dengan dengan kebiasan hidup atau mentalis.
  • Faktor Struktural.
  • Menunjuk pada struktur atau sistem yang tidak adil, tidak sensitif dan tidak accesible sehingga menyebabkan seseorang atau sekelompok orang menjadi miskin.

C. Penyebab Kemiskinan: Menurut Prof.Sutandyo Wigjosoebroto.MPA (2005:8) mengatakan faktor yang melatarbelakangi, akar penyebab kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua katagori:
  1. Pertama, kemiskinan alamiah, yakni kemiskinan yang timbul sebagai akibat sumber-sumber daya yang langka jumlahnya dan atau karena tingkat perkembangan teknomogi yang sangat rendah. Artinya faktor-faktor yang menyebabkan suatun kekaya masyarakat menjadi miskin adalah secara alami memang ada, dan bukan bahwa akan ada kelompok atau individu di dalam masyarakat tersebut yang lebih miskin dari yang lain. Mungkin saja dalam keadaan kemskinan alamiah tersebut akan terdapat perbedaan-perbedaan kekayaan, tetapi dampak perbedaan tesebut akan diperlunak atau dieleminasi oleh adanya pranata-pranata tradisional, seperti pola hubungannya patron client, jiwa gotong royng, dan sejenisnya yang fungsional untuk meredam kemungkinan timbulnya kecemburuan social.
  2.  Kedua, kemiskinan buatan, yakni kemiskinan yang terjadi karena struktur sosial yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak mengusai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas anggota masyarakat dari kemiskinan.Kemiskinan buatan dalam banyak hal terjadi bukan karena seorang individu atau anggota keluarga malas bekerja atau karena mereka terus menerus sakit.Berbeda dengan perpeksif modernisasi ang cenderung memvonis kemiskinan bersumber dari lemahnya etos keja, tidak dimlikinya etika wirausaha atau karena budaya yang tidak terbiasa dengan kerja keras.Kemiskinan buatan dalam perbincangan di kalangan ilmuawan social acap kali diidentikkan dengan pengertian kemiskinan structural.Yang dimaksud dengan kemiskinan structural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-smber pendapatkan yang sebenanta tersedia bagi mereka.
Menurut Tansey dan Ziegley, 1991 dalam kemiskinan dan keberfungsian sosial (2003:8) kemiskinan mempunyai tiga penyebab prinsip yaitu:
·         Human capital deficiencies, definisi modal sosial manusia berati rendahnya kualitas sumberdaya manusia, seperti rendahnya pengetahuan dan ketrampilan sehingga menyebabkan mendapatkan pekerjaan yang rendah pendapatannya dan rendahnya daya beli.
·         Insufficient deman for labor, yakni rendahnya permintaan akan tenaga kerja sehingga meningkatkanpengangguran, pengangguran menyebabkan orang tidak memiliki pendapatan, daya beli rendah, akhirnya tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar.
·         Diskrimination, adanya perlakuan berbeda terhadap golongan tertentu terutama dalam aksesibilitas terhadap sumberdaya-sumberdaya dan adanya dominasi pihak tertentu terhadap sumberdaya tersebut.

Selanjutnya BKPK dan Lembaga penelitian SMERU, 2001 dalam kemiskinan dan keberfungsian sosial (2003:8-9) mengidentifikasikan penyebab kemiskinan sebagai berikut:
  • o      Keterbatasan pendapatan, modal dan sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar termasuk (modal sumber daya manusia, misalnya pendidikan formal, ketrampilan dan kesehatan yang memadai. Modal produksi, misalnya tahan akan akses terhadap kredit. Modal sosial, misalnya jaringan sosial dan akses terhadap kebijakan dan keputusan politik.Sarana fisik, misalnya akses terhadap prasarana dasar jalan, listrik dan air bersih, termasuk hidup di daerah yang terpencil).
  • o      Kerentanan dan ketidakmampuan menghadapi goncangan-goncanagn karena krisis ekonomi. kegagalan panen karena hama, banjir dan politik, kehilangan pekerjaan (PHK), konflik sosial dan politik, korban kekerasan sosial dan rumah tangga, bencana alam (longsor, gempa bumi, perubahan iklim global) dan musibah (jatuh sakit, kebakaran, keracunan atau ternak terserang wabah penyakit)
  • o      Tidak adanya suara yang mewakili dan terpuruk dalam ketidakberdayaan di dalam instutusi negara dan masyarakat karena tidak ada kepastian hukum, tidak ada perlindungan dari kehajatan, kesewenang-wenangan aparat, ancaman dan intimidasi, kebijakan publik yang peka dan tidak mendukung upaya penanggulangan kemiskinan dan rendahnya posisi tawar menawar masyarakat miskin.

D. Indikator Kemiskinan
Indikator untuk menentukan fakir miskin yang dimaksud menurut  Departemen Sosial RI, ( 2005 : 13-14 ) sebagai berikut:
a.    Penghasilan rendah, atau berada dibawah garis sangat miskin yang dapat diukur dari tingkat pengeluaran per orang per bulan berdasarkan standar BPS per wilayah propinsi dan Kabupaten Kota.
b.    Ketergantungan pada batuan pangan untuk penduduk miskin (seperti zakat/beras untuk orang miskin/santunan sosial).
c.    Keterbatasan kepemilikan pakaian untuk setiap anggota keluarga per tahun (hanya mampu memilki 1 stel pakaian lengkap per orang per tahun)
d.    Tidak mampu membiayai pengobatan jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit.
e.    Tidak mampu membiayai pendidikan dasar 9 tahun bagi anak-anaknya
f.     Tidak memilki harta (asset) yang dapat dimanfaatkan hasilnya atau dijual untuk membiayai kebutuhan hiodup selama tiga bulan atau dua kali batas garis sangat miskin.
g.    Tinggal dirumah yang tidak layak huni.
h.    Sulit memperoleh air bersih.

E. Model Pengukuran Kemiskinan
Di Indonesia terdapat beberapa model penghitungan kemiskinan, yaitu Model   Tingkat Konsumsi, Model Kesejahteraan Keluarga dan Model Pembangunan Manusia.
1. Model Tingkat Komsumsi.
Sayogyo (1971) menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras per kapita sebagai indikator kemiskinan.Beliau membedakan tingkat ekuivalen konsumsi beras di daerah pedesaan dan perkotaan.Untuk daerah pedesaan apabila seseorang hanya mengkonsumsi ekuivalen beras kurang dari 240 kg per orang pertahun, maka yang bersangkutan digolongkan sangat miskin.Sedangkan untuk daerah perkotaan ditentukan sebesar ekuivalen 360 kg beras per orang pertahun. Hampir sejalan dengan model konsumsi beras dari sayogyo, Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung angka kemiskinan lewat tingkat konsumsi pendududk atas kebutuhan dasar.
Perbedaannya adalah bahwa BPS tidak menyertakan kebutuhan-kebutuan dasar dengan jumlah beras. Dari sisi makanan, BPS menggunakan indikator yang direkomendasikan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1998 yaitu 2.100 kalori per orang per hari, sedangkan dari sisi kebutuhan non-makanan tidak hanya terbatas pada sandang dan papan melainkan termasuk pendidikan dan kesehatan.BPS pertama kali melaporkan penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin pada tahun 1984.pada saat itu penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin mencakup pereode 1976-1981 dengan menggunakan model konsumsi susenas (survey Sosial Ekonomi Nasional)

2. Model Kejahteraan Keluarga.
Berbeda dengan BPS, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)lebih melihat dari sisi kesejahteraan dibandingkan darisisi kemiskinan.Unit survey pada BPS digunakan rumah tinggal sedangkan BKKBN menggunakan keluarga. Hal ini tentunya sejalan dengan visi program Keluarga Berencana (KB) yaitu “ Keluarga yang Berkualitas”.
Untuk menghitung tingkat kesejahteraan, BKKBN melakukan program yang disebut sebagai Pendekatan Keluarga. Pendataan Keluarga dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data dasar kependudukan dan keluarga dalam rangka program pembangunan dan pengentasan kemiskinan. terdapat empat kelompok data yang dihasilkan oleh Pendataan Keluarga, yaitu: Data Demografi, misalnya jumlah jiwa dalam keluarga menurut jenis kelamin, dll;.
Data Keluarga Berencana, misalnya Pasangan Usia Subur (PUS), peserta KB, Data Tahapan Keluarga Sejahtera, yaitu jumlah keluarga yang masuk dalam katagori keluarga pra-sejahtera, sejahtera I, II dan III. Data kemiskian dilakukan melalui pentahapan keluarga sejahtera yang dibagi menjadi lima tahap, yaitu Keluarga Pra Sejahtera (sangat miskin), Keluarga Sejahtera I (miskin), Keluarga Sejahtera II, Keluarga Sejahtera III dan Keluarga Sejahtera III plus.

3. Model Pembangunan Manusia.
Pendekatan Pembangunan Manusia dipromosikan oleh Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk program pembangunan yaitu: United Nation Developmen Program (UNDP). Laporan tentang Pembangunan Manusia atau yang sering disebut Human Development Report (HDR) dibuat pertama kali pada tahun 1990 dan kemudian dikembangkan oleh lebih dari 120 negara.Pemerintah Indonesia melalui Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) selanjutnya mengembangkan model ini.HDR yang pertama dibuat pada tahun 1996 untuk situasi tahun 1990 dan 1993. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1993 telah menjadikan model ini sebagai model pembangunan nasional yang disebut sebagai “Pembangunan Manusia Seutuhnya”.
Laporan terakhir tahun 2004 yang menjelaskan keadaan pada tahun 1999 dan 2002. HDR berisikan penjelasan tentang empat index yaitu index Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI), Index Pembangunan Jender atau Gender Development Index (GDI), Langkah Pemberdayaan Jender atau Gender Empowerment Measure (GEM) dan Index Kemiskinan Manusia atau Human Poverty Index (HPI).
HDI dengan indikator tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf orang dewasa, rata-rata lama bersekolah, dan tingkat daya beli perkapita. HPI, dengan indikator kelahiran yang tidak dapat bertahan sampai usia 40 tahun, tingkat buta huruf orang dewasa, persentase penduduk yang tidak memiliki akses pada air yang aman untuk digunakan, persentase penduduk yang tidak memiliki akses pada fasilitas kesehatan, dan persentase balita yang kurang makan.
GDI, indikatornya adalah tingkat harapan hidup laki-laki dan perempuan, tingkat melek huruf orang dewasa laki-laki dan perempuan, rata-rata lama sekolah untuk laku-laki dan perempuan, serta perkiraan tingkat pendapatan laki-laki dan perempuan. Sedangkan GEM indikatornya adalah persentase jumlah anggota DPR dari laki-laki dan perempuan, persentase jumlah pegawai tingkat senior, manajer, profesional dan posisi teknis dari laki-laki dan perempuan, serta perkiraan tingkat pendapatan lai-laki dan perempuan.
Pengukuran angka kemiskinan dilakukan dengan melihat beberapa aspek sebagai sebagai berikut:
 Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
·         Mengukur pencapaian suatu wilayah dalam tiga dimensi pembangunan manusia yang paling esensial-lama hidup, tingkat pengetahuan, dan standar hidup yang layak.Indeks tersebut dihitung dengan angka harapan hidup, angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran perkapita.
·         Indeks Kemiskinan Manusia (IKM)
·         Mengukur dimensi yang berlawanan arah dari IPM, yaitu seberapa besar penduduk yang kurang beruntung, tertinggal (deprived people), karena tidak mempunyai akses untuk mencapai standar kehidupan ang layak. Indeks tersebut dihitung menggunakan prosentase penduduk yang tidak mencapai usia 40 tahun, prosentase penduduk buta huruf, prosentase balita dengan status gizi kurang, prosentase balita dengan status gizi kurang, prosentase penduduk tidak punya akses pada pelayanan kesehatan dasar, sanitasi air bersih. Semakin besar penduduk suatu wilayah pada situasi ini dipresentasikan oleh IKM yang semakin tinggi.
·         Indeks Kehidupan Fakir Miskin
·         Mengukur kesenjangan pencapaian, yaitu berapa upaya, dalam prosentase, yang masih harus dilakukan/dicapai untuk membawa kondisi kehidupan fakir miskin di suatu wilayah menuju standar kehidupan minimum yang layak.Dimensi yang diukur mencakup (1) situasi kelaparan atau sangat kurang kalori, (2) Kualitas hidup fakir miskin, (3) Akses fakir miskin pada pelayanan sosial dasar dan pembangunan.

F. Kemiskinan Dalam Pandangan Pekerjaan Sosial
Secara konseptual pekerjaan sosial memandang bahwa kemiskinan merupakan persoalan-persoalan multidimensional, yang bermatra ekonomi-sosial dan individu-struktural (Suharto, 2005). Berdasarkan perspektif ini, ada tiga kategori kemiskinan yang menjadi pusat perhatian pekerjaan sosial, yaitu
    1. Kelompok yang paling miskin (destitute) atau yang sering didefinisikan sebagai fakir miskin. Kelompok ini secara absolut memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan (umumnya tidak memiliki sumber pendapatan sama sekali) serta tidak memiliki akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
    2. Kelompok rentan (vulnerable group). Kelompok ini dapat dikategorikan bebas dari kemiskinan, karena memiliki kehidupan yang relatif lebih baik ketimbang kelompok destitutemaupun miskin. Namun sebenarnya kelompok yang sering disebut ”near poor” (agak miskin) ini masih rentan terhadap berbagai perubahan sosial di sekitarnya. Mereka seringkali berpindah dari status ”rentan” menjadi ”miskin” dan bahkan ”destitute” bila terjadi krisis ekonomi dan tidak mendapat pertologan sosial.
    3. Kelompok miskin (poor). Kelompok ini memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan namun   secara relatif memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar (misalnya, masih memiliki sumber-sumber finansial, memiliki pendidikan dasar atau tidak buta huruf).
Terkait dengan paparan tersebut, lebih lanjut Suharto (2005), bahwa strategi penanganan kemiskinan pekerjaan sosial terfokus pada peningkatan kemampuan orang miskin dalam menjalankan tugas-tugas kehidupan sesuai dengan statusnya. Demikian pula intervensi pekerjaan sosial senantiasa melihat sasaran perubahan (orang miskin) tidak terpisah dari lingkungan dan situasi yang dihadapinya (person-in-environment dan person-in-situation). Keberfungsian sosial merupakan konsepsi yang penting bagi pekerjaan sosial karena merupakan pembeda antara profesi pekerjaan sosial dengan profesi lainnya. Oleh karena itu, pendekatan pekerjaan sosial dalam menangani kemiskinan juga pada dasarnya harus diarahkan untuk memingkatkan keberfungsian sosial (social functioning) masyarakat miskin yang dibantu.

G.  Strategi Penanganan Kemiskinan
Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar yang diakui secara umum meliputi kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam, dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Bertolak dari paparan tersebut, Huraira (2008) bahwa dalam menyikapi permasalahan kemiskinan, strategi yang harus dilakukan untuk mengatasinya adalah sebagai berikut :
    1. Karena kemiskinan bersifat multidimensional, program pengentasan kemiskinan seyogyanya juga tidak hanya memprioritaskan aspek ekonomi tetapi memperhatikan dimensi lain.
    2. Untuk meningkatkan kemampuan dan mendorong produktivitas, strategi yang dipilih adalah peningkatan kemampuan dasar masyarakat miskin.
    3. Melibatkan masyarakat miskin dalam keseluruhan proses penanggulangan kemiskinan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi, bahkan pada proses pengambilan keputusan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar