Kedua, kecenderungan sekunder, yaitu
kecenderungan yang menekankan pada proses memberikan stimulasi, mendorong atau
memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan
apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Dua kecenderungan
tersebut memberikan (pada titik ekstrem) seolah berseberangan, namun seringkali
untuk mewujudkan kecenderungan primer harus melalui kecenderungan sekunder
terlebih dahulu. Beberapa pandangan tentang pemberdayaan masyarakat, antara
lain sebagai berikut : (Ife, 1996:59)
- Struktural, pemberdayaan merupakan upaya pembebasan, transformasi structural secara fundamental, dan eliminasi struktural atau sistem yang operesif.
- Pluralis, pemberdayaan sebagai upaya meningkatkan daya sesorang atau sekelompok orang untuk dapat bersaing dengan kelompok lain dalam suatu ’rule of the game’ tertentu.
- Elitis, pemberdayaan sebagai upaya mempengaruhi elit, membentuk aliniasi dengan elit-elit tersebut, serta berusaha melakukan perubahan terhadap praktek-praktek dan struktur yang elitis.
- Post-Strukturalis, pemberdayaan merupakan upaya mengubah diskursus serta menghargai subyektivitas dalam pemahaman realitas sosial.
Hakikat dari konseptualisasi empowerment berpusat
pada manusia dan kemanusiaan, dengan kata lain manusia dan kemanusiaan sebagai
tolok ukur normatif, struktural, dan substansial. Dengan demikian konsep
pemberdayaan sebagai upaya membangun eksistensi pribadi, keluarga, masyarakat,
bangsa, pemerintah, negara, dan tata dunia di dalam kerangka proses aktualisasi
kemanusiaan yang adil dan beradab. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep
pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan
paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people centred,
participatory, empowering, and sustainable” (Chambers, 1995).
Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata
memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk
mencegah proses pemiskinan lebih lanjut
(safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan
sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa
yang lalu. Konsep ini berkembang dari
upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara lain oleh Friedman
(1992) disebut sebagai alternative development, yang menghendaki ‘inclusive
democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenerational
equaty”.
(Ginanjar K., “Pembangunan Sosial dan
Pemberdayaan : Teori, Kebijaksanaan, dan Penerapan”, 1997:55) Konsep
pemberdayaan masyarakat ini muncul karena adanya kegagalan sekaligus harapan.
Kegagalan yang dimaksud adalah gagalnya model-model pembangunan ekonomi dalam
menanggulangi masalah kemiskinan dan lingkungan yang berkelanjutan. Sedangkan
harapan, muncul karena adanya alternatif pembangunan yang memasukkan
nilai-nilai demokrasi, persamaan gender, dan pertumbuhan ekonomi yang memadai.
Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat
lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan
diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakanan. Dengan kata lain,
pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.
Dalam upaya memberdayakan masyarakat dapat
dilihat dari tiga sisi, yaitu ; pertama,
menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang
(enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap
manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya,
tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena jika demikian akan
sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan
mendorong, memotivasikan, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang
dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
Kedua,
memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering).
Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya
menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata,
dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke
dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat
menjadi berdaya. Dalam rangka pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan
taraf pendidikan, dan derajat kesehatan,
serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi,
informasi, lapangan kerja, dan pasar.
Masukan berupa pemberdayaan ini
menyangkut pembangunan prasarana dan sarana dasar fisik, seperti irigasi,
jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah dan fasilitas pelayanan
kesehatan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada lapisan paling bawah,
serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di
perdesaan, dimana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya amat kurang.
Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena
program-program umum yang berlaku tidak selalu dapat menyentuh lapisan
masyarakat ini.
Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan
individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan
nilai-nilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan
kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini.
Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat didalamnya. Yang terpenting disini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan, pengamalan demokrasi.
Friedman (1992) menyatakan “The empowerment approach, which is fundamental to an altenative development, places the emphasis an autonomy in the decesion marking of territorially organized communities, local self-reliance (but not autachy), direct (participatory) democracy, and experiential social learning”.
Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat didalamnya. Yang terpenting disini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan, pengamalan demokrasi.
Friedman (1992) menyatakan “The empowerment approach, which is fundamental to an altenative development, places the emphasis an autonomy in the decesion marking of territorially organized communities, local self-reliance (but not autachy), direct (participatory) democracy, and experiential social learning”.
Ketiga, memberdayakan
mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang
lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi
yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat
mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak
berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan
mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah.
Melindungi harus
dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang,
serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan
membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity).
Karena, pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha
sendiri (yang hasilnya dapat dipertikarkan dengan pihak lain). Dengan demikian
tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun
kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara
berkesinambungan.
1. Definisi Pemberdayaan
Upaya pembangunan sosial pada
dasarnya merupakan suatu upaya pemberdayaan
masyarakat. Bagi seorang pelaku perubahan, hal yang dapat dilakukan terhadap
klien mereka (baik pada tingkat individu, keluarga, kelompok ataupun komunitas)
adalah upaya memberdayakan (mengembangkan klien dari keadaan tidak atau kurang
berdaya menjadi mempunyai daya) guna mencapai kehidupan yang lebih baik.
Pemberdayaan
adalah suatu cara dengan mana rakyat mampu menguasai (berkuasa atas)
kehidupannya (Suharto,1997:215).
Selanjutnya Craig dan Mayo dalam Huraira (2006) mengatakan bahwa konsep pemberdayaan termasuk dalam pengembangan masyarakat dan terkait dengan konsep-konsep : kemandirian (self help), partisipasi (participation), jaringan kerja (networking), dan pemerataan (equty).
Selanjutnya Craig dan Mayo dalam Huraira (2006) mengatakan bahwa konsep pemberdayaan termasuk dalam pengembangan masyarakat dan terkait dengan konsep-konsep : kemandirian (self help), partisipasi (participation), jaringan kerja (networking), dan pemerataan (equty).
Pemberdayaan
adalah upaya membangun daya saing, dengan mendorong, memotivasi, dan
membangkitkan aksi yang dimiliki masyarakat serta berupaya untuk
mengembangkannya (Kartasasmita 1996). Selanjutnya pemberdayaan menurut Suharto
(2005) menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah
sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam :
- Memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom, dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan)
- Menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan.
- Berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.
Pendapat Suharto
(2005) tersebut mengisyaratkan bahwa pemberdayaan sangat identik dengan
kebebasan atau bisa diartikan sebagai sebuah kemerdakaan. Artinya secara
normatif kebutuhan dasar dan kebutuhan untuk mengeksplorasi diri seseorang juga
perlu di beri kebebasan. Kemudian diberi kemudahan dalam mengakses
sumber-sumber pelayanan serta secara politik, diberi kebebasan untuk ikut
berpartisipasi dalam pembangunan yang dimulai dari proses perencanaan sampai
pada tahap evaluasi.
Soetarso (1994) menjelaskan bahwa
pemberdayaan masyarakat pada hakikatnya
mempunyai dua pengertian yang saling berkaitan, yaitu :
- Peningkatan kemampuan, motivasi dan peran semua unsur masyarakat agar dapat menjadi sumber yang langsung untuk mendukung semua bentuk usaha kesejahteraan sosial.
- b.Pemanfaatan sumber masyarakat yang telah ditingkatkan kemampuan, motivasi dan perannya.
Pendapat
Soetarso (1994) tersebut memberi gambaran bahwa letak pemberdayaan masyarakat
adalah pada peningkatan kemampuan baik secara individu , organisasi maupun
masyarakat, sehingga individu atau masyarakatlah yang secara langsung menjadi
sumber pelayanan sosial. Berikutnya adalah pemanfaatan sumber masyarakat yang
telah ditingkatkan kemampuan, motivasi dan perannya yang berkaitan dengan
pemahaman lingkungan. Artinya, pemberdayaan masyarakat harus memahami
karakteristik sumber dilingkungan sosial budaya setempat Selain itu
pemberdayaan masyarakat juga dapat dilakukan melalui pemberian informasi kepada
masyarakat secara terus-menerus. Sebagai contoh, menjelaskan apa saja yang dimaksudkan
dengan masalah sosial dan bagaimana pengaruh negatifnya terrhadap kehidupan
masyarakat. Selanjutnya usaha-usaha apa saja yang dilakukan untuk mengatasi
permasalahan tersebut. Hal ini tentunya sangat penting untuk dilakukan agar
individu atau masyarakat memiliki kesadaran serta dapat memahami sebab dan
akibat dari sebuah tindakan yang dilakukan.
Dari pendapat
Suharto (2005) dan Soetarso (1994), terlihat adanya perbedaan mengenai
pemberdayaan itu sendiri. Pendapat Suharto (2005) menitikberatkan pada sebuah
kebebasan baik bebas mengemukakan pendapat, kelaparan, kebodohan dan kesakitan.
Pendapat ini lebih cenderung bahwa seseorang memiliki kebebasan untuk
memperoleh kebutuhan dasar, pelayanan sosial serta secara politik diberi
kebebasan dalam mengemukakan pendapat. Sedangkan pendapat Soetarso (1994),
adalah memberikan pemahaman tentang pemberdayaan bahwa individu, organisasi
ataupun masyarakat diberi kemampuan, dimotivasi sehingga dapat menjadi sumber
yang mapan atau langgeng dalam rangka mendukung usaha kesejahteraan sosial.
Apabila warga masyarakat baik perseorangan maupun dalam kelompok atau
organisasi yang belum aktif dalam usaha kesejahteraan sosial, maka dianggap
tidak mengerti tentang masalah sosial dan pengaruhnya didalam masyarakat, tidak
mengerti tentang usaha kesejahteraan sosial atau karena alasan lain.
Menurut Cornell
University Empowerment Group dalam Saleebey (1992), mengartikan pemberdayaan
sebagai berikut :
“suatu proses
yang disengaja dan berlangsung secara terus menerus yang dipusatkan di dalam
kehidupan komunitas lokal, meliputi: saling menghormati, sikap refleksi kritis,
adanya kepedulian dan partisipasi kelompok, yang melaluinya masyarakat yang
merasa kurang memiliki secara bersama sumber-sumber yang berharga menjadi
memperoleh akses yang lebih besar untuk mendapatkan dan mengontrol
sumber-sumber tersebut”.
Jika kita
menyimak konsep tersebut, dapat menggambarkan bahwa pemberdayaan sebagai suatu
proses atau upaya yang secara sengaja dilaksanakan secara terus menerus atau
berkelanjutan. Upaya tersebut dibatasi pada skala kehidupan komunitas lokal
yang tercermin dalam sikap-sikap, partisipasi, kemampuan, serta sumber-sumber
yang ada dalam masyarakat lokal yang pada akhirnya merupakan upaya dalam rangka
mengakses dan mendayagunakan sumber-sumber yang ada demi kepentingan masyarakat
lokal setempat.
Menurut World
Bank (2002) ada berbagai model pemberdayaan yang ditujukan pada masyarakat
miskin, namum pada intinya pemberdayaan menekankan pada empat elemen penting,
yaitu: (1) access to information, (2) inclusion and participation, (3) accountability, (4) local organization capacity. Access to information, agar
pemberdayaan kelompok miskin berjalan dengan baik, maka informasi dari
pemerintah kepada kelompok miskin dan dari kelompok miskin kepada pemerintah
harus berjalan dengan sinergi dan lancar.
Dengan proses informasi seperti ini akan tercipta pemberdayaan yang efektif, karena program-program pemerintah akan menjadi kebutuhan masyarakat miskin. Inclusion and participation, artinya pentingnya keterlibatan kelompok miskin dalam proses pemberdayaan termasuk didalamnya adalah perencanaan. Accountability, bahwa dalam pemberdayaan, seorang pejabat pemerintah harus dapat mempertanggungjawabkan segala kebijakan, tindakan, program dan anggaran atau dana yang digunakan secara akuntabel atau dapat dipertanggungjawabkan sehingga upaya program yang dilakukan akan berhasil dengan baik. Kemudian local organivation capacity, artinya dalam proses pemberdayaan sangat perlu adanya mengembangkan dan mengorganisasikan kemampuan masyarakat lokal setempat. Hal ini akan lebih memandirikan masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup mereka.
Dengan proses informasi seperti ini akan tercipta pemberdayaan yang efektif, karena program-program pemerintah akan menjadi kebutuhan masyarakat miskin. Inclusion and participation, artinya pentingnya keterlibatan kelompok miskin dalam proses pemberdayaan termasuk didalamnya adalah perencanaan. Accountability, bahwa dalam pemberdayaan, seorang pejabat pemerintah harus dapat mempertanggungjawabkan segala kebijakan, tindakan, program dan anggaran atau dana yang digunakan secara akuntabel atau dapat dipertanggungjawabkan sehingga upaya program yang dilakukan akan berhasil dengan baik. Kemudian local organivation capacity, artinya dalam proses pemberdayaan sangat perlu adanya mengembangkan dan mengorganisasikan kemampuan masyarakat lokal setempat. Hal ini akan lebih memandirikan masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup mereka.
Pengertian
Pemberdayaan
1. Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang
lemah atau tidak beruntung (Ife, 1995).
2. Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan
melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin, 1987).
3. Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan
komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya
(Rappaport, 1984).
4. Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat
untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi
terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya…
Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan
kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain
yang menjadi perhatiannya (Parsons, et al., 1994).
5. Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan
dan lemah, untuk (a) memiliki akses terhadap sumber-sumber produktif yang
memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh
barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan (b) berpartisipasi
dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.
Definisi
pemberdayaan yang dikemukakan para pakar sangat beragam dan kontekstual. Akan
tetapi dari berbagai definisi tersebut, dapat ditarik suatu benang merah
bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memampukan dan
memandirikan masyarakat. Atau dengan kata lain adalah bagaimana menolong
masyarakat untuk mampu menolong dirinya sendiri.
Sumber : Edi Suharto, 2004
|
2. Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat
Kekurangtepatan pemilihan strategi pembangunan
terhadap negara dan masyarakatnya telah menghasilkan paradoks dan tragedi
pembangunan seperti yang terjadi pada negara sedang berkembang sebagai berikut
:
- Pembangunan tidak menghasilkan kemajuan, melainkan justru semakin meningkatkan keterbelakangan (the development of underdevelopment).
- Melahirkan ketergantungan (dependency) negara sedang berkembang terhadap negara maju.
- Melahirkan ketergantungan (dependency) pheriphery terhadap center.
- Melahirkan ketergantungan (dependency) masyarakat terhadap negara/pemerintah.
- Melahirkan ketergantungan (dependency) masyarakat kecil (buruh, usaha kecil, tani, nelayan dll) terhadap pemilik modal.
Pada pokoknya, pendekatan konvensional ini
ditandai oleh transplantatifplanning, top down, inductive,
capital intensive, west-biased technological transfer,
dansejenisnya. Beberapa paradigma pendekatan pembangunan mulai mengalami
pergeserandari yang konvensional menuju pembangunan alternatif, yaitu :
- Pembangunan wilayah (regional development)
- Pembangunan berwawasan lingkungan (environmental development).
- Pembangunan berbasis komunitas (community-based development).
- Pembangunan berpusat pada rakyat (people-centered development).
- Pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
- Pembangunan berbasis kelembagaan (institution-based development).
Ciri mencolok yang membedakan pendekatan
alternatif ini adalah penekanannyaterhadap lokalitas, baik dalam pengertian
kelembagaan, komunitas, lingkungan, maupunkultur. Implikasi kebijakan pendekatan
ini adalah penekanan pada transformative antransactive planning, bottom
up, community empowerment, dan participative, semuanyaini terkenal
dengan Pembangunan Komunitas (Community Development).
Strategi
pembangunan yang bertumpu pada pemihakan dan pemberdayaan dipahami sebagai
suatu proses transformasi dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya,dan politik
masyarakat. Perubahan struktural yang diharapkan adalah proses yang berlangsung
secara alamiah, yaitu yang menghasilkan harus menikmati. Begitu pula sebaliknya,
yang menikmati haruslah yang menghasilkan.
Pemberdayaan masyarakat dapat dipandang sebagai
jembatan bagi konsepkonseppembangunan makro dan mikro. Dalam kerangka pemikiran
itu berbagai input seperti dana, prasarana dan sarana yang dialokasikan kepada
masyarakat melalui berbagai program pembangunan harus ditempatkan sebagai
rangsangan untuk memacu percepatan kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Proses
ini diarahkan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat (capacity building)
melalui pemupukan modal yang bersumber dari surplus yang dihasilkan dan pada
gilirannya dapat menciptakan pendapatan yang dinikmati oleh masyarakat. Dengan
demikian, proses transformasi itu harus digerakkan oleh masyarakat sendiri.
Pendekatan
utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan objek
dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya
pembangunannya sendiri. Berdasarkan konsep demikian, maka pemberdayaan
masyarakat harus mengikuti pendekatan sebagai berikut ; pertama, upaya
itu harus terarah. Ini yang secara populer disebut pemihakan.Upaya ini
ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang dirancang untuk
mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya.
Kedua, program ini harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu mempunyai beberapa tujuan, yakni agar bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan kehendakdan mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka. Selain itu, sekaligus meningkatkan kemampuan masyarakat dengan pengalaman dalam merancang, melaksanakan, mengelola, dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya.
Ketiga, menggunakan pendekatan kelompok, karena secara sendiri-sendiri masyarakat miskin sulit dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Juga lingkup bantuan menjadi terlalu luas jika penanganannya dilakukan secara individu. Pendekatan kelompok ini paling efektif dan dilihat dari penggunaan sumber daya juga lebih efisien. Implementasi program pembangunan yang menerapkan strategi pemberdayaan masyarakat tersebut merupakan suatu konsukensi dari pergeseran paradigm pembangunan nasional yang mengarah pada tercapainya upaya pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development).
Kedua, program ini harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu mempunyai beberapa tujuan, yakni agar bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan kehendakdan mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka. Selain itu, sekaligus meningkatkan kemampuan masyarakat dengan pengalaman dalam merancang, melaksanakan, mengelola, dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya.
Ketiga, menggunakan pendekatan kelompok, karena secara sendiri-sendiri masyarakat miskin sulit dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Juga lingkup bantuan menjadi terlalu luas jika penanganannya dilakukan secara individu. Pendekatan kelompok ini paling efektif dan dilihat dari penggunaan sumber daya juga lebih efisien. Implementasi program pembangunan yang menerapkan strategi pemberdayaan masyarakat tersebut merupakan suatu konsukensi dari pergeseran paradigm pembangunan nasional yang mengarah pada tercapainya upaya pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development).
2.
Prinsip Pemberdayaan Masyarakat
Dubois
dan Miley (1992), memberi beberapa prinsip yang dapat menjadi pedoman dalam
pemberdayaan masyarakat :
- Membangun relasi pertolongan
- Membangun komunikasi
- Terlibat dalam pemecahan masalah
- Merefleksikan sikap dan nilai profesi pekerjaan sosial
Jika
dianalisis pendapat tersebut, maka sebagai seorang pekerja sosial dalam
melakukan praktek pengembangan masyarakat ketika berada di tengah-tengah
masyarakat, perlu memperhatikan prinsip-prinsip tersebut. Pertama, membangun
relasi pertolongan merupakan suatu tahapan yang harus dilalui. Hal ini dapat
dilakukan dengan merespon empati, menghargai pilihan dan hak klien untuk
menentukkan nasibnya sendiri, menghargai perbedaan dan keunikan individu serta
melakukan kerjasama klien.
Kedua,
membangun komunikasi dengan cara menghormati dan menghargai hak-hak klien,
mempertimbangkan keragaman individu mengingat di masyarakat terdapat perbedaan
baik karakteristik, status sosial, tingkat pendidikan dan sebagainya, serta
menjaga kerahasiaan klien.
Ketiga, terlibat dalam pemecahan masalah dengan cara memperkuat partisipasi klien dalam semua aspek proses pemecahan masalah, menghargai hak-hak klien, kemudian melibatkan klien dalam pembuatan keputusan dan evaluasi.
Keempat, merefleksikan sikap dan nilai profesi pekerjaan sosial melakui ketaatan terhadap kode etik profesi. Dalam hal ini, seorang pekerja sosial ketika berada di masyarakat harus mempertimbangkan kode etik sebagai kontrol atas segala sikap dan tindakan yang akan diambil.
Ketiga, terlibat dalam pemecahan masalah dengan cara memperkuat partisipasi klien dalam semua aspek proses pemecahan masalah, menghargai hak-hak klien, kemudian melibatkan klien dalam pembuatan keputusan dan evaluasi.
Keempat, merefleksikan sikap dan nilai profesi pekerjaan sosial melakui ketaatan terhadap kode etik profesi. Dalam hal ini, seorang pekerja sosial ketika berada di masyarakat harus mempertimbangkan kode etik sebagai kontrol atas segala sikap dan tindakan yang akan diambil.
3. Indikator Keberdayaan
Sebagaimana
Kieffer dalam Suharto (2006:63), pemberdayaan mencakup tiga dimensi yang
meliputi kompetensi kerakyatan, kemampuan sosiopolotik, dan kompetensi
partisipatif. Selanjutnya, Parsons juga mengajukan tiga dimensi pemberdayaan
yang merujuk pada :
- Sebuah proses pembangunan yang bermula dari pertumbuhan individual berkembang menjadi sebuah perubahan sosial yang lebih besar.
- Sebuah keadaan psikologis yang ditandai oleh rasa percaya diri, berguna dan mampu mengendalikan diri dan orang lain.
- Pembebasan yang dihasilkan dari sebuah gerakan sosial, yang dimulai dari pendidikan dan politisasi orang-orang lemah dan kemudian melibatkan upaya-upaya kolektif dari orang-orang lemah tersebut untuk memperoleh kekuasaan dan mengubah struktur-struktur yang masih menekan.
Paparan
tersebut menekankan bahwa, pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan.
Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat
kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat.
Hal ini tidak terkecuali bagi kelompok lemah dalam masyarakat adalah pengrajin miskin yang mengalami keterbatasan kemampuan dalam mengakses sumber-sumber kekuasaan sosial. Suatu proses pemberdayaan (empowerment) pada intinya ditujukan guna membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial.
Hal ini tidak terkecuali bagi kelompok lemah dalam masyarakat adalah pengrajin miskin yang mengalami keterbatasan kemampuan dalam mengakses sumber-sumber kekuasaan sosial. Suatu proses pemberdayaan (empowerment) pada intinya ditujukan guna membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial.
Indikator
Pemberdayaan
Schuler,
Hashemi dan Riley mengembangkan beberapa indikator pemberdayaan, yang mereka
sebut sebagai empowerment index atau indeks pemberdayaan (Girvan,
2004):
1.
Kebebasan mobilitas:
kemampuan individu untuk pergi ke luar rumah atau wilayah tempat tinggalnya, seperti ke pasar, fasilitas
medis, bioskop, rumah ibadah, ke rumah tetangga. Tingkat mobilitas ini
dianggap tinggi jika individu mampu pergi sendirian
2.
Kemampuan
membeli komoditas ‘kecil’: kemampuan individu untuk membeli barang-barang
kebutuhan keluarga sehari-hari (beras, minyak tanah, minyak goreng, bumbu);
kebutuhan dirinya (minyak rambut, sabun mandi, rokok, bedak, sampo). Individu
dianggap mampu melakukan kegiatan ini terutama jika ia dapat membuat keputusan
sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli
barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.
3.
Kemampuan
membeli komoditas ‘besar’: kemampuan individu untuk membeli barang-barang
sekunder atau tersier, seperti lemari pakaian, TV, radio, koran, majalah,
pakaian keluarga. Seperti halnya indikator di atas, poin tinggi diberikan
terhadap individu yang dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin
pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan
menggunakan uangnya sendiri.
4.
Terlibat
dalam pembuatan keputusan-keputuan rumah tangga: mampu membuat keputusan
secara sendiri mapun bersama suami/istri mengenai keputusankeputusan
keluarga, misalnya mengenai renovasi rumah, pembelian kambing untuk diternak,
memperoleh kredit usaha.
5.
Kebebasan
relatif dari dominasi keluarga: responden ditanya mengenai apakah dalam satu
tahun terakhir ada seseorang (suami, istri, anak-anak, mertua) yang mengambil
uang, tanah, perhiasan dari dia tanpa ijinnya; yang melarang mempunyai anak;
atau melarang bekerja di luar rumah.
6.
Kesadaran
hukum dan politik: mengetahui nama salah seorang pegawai pemerintah
desa/kelurahan; seorang anggota DPRD setempat; nama presiden; mengetahui
pentingnya memiliki surat nikah dan hukum-hukum waris.
7.
Keterlibatan
dalam kampanye dan protes-protes: seseorang dianggap ‘berdaya’ jika ia pernah
terlibat dalam kampanye atau bersama orang lain melakukan protes, misalnya,
terhadap suami yang memukul istri; istri yang mengabaikan suami dan
keluarganya; gaji yang tidak adil; penyalahgunaan bantuan sosial; atau
penyalahgunaan kekuasaan polisi dan pegawai pemerintah.
8.
Jaminan
ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga: memiliki rumah, tanah, asset
produktif, tabungan. Seseorang dianggap memiliki poin tinggi jika ia memiliki
aspek-aspek tersebut secara sendiri atau terpisah dari pasangannya
Sumber : Edi Suharto, 2004
|
4.
Strategi Pemberdayaan
Masyarakat
Dalam
konteks pekerjaan sosial, pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga aras atau
matra pemberdayaan, antara lain mikro,
mezzo, dan makro (Suharto, 2005:66-67) :
- Aras mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, stress management, dan crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya.
- Aras Mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien. Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi.
- Aras Makro. Pendekatan ini disebut juga sebagai startegi sistem besar (large system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbyng, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini.
Pemberdayaan masyarakat berarti mengembangkan kondisi dan
situasi sedemikian rupa, sehingga masyarakat memiliki daya dan kesempatan untuk
mengembangkan kehidupannya, sebagai suatu kekuatan internal serta tidak
berkesan bahwa pengembangan itu adalah hasil kekuatan eksternal.
Masyarakat berdaya berarti mampu, tahu, mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan, melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang itu, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan secara optimal, berani mengambil resiko atas keputusannya itu, mampu mencari dan menangkap informasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan taraf kehidupannya serta mampu bertindak secara optimal.
Masyarakat berdaya berarti mampu, tahu, mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan, melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang itu, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan secara optimal, berani mengambil resiko atas keputusannya itu, mampu mencari dan menangkap informasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan taraf kehidupannya serta mampu bertindak secara optimal.
Soetarso (2003) bahwa pemberdayaan masyarakat pada
hakikatnya saling berkaitan dengan peningkatan kemapuan, motivasi dan peran
semua unsur masyarakat. Pendapat ini sangat memperkuat bahwa pemberdayaan
sangat erat kaitannya dengan penguatan kapasitas, karena pada intinya penguatan
kapasitas adalah juga pemberdayaan. Sumpeno, et.al. (2003) mengemukakan bahwa :“ Capacity building adalah suatu proses
peningkatan atau perubahan perilaku individu, organisasi, dan sistem masyarakat
dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien.
Capacity building sebagai strategi untuk meningkatkan daya dukung kelembagaan
dalam mengantisipasi masalah dan kebutuhan yang dihadapi ”.
Proses peningkatan atau perubahan perilaku tersebut
meliputi : (1) peningkatan kemampuan individu (pengetahuan, keterampilan, dan
sikap), (2) peningkatan kemampuan kelembagaan (manajemen organisasi, finansial,
dan kultur), dan (3) peningkatan kemampuan masyarakat (kemandirian,
keswadayaan, dan antisipasi perubahan).
5.
Mekanisme
Pemberdayaan Masyarakat
Seperti dikemukakan di atas,
pemberdayaan masyarakat harus melibatkan segenap potensi yang ada dalam
masyarakat. Beberapa aspek di antaranya dapat diketengahkan sebagai berikut: Pertama,
peranan pemerintah teramat penting. Berarti birokrasi pemerintah harus dapat
menyesuaikan dengan misi ini. Dalam rangka ini ada beberapa upaya yang harus
dilakukan:
- Birokrasi harus memahami aspirasi rakyat dan harus peka terhadap masalah yang dihadapi oleh rakyat.
- Birokrasi harus membangun partisipasi rakyat. Artinya, berilah sebanyak-banyaknya kepercayaan pada rakyat untuk memperbaiki dirinya sendiri. Aparat pemerintah membantu memecahkan masalah yang tidak dapat diatasi oleh masyarakat sendiri.
- Untuk itu maka birokrasi harus menyiapkan masyarakat dengan sebaiknya, baik pengetahuannya maupun cara bekerjanya, agar upaya pemberdayaan masyarakat dapat efektif. Ini merupakan bagian dari upaya pendidikan sosial untuk memungkinkan rakyat membangun dengan kemandirian.
- Birokrasi harus membuka dialog dengan masyarakat. Keterbukaan dan konsultasi ini amat perlu untuk meningkatkan kesadaran (awareness) masyarakat, dan agar aparat dapat segera membantu jika ada masalah yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh rakyat.
- Birokrasi harus membuka jalur informasi dan akses yang diperlukan oleh masyarakat yang tidak dapat diperolehnya sendiri.
- Birokrasi harus menciptakan instrumen peraturan dan pengaturan mekanisme pasar yang memihak golongan masyarakat yang lemah.
Untuk dapat
menjalankan misinya, maka birokrasi pertama harus (1) ditingkatkan
kewenangannya sampai di lapisan terendah, (2) ditingkatkan kualitasnya, agar
benar -benar mampu memberikan bimbingan dan pemberdayaan masyarakat. Terutama
titik berat harus diberikan kepada aparat pada tingkat yang langsung berhadapan
dengan masyarakat, baik secara hirarkis seperti aparat desa dan kecamatan, maupun
fungsional seperti PPL, guru, dokter, dan bidan.
Kedua, organisasi-organisasi kemasyarakatan di luar lingkungan masyarakat sendiri. Di sini yang mempunyai potensi berperan besar adalah lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM), di samping organisasi-organisasi kemasyarakatan yang bersifat nasional dan lokal. LSM dapat berfungsi sebagai pelaksana program pemerintah (mewakili pemerintah), dapat menjadi pembantu (konsultan) pemerintah, tetapi dapat juga menjadi pembantu rakyat dalam program pemerintah.
Kedua, organisasi-organisasi kemasyarakatan di luar lingkungan masyarakat sendiri. Di sini yang mempunyai potensi berperan besar adalah lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM), di samping organisasi-organisasi kemasyarakatan yang bersifat nasional dan lokal. LSM dapat berfungsi sebagai pelaksana program pemerintah (mewakili pemerintah), dapat menjadi pembantu (konsultan) pemerintah, tetapi dapat juga menjadi pembantu rakyat dalam program pemerintah.
Sebaliknya LSM, sesuai
dengan namanya, dapat pula mengembangkan programnya sendiri. Dalam rangka ini,
aparat setempat harus menjalin kerjasama erat dengan LSM, agar program LSM
dapat bersinergi dengan program pemerintah, atau sekurang-kurangnya tidak
terjadi kesimpangsiuran yang dapat mengakibatkan benturan yang hanya akan
merugikan rakyat. LSM harus diperlakukan sebagai mitra pemerintah dalam upaya
pemberdayaan masyarakat. Tentunya yang dimaksudkan di sini adalah LSM yang
murni dan bukan kepanjangan tangan dari kepentingan politik yang hanya
menggunakan rakyat sebagai alat politik.
Ketiga, lembaga masyarakat yang tumbuh dari dan di dalam masyarakat itu
sendiri, atau sering disebut sebagai local community organization.
Lembaga ini dapat bersifat semi atau kuasiformal seperti LKMD, PKK atau Karang
Taruna, atau yang benar-benar tumbuh dari masyarakat sendiri seperti kelompok
arisan, kelompok sinoman, kelompok paketan dan sebagainya.
Dalam rangka IDT,
kelembagaan dalam masyarakat tersebut dikembangkan oleh masyarakat sendiri,
sebagai bagian dari mekanismenya, yaitu kelompok-kelompok masyarakat (pokmas)
yang terdiri dari atas 10 sampai 30 kepala keluarga. Kelompok-kelompok
masyarakat serupa itu adalah yang paling efektif untuk upaya pemberdayaan
masyarakat, oleh karena tumbuh dan berakar dari kalangan masyarakat sendiri.
Secara sendiri-sendiri penduduk miskin sulit dapat mengatasi hambatan yang
menyebabkan kemiskinannya. Secara bersama-sama, mereka dapat saling memperkuat
dan saling menutupi kelemahan. Dinamika kelompok dan sinergi diharapkan dapat
menghasilkan nilai dari upaya individual dalam kelompok.
Keempat, koperasi. Koperasi merupakan
wadah ekonomi rakyat yang secara khusus dinyatakan dalam konstitusi sebagai
bangun usaha yang paling sesuai untuk demokrasi ekonomi Indonesia. Koperasi
dapat merupakan wahana yang efektif bagi upaya pemberdayaan masyarakat, dengan
membangun manusia modern namun dengan dasar-dasar kekeluargaan dan
kegotongroyongan yang menjadi ciri demokrasi Indonesia. Koperasi harus menjadi
sasaran bagi pengembangan kelompok masyarakat yang sudah dapat melampaui tahap
awal kerjasama dan kerja bersama dalam kelompok. Formalisasi kelompok sebagai
badan (entity) ekonomi harus diarahkan ke dalam bentuk koperasi. Namun,
untuk itu kelompok dan anggota-anggotanya harus benar-benar dipersiapkan, agar
bentuk koperasi dapat sungguh-sungguh menunjang upaya meningkatkan kegiatan
usaha para anggota yang dilakukan secara bersama.
Kelima, pendamping. Penduduk miskin pada umumnya mempunyai keterbatasan
dalam mengembangkan dirinya. Oleh karena itu, diperlukan pendamping untuk
membimbing penduduk miskin dalam upaya memperbaiki kesejahteraannya. Pendamping
bertugas menyertai proses pembentukan dan penyelenggaraan kelompok masyarakat
sebagai fasilitator, komunikator, ataupun dinamisator. Lingkup pembinaan yang
dilakukan para pendamping meliputi upaya peningkatan kualitas sumber daya
manusia, yakni kualitas para anggota dan pengurus kelompok serta peningkatan
kemampuan usaha anggota.
Untuk maksud tersebut, pendamping perlu mengenal dan mengadakan
komunikasi yang intensif dengan kelompok. Pendamping yang paling efektif adalah
dari anggota masyarakat itu sendiri, yaitu anggota masyarakat yang telah lebih
sejahtera dan telah berhasil dalam kehidupan dan kegiatan ekonominya. Selain
itu, seperti dalam program IDT dapat direkrut sarjana-sarjana untuk menjadi
pendamping purna waktu, antara lain dari kalangan alumni penerima beasiswa
Supersemar.
Selain itu, pendamping dapat
diambil dari petugas lapangan pada tingkat kecamatan dan desa dari berbagai
departemen dan lembaga kemasyarakatan, antara lain dari Departemen Dalam Negeri
(Latihan Pembangunan Desa Terpadu atau LPDT), Departemen Pertanian (Penyuluh
Pertanian Lapangan atau PPL dan Penyuluh Pertanian Spesialis atau PPS), Departemen
Sosial (Petugas Sosial Kecamatan atau PSK dan Karang Taruna), Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional (Petugas Lapangan KB atau PLKB), Kantor Menteri
Pemuda dan Olahraga (Pemuda Pelopor), Departemen Tenaga Kerja (Tenaga Kerja
Mandiri Profesional atau TKST), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Sarjana
Penggerak Pembangunan Perdesaan atau SP3), para dokter, bidan desa, guru, serta
para petugas lainnya yang ada di desa dan hidup di tengah-tengah masyarakat
desa.
Disamping itu, secara swadaya dan sukarela perguruan tinggi,
organisasi kemasyarakatan, dan lembaga kemasyarakatan lainnya, seperti LSM,
dapat pula ikut serta sebagai pendamping. Untuk dapat melaksanakan tugasnya
secara efektif, pendamping harus siap bekerja setiap waktu, menghadiri pertemuan
kelompok, mengorganisasikan program latihan, serta membantu kelompok dalam
memperoleh akses terhadap berbagai pelayanan yang dibutuhkan.
Keenam, pemberdayaan masyarakat harus dicerminkan dalam proses
perencanaan pembangunan nasional, sebagai aliran dari bawah ke atas. Dewasa ini
upaya tersebut telah dilakukan mulai dari tingkat desa dengan musyawarah
pembangunan desa (LKMD), forum diskusi UDKP di tingkat kecamatan, sampai ke
Rapat Koordinasi Pembangunan Daerah Tingkat II, Rapat Koordinasi Pembangunan Daerah
Tingkat I, Rapat Konsultasi Regional Pembangunan, dan Rapat Konsultasi Nasional
Pembangunan. Mulai dari Dati II, kelembagaan perencanaan sudah cukup kuat,
karena telah ada Bappeda. Di tingkat kecamatan telah ada pula pejabat teknis
seperti PPL, mantri statistik, juru penerang, dokter puskesmas, yang dapat membantu kegiatan
perencanaan meskipun pada taraf yang sederhana.
Yang masih lemah dan harus diperkuat dalam proses perencanaan ini
adalah kemampuan perencanaan pada tingkat desa. Upaya itu harus meliputi
penyempurnaan kelembagaan desa, penguatan sumber daya manusia serta
pengembangan budaya masyarakat desa yang tanggap pada perubahan atau dapat
disebut pula modernisasi masyarakat desa.
Ketujuh, keikutsertaan masyarakat yang lebih mampu, khususnya dunia usaha
dan swasta. Pemberdayaan masyarakat dapat lebih optimal jika terjadi
keterkaitan dalam kemitraan usaha diantara yang telah mampu dengan yang masih
tertinggal terutama melalui penyediaan modal usaha untuk pengembangan usaha
penduduk miskin. Model seperti ini sedang dikembangkan melalui gerakan nasional
tabungan keluarga sejahtera (Takesra) dan kredit usaha keluarga sejahtera
(Kukesra).
Dalam Takesra dan Kukesra, penduduk miskin yang termasuk dalam
kategori keluarga prasejahtera dan sejahtera I mendapatkan bantuan suntikan
tabungan dengan maksud untuk membiasakan menabung dan mengelola keuangan dengan
baik. Bagi penduduk miskin yang telah mampu menabung dapat mengajukan bantuan
modal berupa kredit Kukesra dengan menyampaikan rencana kegiatan produktif.
Bantuan modal yang diberikan kepada penduduk miskin tersebut berasal dari
masyarakat yang telah lebih mampu. Upaya ini yang prakarsanya diambil oleh
pemerintah dapat diperluas, dalam berbagai bentuk pola kemitraan langsung
terutama antara usaha swasta dengan usaha ekonomi rakyat.
Potensi dunia usaha dan
masyarakat yang mampu untuk turut memberdayakan masyarakat cukup besar, dan
perlu dikembangkan, karena selain penting artinya untuk memperkukuh
perekonomian nasional, juga akan mempertebal persatuan dan kesatuan bangsa,
karena kuatnya solidaritas sosial.
Sumber:
Sumber:
- Ife, 2003, Pengembangan Masyarakat Dalam "Menciptakan Alternatif-Alternatif Masyarakat-Visi, Analisis dan Praktik, Logman, Autralia
- Suharto, Edi2005, Membangun Masayrakat Memberdayakan rakyat, Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial, Refika Aditama, Bandung
- Soetarso, 1992, Praktek Pekerjaan Sosial, Kopma STKS, Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar