Senin, 27 November 2017

KORELASI KEMISKINAN DENGAN PROFESIONALISME PEKSOS DI INDONESIA

Protret kemiskinan di Indonesia yang terjadi bersifat multidemensial dan satu dengan yang lain saling terkait erat , yakni antara kemiskinan ekonomi , kemiskinan struktural, kemiskinan budaya.dan bahkan orang miskin sendiri menciptakan budayanya sendiri.

Seorang pekerja sosial memiliki tugas utama untuk membantu orang, kelompok, keluarga dan masyarakat dalam mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan mengakses sistem sumber, keberfungsian sosial dan menyiapkan mereka dalam mengahadapi perubahan-perubahan sosial.

Menurut NASW pekerjaan sosial adalah kegiatan profesional yang membantu individu, kelompok-kelompok ataupun masyarakat untuk meningkatkan atau memperbaiki kemampuan mereka dalam berfungsi sosial serta menciptakan kondisi masyarakat yang memungkinkan mereka mencapai tujuan.

Menurut Max Siporin pekerjaan sosial bersifat sosial dan institusional untuk membantu orang mencegah dan memecahkan masalah-masalah sosial, untuk memulihkan dan meningkatkan kemampuan menjalankan fungsi sosial mereka. Pekerjaan sosial dapat dikatakan juga sebagai institusi sosial, profesi pelayanan manusia dan seni praktek.

Menurut BOEHM pekerjaan sosial berusaha untuk meningkatkan keberfungsian sosial individu, kelompok melalui kegiatan-kegiatan yang dipusatkan pada relasi sosial yang merupakan interaksi antara manusia dengan lingkungannya.

Keberfungsian sosial terkait dengan ketidak mampuan seseorang dalam melaksanakan peranan sosial, ketidak mampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar dan ketidak mampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi.

Keberfungsian diakibatkan oleh ketidaktahuan memanfaatkan sistem sumber, menggali sistem sumber dan mengoptimalkan sistem sumber. Sistem sumber yaitu segala sesuatu yang dapat digali, dimanfaatkan, didayagunakan dan dikembangkan.

Sistem sumber menurut Pincus dan Minahan sbb:
1. Sistem sumber Informal : seseorang tidak terkait dengan sistem sumber informal dan tidak menggunakan atau meminta bantuan kepada sistem sumber lain(kerabat, teman,sahabat dll)
2. Sistem sumber formal: organisasi formal tidak ada, klien tidak mengetahui keberadaan sistem sumber tersebut dan organisasi tersebut tidak menyediakan program pelayanan sosial.
3. Sistem sumber kemasyarakatan: terbatasnya pelayanan, secara geografis terlalu sulit dan model pelayanan yang digunakan berbeda dengan kebutuhan klien.

Sedangkan Atkinson (1987) menyatakan definsi perubahan yaitu merupakan kegiatan atau proses yang membuat sesuatu atau seseorang berbeda dengan keadaan sebelumnya dan merupakan proses yang menyebabkan perubahan pola perilaku individu atau institusi.Ada empat tingkat perubahan yang perlu diketahui yaitu perubahan, sikap, perilaku, individual dan perilaku kelompok. Setelah suatu masalah analisa, tentang kekuatannya maka pemahaman tentang tingkat-tingkat perubahan dan silklus perubahan akan dapat berguna.

Perubahan sosial seringkali diakibatkan oleh pergeseran nilai budaya akan memperngaruhi perilaku seseorang, seperti individualistik, sentimen terhadap budaya lain, sikap radikal akibat dari rasa saling memiliki budaya tertentu yang rawan dengan konflik dan rawan sosial.

Perubahan sosial yang ditimbulkan akibat dari perubahan ekonomi akan memperngaruhi status sosial seseorang, perbedaan klas, kesenjangan, persaingan di bidang pekerjaan, pengangguran, kriminalitas dan kerawanan ekonomi di kalangan perempuan.

Perubahan politik mengakibatkan lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara, lembaga peradilan, birokrasi pemerintahan dan ketidak adilan struktural. Semakin tinggi konstelansi suhu politik maka akan semakin membawa dampak melemahnya kewibawaan pemerintah sehingga mengakibatkan semakin tinggi angka penyandang masalah kesejahteraan sosial.

Dengan demikian dalam upaya mengahadapi perubahan-perubahan sosial masyarakat tidak semua siap menghadapi hal tersebut terutama kelompok-kelompok masyarakat yang tidak beruntung atau bahkan termajinalkan.

Kondisi dan situasi inilah yang menjadi setting dan lahan penting bagi seorang pekerja sosial dan intervensi yang akan dilakukan oleh seorang pekerja sosial antara lain melalui pengorganisasian dan pengembangan masyarakat :
1. Sebagai suatu proses dari paradigma yang berkesinambungan berupa perubahan dari tahap suatu kondisi kepada masyarakat yang mandiri.

2. Sebagai suatu metode yang menitik beratkan pada dua cara yaitu partisipasi masyarakat dan pengorganisasian masyarakat.

3. Sebagai suatu program yang menitikberatkan pada pencapaian tujuan organisasi dan penyelesaian serangkaian kegiatan yang bisa diukur hasilnya secara kualitas dan bisa dilaporkan.

4. Sebagai suatu gerakan dan usaha untuk perubahan perilaku masyarakat yang buruk pada suatu komitmen dan partisipasi.

Dari penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa peranan pekerja sosial sangat penting berkaitan dengan patologi sosial seperti isu-isu publik, isu gender, kenakalan remaja, kemiskinan, lansia, pekerja sex komersial, pengangguran, demo buruh dll yang dalam hal ini membutuhan penanganan yang profesional dan berksinambungan sehingga dapat meminimalisir masalah-masalah baru yang mungkin akan timbul di kemudian hari.

Pendapat Jim Ife (1995:117-127) yang membahas mengenai peran-peran pekerjaan sosial meliputi :

a. Peran Fasilitator
Peranan fasilitator mengandung tujuan untuk memberikan dorongan semangat atau membangkitkan semangat kelompok sasaran atau klien agar mereka dapat menciptakan perubahan kondisi lingkungannya, antara lain:

1) Animasi sosial, yang bertujuan untuk mengaktifkan semangat, kekuatan, kemampuan sasaran yang dapat dipergunakan dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi dalam bentuk suatu kegiatan bersama, sedangkan dalam kondisi ini seorang pekerja sosial harus memiliki antusiasme yang tinggi yang dapat menciptakan terlaksananya kegiatan-kegiatan yang telah direncakan bersama klien atau kelompok sasaran. Antusiasme ini dapat diikat dengan komitmen bersama-sama kelompok sasaran.

2) Mediasi dan negosiasi, peran ini dapat dimanfaatkan untuk meredam dan menyelesaikan ketika terjadi konflik internal maupun eksternal pada kelompok sasaran. Seorang pekerja sosial dalam hal ini harus bersikap netral tanpa memihak satu kelompok tertentu.

3) Support, peran ini berarti memberikan dukungan moril kepada kelompok sasaran untuk terlibat dalam struktur organisasi dan dalam setiap aktivitas-aktivitas yang sedang berlangsung dan yang akan berlangsung dimasa datang .

4) Pembangunan Konsensus, peran ini meliputi upaya-upaya yang menitik beratkan pada tujuan bersama, mengidentifikasikan kepentinggan bersama dan upaya-upaya pemberian bantuan bagi pencapaian konsensus yang dapat diterima semua masyarakat.

5) Memfasilitasi Kelompok, peranan ini akan melibatkan peranan fasilitatif dengan kelompok, bisa sebagai ketua kelompok atau bisa juga sebagai anggota kelompok.

b. Peran Edukasi
Peran ini melibatkan peran aktif pekerja sosial didalam proses pelaksanaan semua kegiatan-kegiatan yang sudah direncanakan bersama kelompok sasaran sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan mereka. Dalam konteks ini dapat diwujudkan berupa pelatihan-pelatihan ketrampilan, misalnya: pelatihan tatacara pengambilan keputusan, pelatihan agenda rapat atau mengelola rapat, pelatihan administrasi surat-menyurat dan pelatihan pemanfaatan waktu luang yang mereka miliki.

1) Peningkatan Kesadaran, peran ini berarti membantu orang untuk mengembangkan pandangan tentang suatu alternatif atau beberapa alternatif dalam tataran kepentingan personal dan politis.

2) Memberikan Informasi, peran ini berarti memberiakn informasi tentang program-progam yang ada di masyarakat tetapi dengan hati-hati karena terdapat variasi kehidupan sosial di masyarakat, informasi tersebut berupa sistem sumber eksternal, sumber dana , sumber ahli, berbagai petunjuk pelaksanaan program, presentasi audio visual dan pelatihan-pelatihan.

3) Mengkonfrontasikan, peran ini berarti keinginan kelompok masyarakat yang positif sedangkan kelompok lain berkeinginan negatif, jadi keduanya harus dikonfrontasikan untuk mencapai konsesus, tetapi harus diingat ini pilihan terakhir tanpa kekerasan.

4) Pelatihan, peran ini berarti mencari dan menanalisa sumber-sumber dan tenaga ahli yang diperlukan dalam pelatihan.

c. Peran Representatif.
Dalam peran ini pekerja sosial bertindak sebagai enabler atau sebagai agen perubahan, antara lain membantu klien menyadari kondisi mereka, mengembangkan relasi klien untuk dapat bekerja sama dengan pihak lain (networking ) dan membantu klien membuat suatu perencanaan.
1) Mendapatkan Sumber, peranan ini berarti memanfaatkan sistem sumber yang ada dalam masyarakat dan di luar masyarakat.

2) Advokasi, peranan ini berarti mewakili kepentingan-kepentingan klien berupa dengan pendapat,lobbying dengan para politis/pemegang kekuasaan, membentuk perwakilan di pemerintah lokal atau pusat dan membela klien di pengadilan.

3) Memanfaatkan Media Massa, peranan ini untuk memperjelas isu tertentu dan membantu mendapatkan agenda publik.

4) Hubungan Masyarakat, peranan ini berati memahami gambaran-gambaran proyek-proyek masyarakat dan mempromosikan gambaran tersebut ke dalam konteks yang lebih besar, melalui publikasi agar masyarakat tergerak terlibat dalam proyek tersebut dan menarik simpati dukungan dari pihak lain.

5) Jaringan Kerja Networking, peranan berarti mengembangkan relasi dengan berbagai pihak, kelompok dan berupaya mendorong mereka untuk turut serta dalam upaya perubahan.

6) Berbagi Pengetahuan dan Pengalaman, peranan ini dilakukan dalam kegiatan seperti keterlibatan aktif dalam pertemuan-pertemuan formal maupun non formal seperti: konfrensi-konfrensi, penulisan jurnal, surat kabar, seminar dll.

d. Peranan Teknis
1) Pengumpulan dan Analisis Data, peranan ini berarti sebagai peneliti sosial, dengan memanfaatkan berbagai metodologi penelitian ilmu pengetahuan sosial untuk mengumpulkan dan menganalisa data serta mempresentasikannya dengan baik.

2) Menggunakan Komputer, peranan ini berarti mampu menggunakan komputer dengan tujuan untuk penyusunan proposal, rancangan penelitian, analisis data, penyunan laporan keuangan, membuat selebaran, spanduk, leaflet, surat menyurat.

3) Presentasi Verbal dan Tertulis, peranan ini berarti harus mampu mengekspresikan pikiran-pikiran, tindakan-tindakan secara langsung dan dalam bentuk tulisan.

4) Management, peranan ini berarti bertanggung jawab untuk mengelola program kegiatann yang telah dibuatnya.

Selain peran-peran pekerjaan sosial juga harus memahami nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat dan nilai-nilai yang berlaku umum. Sejalan dengan hal ini Pumhrey berpendapat tentang tingkatan nilai-nilai sebagai berikut:

1. Nilai-nilai akhir atau abstrak, seperti demokrasi, keadilan, persamaa, kebebasan, kedamaian dan kemajuan sosial, perwujudan diri dan penentuan diri.

2. Nilai-nilai tingkat menengah, seperti kualitas keberfungsian manusia/pribadi, keluarga yang baik, pertumbuhan, peningkatan kelompok dan masyarakat yang baik.

3. Nilai-nilai tingkat ketiga merupakan nilai-nilai instrumental atau operasional yang mengacu kepada ciri-ciri perilaku dari lembaga sosial yang baik, pemerintahan yang baik dan orang profesional yang baik. Misalnya: dapat dipercaya, jujur dan memiliki disiplin diri.

Dalam menjalankan profesinya seorang pekerjaan sosial selain dilandasi oleh perananan dan nilai maka pekerja sosial juga wajib menjunjung tinggi Kode Etik Profesi antara lain :

1. Pekerja sosial mengutamakan tanggungjawab melayani kesejahteraan individu atau kelopok, yang meliputi kegiatan perbaikan kondisi-kondisi sosial.

2. Pekerja sosial mendahulukan tanggungjawab profesinya ketimbang kepentingan-kepentingan pribadinya.

3. Pekerjaan sosial tidak membedakan latar belakang keturunan, warna kulit, agama, umur, jenis kelamin, warganegara serta memberikan pelayanan dalam tugas-tugas serta dalam praktek-praktek kerja.

4. Pekerjaan sosial melaksanakan tanggung jawab demi mutu dan keluasan pelayanan yang diberikan.

5. Menghargai dan mempermudah partisipasi kelayan.
6. Mengahrgai martabat dan hargadiri kelayan.
7. Menerima kelayan apa adanya.
8. Menerima dan memahami bahwa setiap orang itu adalah unik.
9. Tidak menghakimi sikap kelayan.
10. Memahami apa yang dirasakan orang lain/empati.
11. Menjaga kerahasian kelayan.
12. Tidak mengahdiahi kelayan dan tidak pula menghakimi
13. Pekerja sosial harus sadar akan keterbatan-keterbatasan yang dimilikinya.

Pekerjaan sosial sangat berkaitan dengan kemiskinan sebab kemiskinan menjadi wadah yang sangat besar bagi semua patologi sosial dan seringkali menjadi biang keladi bagi ketidak-berdayaan seseorang atas ketidak- adilan sebuah struktur sosial, ekonomi, budaya dan struktur sebuah sistem pemerintahan.

Semakin tinggi angka keluarga miskin disuatu negara maka akan memperngaruhi pula sistem politik di negara tersebut sehingga membuat peluang yang relatif rendah bagi negara dalam memberikan kesejahteraan sosial bagi warganegaranya baik dalam bentuk material dan non material.

Secara generalis kemiskinan adalah ketidak mampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan standar tertentu dari kebutuhan dasa (sandang, pangan dan perumahan), kesehatan dan pendidikan.

Di Indonesia sendiri isu kemiskinan baru muncul pada tahun 1970-an bersama-sama dengan isu pemerataan. Dua tahun kemudian lahir konsep pembangunan yang berorientasi pada kebutuhan dasar manusia (basic need strategy) yang diadopsi dari Konvensi Geneva.

Hakikat kemiskinan di Indonesia bisa di bagi menjadi empat yang dianggap menjadi penyebab terjadinya kemiskinan, yakni: kemiskinan ekonomi, kemiskinan budaya, kemiskinan struktural dan kemiskinan politik.

Menurut Brendley (dalam Ala, 1981 : 4) kemiskinan adalah ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan sosial yang terbatas. Hal ini diperkuat oleh Salim yang mengatakan bahwa kemiskinan biasanya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memperoleh kebutuhan hidup yang pokok (Salim dalam Ala, 1981 : 1).

Menurut Baswir (1997 : 21) kemiskinan natural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti karena cacat, sakit, usia lanjut atau karena bencana alam.

Menurut Robert Chambers (1983) “ inti dari masalah kemiskinan adalah jebakan kekurangan atau deprivation trap”

Sehubungan tersebut Departemen Komunikasi dan Informatika (2005) telah mengeluarkan sebuah indikator kemiskinan yang dapat dijelaskan sbb :

1) Luas lantai temapt tinggal kurang dari 8 m2 per orang.
2) Jenis dinding bangunan tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa plester.
3) Sumber penerangan tidak menggunakan listrik.
4) Jenis lantai tanah/bambu/kayu murahan.
5) Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.
6) Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.
7) Hanya mengkomsomsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
8) Hanya membeli pakaian baru setahu sekali.
9) Makan maximum 2 kali sehari
10) Dan Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di klinik maupun puskesmas.
11) Tidak memiliki tanbungan aset berharga.
12) Bahan bakar sehari hanya mengunakan arang/kayu/minyak tanah.
13) Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga hanya SD/SMP
14) Sumber pendapatan hanya maximum Rp.600.000,- dan bagi petani hanya memiliki lahan 0,5 ha.

Sedangkan menurut Drinowski dan Scott (1977) dalam Muhidin (2005:99) untuk mengukur taraf hidup (level of living index) sbb:

1. Indikator pemenuhan kebutuhan fisik:
a. Pendapatan per kapita, diukur jumlah rupiah atau equivalen beras (terutama di daerah pertanian).
b. Pangan atau makanan diukur dari kecukupan komsumsi makanan, menurut terpenuhinya gizi dan kalori yang dibutuhkan.
c. Perumahan dilihat dari kelayakan perumahan dan dapat diukur dari indeks komposit tempat tinggal dan status kepemilikannya.
d. Kepemilikan dan penguasaan tanah, diukur dari status kepemilikan tanah dan luas tanah pemilik.
e. Kesehatan diukur kondisi kesehatan dan akses terhadap pelayanan kesehatan.

2. Indikator Sosial dari jumlah rupiah atau equivalen beras (terutama di daerah pertanian).
a. Pendidikan diukur dari tingkat pendidikan yang ditamatkan.
b. Pekerjaan dan status pekerjaan kepada rumah tangga, jumlah jam kerja per minggu dan jumlah anggota keluarga.
c. Aktivitas/partisipasi anggota keluarga di dalam kegiatan sosial di luar rumah tangga.
d. Pembagian waktu antara kegiatan anggota keluarga di luar dan di dalam rumah tangga.

3. Indikator Jaringan Sosial
a. Kepemilikan alat transportasi untuk menunjang mobilitas.
b. Akses anggota keluarga terhadap sistem jaminan sosial seperti asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi rumah dan kendaraan bermotor).
c. Akses keluarga terhadap sumber daya ekonomi seperti bank, kopearsi dll
d. Akses anggota keluarga terhadap pelayanan sosial dan pelayanan publik.

Para pakar kemiskinan setuju dan berpendapat bahwa keterlibatan masyarakat dalam mengurusi diri sendiri akan menjadi penopang keberhasilan kemiskinan karena akan menumbuhkan rasa bangga pada diri sendiri.

Beberapa hal yang berhubungan dengan pengentasan kemiskinan: (Esman dan Uphoff:1984)

1. Investasi Pelayanan masyarakat dalam bidang infrastruktur fisik dan infrastruktur sosial seperti pembangunan jalan, sumber air bersih, irigasi, sekolah dan klinik kesehatan.

2. Kebijakan pemerintah yang menguntungkan masyarakat miskin seperti penyediaaan pupuk, bibit padi, kesempatan pekerjaan, pendidikan dan melibatkan pihak swasta.

3. Tehnologi, masyarakat diperkenankan mengenal tehnologi dan mengunakannya melalui pelatihan yang dikelola oleh instansi terkait.

4. Kelembagaan yang efektif, terjadi kerjasama yang terpadu antara jaringan kerja pemerintah, pengusaha dan lembaga lokal.

Pekerjaan sosial dalam memberikan pelayanan sosial bekerja berdasarkan jenis pelaynan yang dapat dijelaskan dengan tabel sbb:

Pemerintah sebenarnya telah melakukan berbagai upaya dan tindakan dalam bentuk program-program guna membantu meringankan beban keluarga miskin dan kelompok-kelompok masyarakat yang rentan antara lain melalui program sejak tahun 1994 sampai dengan tahun 2009:

1. Program Inpres Desa Tertinggal/IDT
2. Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal/P3DT
3. Program Pembangunan Kecamatan/PPK
4. Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan/P2KP
5. SD Inpres
6. Perumahan RSS
7. Rumah Susun
8. Jaring Pengaman Sosial/JPS
9. Jamsostek
10. Jamkesmas
11. Jaskeskin
12. Beras Miskin
13. Bantuan Tunai Langsung
14. Bantuan BBM
15. BOS
16. PKH
17. PNPM

Referansi :
  1. Edi Suharto,2004, kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia dalam edisi Menggagas Model Jaminan Sosial Universal Di Bidang Kesehatan, Alfabeta, Bandung.
  2. Ife,1995, Pengembangan Masyarakat” Menciptkan Alternatif-Alternatif , Masyarakat Visi Analisis dan Praktek” STKS, Bandung
  3. ICMI PUSAT,1995, Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia,Aditya Media, Jogjakarta
  4. Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial Volume 5 2006, Kemiskinan Dalam Perspektif Pekerjaan Sosial, STKS, Bandung
  5. Lembaga Studi Pembangunan STKS, 2003. kemiskinan dan keberfungsian Sosial dalam Study Kasus Rumah Tangga Miskin Di Indonesia, STKS, Bandung.

Kamis, 23 Juni 2016

POTRET dan DILEMA REFORMASI BIROKRASI DI INDONESIA


Pengertian Reformasi dari Khan: suatu perubahan bentuk sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama, sedangkan menurut Quah: suatu proses untuk mengubah proses, prosedural birokrasi publik dan sikap serta tingkah laku birokrat untuk mencpai efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional sejalan dengan Khan dan Quah menurut pendapat Susanto tentang pengertian reformasi  dilihat dari aspek per lembaga terjadilah tuntutan ekonomi, sosial dan hukum, keseimbangan antara hak dan kewajiban serta konsensus antara prinsip-prinsip yang berlaku di masyarakat.

Berdasarkan pengertian reformasi diatas maka yang dimaksud dengan reformasi adalah tuntutan untuk mengubah paradigma dan sistem yang ada dibirokrasi yang dianggap sudah tidak sejalan dengan perkembangan zaman, karena sistem lama dianggap sudah tidak mumpuni dan adanya tuntutan perubahan di sektor ekonomi, sosial dan kepastian hukum yang berdasarkan konsensus dan nilai nilai yang berlaku dimasyarakat. Dari pengertian reformasi inilah semestinya tuntutan perubahan (reformasi) berada pada tuntutan ke arah yang lebih baik.

Berkaitan dengan hal diatas maka di Indonesia terjadi suatu reformasi yang ditandai dengan pasca lengsernya Presiden Soeharto dan hal itu memicu lahirnya sebuah era baru yang dinamakan “ERA REFORMASI” tetapi jika kita semua mau jujur pada saat itu baik pemerintah (birokrasi) maupun masyarakat sebenarnya belum siap menghadapi dan menerima style tersebut. Kekacauan politik saat itu memicu lahirnya sebuah era baru yang dinamakan “ERA REFORMASI” tetapi jika kita semua mau jujur pada saat itu baik pemerintah (birokrasi) maupun masyarakat sebenarnya belum siap menghadapi dan menerima style tersebut sebab reformasi di Indonesia di korelasikan dengan bumbu-bumbu demokrasi, peletakan HAM dan pembagian "kue-kue politik" sehingga hal ini menimbulkan ke"bias"an dari tujuan dan makna reformasi yang sebenarnya.
 Namun apapun yang sudah terjadi reformasi di Indonesia terus melaju seiring dengan berjalannya roda pemerintahan, pada awalnya reformasi di Indonesia berjalan penuh dengan kekerasan, intrik politik, friksi antar birokrasi dan tuntutan sebagain masyarakat yang menginginkan suatu perubahan yang dramatis.
Dan Reformasi di Indonesia dapat dikatakan lahir pada tanggal 20 Mei 1998 bersamaan dengan pemaksaan kehendak beberapa elemen bangsa dan masyarakat yang sangat menginginkan perubahan tetapi sayangnya para reformis tidak mempersiapkan dengan baik pemimpin pengganti Presiden Soeharto yang telah menjaga Bangsa Indonesia selama 32 tahun dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Sejalan dengan bergulirnya era reformasi di bidang politik tersebut diatas maka hal ini tentunya memiliki  implikasi pada reformasi di bidang birokrasi (pemerimntah) sebab antara politik dan birokrasi memiliki korelasi yang sangat kuat dan ke dua unsur ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business prosess) dan sumber daya manusia aparatur.
Berbagai permasalahan/hambatan yang mengakibatkan sistem penyelenggaraan pemerintahan tidak berjalan atau diperkirakan tidak akan berjalan dengan baik harus ditata ulang atau diperharui.
    Reformasi birokrasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dengan kata lain, reformasi birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional.
    Selain itu dengan sangat pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi serta perubahan lingkungan strategis menuntut birokrasi pemerintahan untuk direformasi dan disesuaikan dengan dinamika tuntutan masyarakat.
    Oleh karena itu harus segera diambil langkah-langkah yang bersifat mendasar, komprehensif, dan sistematik, sehingga tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Reformasi di sini merupakan proses pembaharuan yang dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan, sehingga tidak termasuk upaya dan/atau tindakan yang bersifat radikal dan revolusioner.
    Hakikat Reformasi Birokrasi: merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business prosess) dan sumber daya manusia aparatur.
    Reformasi birokrasi di Indonesia menempatkan pentingnya rasionalisasi birokrasi yang menciptakan efesiensi, efektifitas, dan produktifitas melalui pembagian kerja hirarkikal dan horizontal yang seimbang, diukur dengan rasio antara volume atau beban tugas dengan jumlah sumber daya disertai tata kerja formalistic dan pengawasan yang ketat.
    Penataan organisasi pemerintah baik pusat maupun daerah didasarkan pada visi, misi dan sasaran startegis, agenda kebijakan, program dan kinerja kegiatan yang terencana dan diarahkan terbangunannya sosok birokrasi dengan tugas dan bertanggungjawaban terbuka dan aksessif.
    Penyederahanaan tata kerja dalam hubungan intra dan antar aparatur serta antar aparatur dengan masyarakat dan dunia usaha yang berorientasi pada criteria dan mekanisme yang impersonal terarah pada penerapan pelayanan prima.
    Reformasi birokrasi juga merupakan langkah strategis membangun sumber daya aparatur Negara yang professional, memiliki daya guna dan hasil guna yang professional dalam rangka menunjang jalannnya pemerintah dan pembangunan nasional.
Sedangkan dasar kebijakan reformasi birokrasi antara lain : UU No.17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, Perpres no.5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014, Peraturan Presiden No.81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dan 10  Peraturan Menteri PAN & RB tentang Pelaksanaan Reformasi Birokrasi di Indonesia.
Permen No.20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi (Pelaksanaan Reformasi Birokrasi) dapat dijelaskan dalam tabel berikut :
Tabel: 1
Road Map Reformasi Birokrasi
Program untuk tingkat makro
Program untuk tingkat meso
Program untuk tingkat mikro
1
Penataan birokrasi
Manajemen perubahan
Manajemen perubahan
2
Penataan tatalaksana
Konsultasi dan asistensi
Penataan peraturan Per UU
3
Penataan manajemen SDM aparatur
Monitoring evaluasi dan pelaporan
Penataan dan penguatan organisasi
4
Penguatan pengawasan
Knwoledge management
Penataan tata laksana
5
Penguatan akuntabilitas kinerja

Penataan sistem manajemen SDM aparatur
6
Peningkatan pelayanan publik

Penguatan pengawasan
7


Penguatan akuntabilitas kinerja
8


Peningkatan kualitas pelayanan publik
9


Monitoring dan evaluasi
Sumber : Kebijakan Reformasi Birokrasi Pusat, 2010
Berkaitan dengan hal tersebut maka potret birokrasi di Indonesia dalam tercover dari lima unsur, yakni:1) Organisasi, 2) Kepastian Hukum dan Peraturan Per UU, 3) Sumber Daya Aparatur, 4) Business Process dalam Pelayanan Publik dan 5) Mindset Culture Set.
Organisasi  terkait dengan struktur gemuk dan tidak fit dengan fungsinya, belanja birokrasi lebih besar dari pada belanja publik dan pembentukan SKPD tidak selalu sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerah.
Kepastian Hukum dan Peraturan Per Undang Undangan  terkait dengan kontradiktif an ambigu dalam implementasinya, belum terpadunya instansi pelaksana pengawasan produk hukum daerah kabupaten dan kota, masih banyaknya produk hukum daerah kabupaten/kota yang dibatalkan, prioritas penyusunan produk hukum daerah yang masih dapat berubah walaupun telah ditetapkan, masih banyaknya aksi kekerasan terhadap perempuan dan anak yang mengakibatkan masayarakat merasa belum sepenuhnya merasa aman dan nyaman dan terakhir  lembaga peradilan tidak pernah memihak pada masyarakat miskin dalam hal ini hukum dipersepsikan sebagai lembaga bisnis “ siapa yang mampu membeli dan memiliki kuasa dia yang akan menang diperadilan sekalipun dia adalah pelaku sebuah kejahatan “
Sumber Daya Aparatur sangat berhubungan dengan overstaffed and understaffed, masalah integritas. Mismatch dan kompetensi, distribusi tidak profesional, kurangnya disiplin PNS, prinsip moralitas PNS belum sepenuhnya dijunjung tinggi dan pola karir belum dilaksanakan dengan baik.
Business process dalam Pelayanan Publik yang dimaksud di sini adalah :
Seluruh aspek regulasi tata laksana penyelengaraan pemerintahan di lingkungan pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota belum memiliki standar baku.
Pemahaman aspek tata laksana penyelengaraan pemerintahan daerah bagi SKPD di lingkungan peerintahan provinsi dan kabupaten/kota masih sangat terbatas.
Variasi model tata laksana pada pemerintahan daerah masih berbeda beda dan belum seluruh pedoman sistem tata laksana yang dapat dijadikan sebagai acuan bertindak oleh daerah (yang berlaku saat ini sifatnya parsial).
Pelayanan Publik memiliki ketidakpastian terutama yang berhubungan dengan prosedur, biaya, waktu, kurang berkualitas dan terbuka celah untuk melakukan tindak korupsi.
Pelayanan publik belum sepenuhnya melayani masyarakat secara optimal yang disebabkan karena minimnya sarana prasarana, kapasitas aparatur dan sistem prosedur yang belum sepenuhnya dijalankan dengan baik.
Sedangkan yang dimaksud dengan mindset dan culture set adalah pelayanan publik kurang melakukan inovatif dan minim dengan semangat perubahan.
Hal- hal diatas memicu dan mendorong percepatan lahirnya era Reformasi birokrasi dan reformasi birokrasi  merupakan salah satu upaya Pemerintah untuk mencapai good governance dan dasar pemikiran tersebut berdasarkan pertimbangan serta melihat pengalaman sejumlah Negara yang menunjukan bahwa reformasi birokrasi merupakan langkah awal untuk mencapai kemajuan sebuah Negara.
Melalui reformasi birokrasi, dilakukan penataan terhadap system penyelenggaraan pemerintahan yang tidak hanya efektif dan efesien tapi juga reformasi birokrasi menjadi tulang punggung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Reformasi birokrasi memang akan diterapkan dijajaran kementerian dan lembaga pemerintah. Mereformasi birokrasi kementerian dan lembaga memang sudah saatnya dilakukan sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi saat ini, dimana birokrasi dituntut untuk dapat melayani masyarakat secara cepat, tepat dan profesional.
Birokrasi merupakan faktor penentu dalam mencapai tujuan pembangunan nasional. Oleh sebab itu cita-cita reformasi birokrasi adalah terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang professional, memiliki kepastian hukum, transparan, partisipatif, akuntable dan memiliki kredibilitas serta berkembangnya budaya dan perilaku birokrasi yang didasari oleh etika, pelayanan dan pertanggungjawaban public serta integritas pengabdian dalam mengemban misi perjuangan bangsa mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara.
Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business prosess) dan sumber daya manusia aparatur.
Reformasi birokrasi di Indonesia menempatkan pentingnya rasionalisasi birokrasi yang menciptakan efesiensi, efektifitas, dan produktifitas melalui pembagian kerja hirarkikal dan horizontal yang seimbang, diukur dengan rasio antara volume atau beban tugas dengan jumlah sumber daya disertai tata kerja formalistic dan pengawasan yang ketat.
Penataan organisasi pemerintah baik pusat maupun daerah didasarkan pada visi, misi dan sasaran startegis, agenda kebijakan, program dan kinerja kegiatan yang terencana dan diarahkan terbangunannya sosok birokrasi dengan tugas dan bertanggungjawaban terbuka dan aksessif.
Penyederahanaan tata kerja dalam hubungan intra dan antar aparatur serta antar aparatur dengan masyarakat dan dunia usaha yang berorientasi pada criteria dan mekanisme yang impersonal terarah pada penerapan pelayanan prima.
Reformasi birokrasi juga merupakan langkah strategis membangun sumber daya aparatur Negara yang professional, memiliki daya guna dan hasil guna yang professional dalam rangka menunjang jalannnya pemerintah dan pembangunan nasional.
Pelaksanaan reformasi birokrasi telah mendapatkan landasan yang kuat melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025.
Selanjutnya, dalam implementasinya telah ditetapkan landasan operasional dalam bentuk Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 20 tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014.
Kemajuan yang cukup berarti, dalam tahun 2010, sebanyak 9 kementerian/lembaga telah melaksanakan reformasi birokrasi instansi (RBI).
Dengan demikian, saat ini sudah terdapat 13 K/L yang melaksanakan RBI. Dalam rangka meningkatkan koordinasi, menajamkan dan mengawal pelaksanaan reformasi birokrasi, telah ditempuh langkah-langkah kebijakan, antara lain:
1.                    Penerbitan Keppres 14 Tahun 2010 tentang Pembentukan Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional, yang disempurnakan menjadi Keppres Nomor 23 Tahun 2010;
2.                    Keputusan Menpan dan RB Nomor 355 Tahun 2010 tentang Pembentukan Tim Independen,
3.                    Keputusan Menpan dan RB Nomor 356 Tahun 2010 tentang Pembentukan Tim Penjamin Kualitas (Quality Assurance).
Pada tahun 2011, diharapkan K/L yang telah melaksanakan RBI semakin bertambah sejalan dengan komitmen pemerintah untuk menuntaskan RBI pada seluruh K/L.
Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis RBI diharapkan dapat diselesaikan dan diimplementasikan.
Sejalan dengan perluasan reformasi birokrasi pada instansi pemerintah daerah, maka sosialisasi dan asistensi kepada pemerintah daerah terus ditingkatkan.
Kualitas pelaksanaan reformasi birokrasi khususnya dampaknya pada peningkatan kinerja dan pelayanan publik terus diawasi melalui Tim Quality Assurance.
Pada akhirnya keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi akan sangat mendukung dalam penciptaan good dovernance karena reformasi birokrasi merupakan inti dari upaya penciptaan good governance, sehingga akan dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan meningkatkan investasi di Indonesia yang berujung pada peningkatan pertumbuhan perekonomian Indonesia yang membawa implikasi terhadap kesejahteraan rakyat.
Di Indonesia reformasi birokrasi menurut E. E. Mangindaan, 17 Maret 2010 dalam bukunya yang berjudul Reformasi Birokrasi dan Profil PNS Kedepan (2025) sbb:
 “Pelaksanakan reformasi birokrasi nasional pemerintah tidak akan mengorbankan pegawai negeri sipil yang telah bekerja belasan atau puluhan tahun. Pegawai pada satu fungsi atau jabatan yang tidak tepat, tidak akan dibuang begitu saja”

Maksud dan tujuan reformasi birokrasi adalah mewujudkan birokrasi profesional yang handal dalam memberikan pelayanan kepada publik telah berkembang menjadi tuntutan perubahan dan semestinya, pelayanan publik baik akan mendorong ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat.
Michael E. Porter (2007, vii) di dalam bukunya Dynamic Governance bertanya “What makes government effective?”
Pertanyaan ini ditujukan Porter mengingat bahwa banyak sekali kegagalan terjadi di berbagai Negara disebabkan oleh kebijakan pemerintahan buruk, implementasi buruk, kegagalan etika, dan ketidakmampuan pemerintah menyesuaikan diri dengan perubahan ketika diperlukan.

Selanjutnya menurut Porter, pemerintahan buruk akan mengakibatkan penderitaan hidup pada warganya. Pemerintahan yang baik akan menghasilkan sinergi antara para pemangku kepentingan.
Menurut Carolina G. Hernandez (1999, 4), tentang prinsip prinsip Good Governance versi United Nations Development Programme, setidaknya menyebutkan keterlibatan ketiga unsur, yaitu pemerintah, masyarakat, dan swasta, dalam pembangunan. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
a) participation;
b) rule of law;
c) transparency;
d) responsiveness;
e) consensus orientation;
 f) equity;
g) effectiveness and efficiency;
 h) accountability;
i) strategic vision.
 Reformasi birokrasi Indonesia mau tidak mau akan selalu melibatkan Pegawai Negeri baik itu sipil (PNS), TNI/Polri maupun tenaga honorer (Prasodjo, 2010; Affandy, 2010).
Namun demikian, reformasi birokrasi haruslah juga memperhatikan berbagai arah perubahan strategis dari berbagai literatur berkaitan dengan reformasi birokrasi yang ada, seperti reinventing government, dynamic governance, new public management, new public service, sampai pada akhirnya dapat dijelaskan bagaimana keseluruhan perubahan yang ada berhubungan dengan profil birokrasi yang diinginkan.
Reformasi birokrasi memiliki orientasi pada  empat unsur dan ke empat unsur itu adalah :
1.                    Paradigma reinventing government terhadap reformasi birokrasi;
2.                    Bagaimana konsep dynamic governance dapat memberikan masukan berharga bagi upaya merumuskan grand strategy reformasi birokrasi;
3.                    Menguraikan tentang tuntutan new public management dan new public service terhadap reformasi birokrasi;
4.                    Menggambarkan kesenjangan antara konsep yang ada dengan profil birokrasi yang diharapkan dalam reformasi administrasi negara vis a vis reformasi birokrasi.
Keterkaitan Reinventing Government dengan Reformasi Birokrasi Perubahan paradigman dalam memanding birokrasi telah dituangkan di dalam konsep Reinventing Govenrment dikemukakan oleh Ted Gaebler dan David Osborne (1992)  berpendapat bahwa saat ini birokrasi dihadapkan dengan perubahan besar dimana terdapat pasar global memerlukan daya kompetitif setiap individu birokrat, masyarakat sangat peka terhadap tuntutan perubahan jaman karena informasi sudah sedemikian mudah didapat. Begitu pula perubahan terjadi dimana para pemimpin harus berpacu dengan tuntutan yang dipimpin, mereka yang menginginkan otonomi lebih besar disertai kemudahan mengakses segala bentuk pilihan dan kualitas. Kesemuanya memicu pemerintah untuk cepat tanggap terhadap perubahan yang ada pada lingkungan domestik maupun internasional.
Pernyataan di atas diperkuat dalam Banishing Bureaucracy oleh David Osborne dan Plastrik (2000) 2 , mengemukakan bahwa:
 “The fundamental transformation of public systems and 1 David Oseborne and Ted Gaebler, Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit Transforming the Public Sector (New York: Penguin Book Ltd., 1992), hlm…. 2 David Osborne and Peter Plastrik, Banishing Bureaucracy (New York: Addison-Wesley Publishing Company, Inc., 2001), hlm. 12-13. organizations to create dramatic increases in their effectiveness, efficiency, adaptability, and capacity to innovate. This transormation is accomplished by changing their purpose, incentives, accountability, power structure, and culture.” (tranformasi mendasar pada sistem pemerintahan dan organisasi adalah untuk menciptakan pertumbuhan dramatis dalam efektivitas, efisiensi, adaptabilitas, dan kapasitas berinovasi. Tranformasi ini dapat dicapai dengan mengubah tujuan, insentif, pertanggungjawaban, struktur kekuasaan, dan budaya).

Singkat kata, Osboren, Gaebler, dan Plastrik, menginginkan transformasi birokrasi lebih mengarah kepada birokrasi wirausaha atau entrepreneur, karena posisi argumen mereka sangat berkaitan dengan kondisi kritis birokrasi yang tidak mampu merubah dirinya menjadi kompetitif menghadapi tantangan free market.
Birokrasi dituntut menjadi sangat efisien, persis seperti mesin-mesin di dalam suatu perusahan bekerja, namun disertai kemampuan mengembangkan diri sehingga mampu menghidupi diri sendiri dengan kreatifitas menciptakan sesuatu yang baru.
Model seperti ini memposisikan birokrasi seperti perusahaan dan pengguna atau pelanggan adalah masyarakat.
Konsep reinventing government atau lebih dikenal di Indonesia dalam terjemahannya sebagai mewirausahakan birokrasi adalah bagaimana membangun lembaga-lembaga pemerintah (baca: birokrasi) yang mampu merubah dirinya sehingga mampu menghadapi tantangan-tantangan terjadi.
Osborne dan Gaebler merumuskan sepuluh prinsip3 birokrasi berjiwa entrepreneur, yaitu:
1) Pemerintahan katalis: mengarahkan ketimbang mengayuh;
2) pemeirntahan milik masyarakat: memberi wewenang ketimbang melayani;
3) pemerintahan yang kompetitif: menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan;
4) pemerintahan yang digerakkan misi: mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan;
 5) pemerintahan yang berorientasi hasil: membiayai hasil dibandingkan dengan masukan;
6) pemerintahan berorientasi pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan bukan birokrasi;
7) peemrintahan wirausaha: menghasilkan dibandingkan dengan membelanjakan;
8)  pemerintahan antisipatif: mencegah daripada mengobati;
9)  pemerintahan 3 Ibid, Osborne and Gaebler, hlm 15. desentralisasi; 10)pemerintahan berorientasi pasar: mendongkrak perubahan melalui pasar.
Namun demikian, kendala dalam pelaksanaan reformasi birokrasi dengan mengadopsi model di atas masih banyak, terutama seperti dikemukakan oleh Arief Budiman yang menyebut birokrasi Indonesian masih dekat dengan pelabelan bureaucratic rente, artinya birokrasi selalu menginginkan menjadi satu hegemoni kekuasaan tanpa memperbolehkan pihak lain menjadi pengkritik.
Birokrasi model ini tidak akan membiarkan lawan politik apalagi masyarakat menjadi mitra kerja dalam membangun reformasi birokrsi yang diinginkan.
Konsep New Public Management dan New Public Service New public management merupakan pendekatan manajemen dikenal pada era 1980-an yang dipopulerkan kembali tahun 1990-an.
Sebelumnya pendekatan ini telah mengalami beberapa perubahan salah satunya adalah perubahan dari Enterpreneurial Government (Osborne and Gaebler, 1992) 4 . 4 David Osborne & Ted Gaebler. Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit Is Transforming the Public Sector. New York: Penguin Press, 1992 David Osborne dan Ted Gaebler menyatakan bahwa organisasi yang memberikan pelayanan publik perlu membuka diri sehingga lebih bentuk organisasinyapun menjadi lebih ramping atau pipih (flat), efisien dan rasional serta desentralisasi.
Pelanggan menjadi sentral dalam pelayanan. Reinventing government mendasari konsep new public management (NPM), yang menekankan pada customer satisfaction.
Sehingga, new public management dapat diumpamakan sebagai aplikasi konsep manajemen bisnis pada organisasi publik.
Selanjutnya, Pollitt 5 dalam The New Public Management, berpendapat bahwa NPM bercirikan: a) usaha peningkatan efisiensi secara terus menerus; b) peningkatan penggunaan teknologi canggih secara terus-menerus; c) peningkatan disiplin pegawai untuk meningkatkan produktifitas; dan d) implementasi yang jelas terhadap peran manajemen profesional. Pendekatan ini banyak mengambil prinsip-prinsip dari Taylor. Tokoh-tokoh New Public Management antara lain: Kooiman (2003), 6 mengatakan bahwa pola hubungan masyarakat, pemerintah, dan swasta merupakan hubungan yang kompleks, dinamis, dan diverse (beragam).
Perubahan pandangan terhadap birokrasi terus terjadi ketika muncul Manajemen Pelayanan Masyarakat (New Public Services), dengan merevisi pengertian dari Reinventing Government (2005) ala Osborne dan Gaebler, yang mengungkapkan peran masyarakat ketimbang pemerintah dalam mengelola kebutuhan mereka dalam bermasyarakat.
Reformasi Birokrasi Konsep Governance menjelaskan hubungan antara pemerintah dan warga negaranya dalam menyusun kebijakan publik dan program, mengimplementasikan dan kemudian mengevaluasinya.
Dalam konteks lebih luas, konsep tersebut merujuk pada pengertian bahwa segala aturan, kelembagaan, dan jejaring kerja yang menentukan bagaimana suatu negaera atau organisasi berfungsi8 Sedangkan konsep dynamic governance berangkat dari kebutuhan perubahan kelembagaan pemerintah untuk mendorong keberdayaan kompetitif dalam sektor ekonomi dan pembangunan sosial di sebuah negara.
Lembaga pemerintah tidak lekat dengan apa yang disebut sebagai dinamisme.
Lembaga pemerintah kebanyakan terdiri dari lembaga-lembaga yang gemar sekali memonopoli dan tidak suka dengan aturan disiplin mengikat ketika mereka harus memberikan hasil dan pelayanan jasa, yang kesemuanya semestinya bisa dilakukan tanpa pungutan biaya atas dasar subsidi pemerintah.
Lebih sulit lagi, lembaga lembaga seperti itu biasanya bekerja berdasarkan anggaran yang telah ditetapkan berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang rentan pengaruh politik.
Lembaga pemerintah tidak pernah bisa beroperasi seperti perusahaan swasta yang berani mengambil resiko, merasakan akibat finansial, dari kesalahan pengambilan keputusan. Singkat kata, lembaga pemerintah tidak pernah merasakan hukuman disiplin atas perbuatan yang mereka lakukan.
Berdasarkan studi Porter di Singapura, ia menemukan bagaimana penanaman dasar-dasar nilai budaya dan kepercayaan akan bisa bekerja sama secara sinergis dengan kemampuan organisasi kuat untuk menciptkana sistem governance yang dinamis.
Suatu sistem yang mampu menciptakan perubahan terus menerus. Menurut Porter, budaya suatu lembaga dapat mendukung ataupun menghambat, memfasilitasi ataupun menghalangi dinamisme dari pengambilan keputusan dan pelaksanaannya.
Pada akhirnya, Porter merangkum tiga titik kritis kemampuan Governance atau kemampuan mengelola tata pemerintahan: 1) thinking ahead—kemampuan untuk menerima tandaptanda awal dari perubahan arah pembangunan di masa datang; 2) thingking again—kemampuan dan kemauan untuk berpikir kembali dan membuat kembali kebijakan yang ada sekarang sehingga dapat bekerja dengan lebih baik; 3) thinking across—kemampuan dan keterbukaan untuk melintas batas mempelajari pengalaman dari lainnya sehingga pemikiran-pemikiran 10 Michael Porter, On Competititon (MA: HBS Press, 1998), Chapter 6 and 7. baru dan konsep lain dapat diperkenalkan kepada lembaga tempat bekerja11 .
Kaitan antara reformasi birokrasi dengan dynamic governance terletak pada tulisan Porter tentang bagaimana kemampuan negara untuk melakukan perubahan pada arah kebijakan bergantung pada usaha terus menerus untuk mengembangkan diri dan keinginan tetap untuk belajar, adaptasi dan inovasi mereka.
Kemampuan ini tentunya tidak datang begitu saja karena dibutuhkan kemampuan para pelaku di dalam sektor pemerintah untuk berpikir ke depan dan antisipatis, berpikir kembali tentang kebijakan yang ada dan berpikir lintas batas untuk mengakomodir kebijakan yang ada di luar dan bermanfaat untuk diaplikasikan di dalam negeri.
Reformasi birorkasi tidak diperkenalkan secara eksplisit oleh Porter, namun perubahan sebagai makna reformasi sendiri sudah menjelaskan bagaimana perubahan tata kelola pemerintahan tidak akan terlepas dari subyek perubahan sendiri yaitu pelaku sektor pemerintah atau birokrasi.
Porter menampilkan kerangka dalam mengelola birokrasi menuju dynamic governance, yaitu kemampuan berubah sebagai jawaban atas tuntutan yang ada, dan kemampuan untuk mempertimbangkan dan memilih posisi-posisi dalam kondisi nilai-nilai dan kepercayaan yang tidak berubah.
Untuk itu, Porter mengilustrasikan betapa pentingnya birokrasi sebagai kunci menuju dynamic governance sebagai berikut: Ilustrasi.
People as Key to Dynamic Governance 11 Ibid, Porter, hlm. 3-4. Philosophy Policies Practices Strategic View of Leadership Character of Integrity Principle of Meritocracy Leadership Retention People Development Talent Selection Scholarship Recruitment Salary benchmarking, Promotion & recognition, Fixed term tenure Performance appraisal, Potential assessment, Job posting & rotation , Milestone courses

Filosofi dari manajemen orang atau sumber daya di dalam sektor publik atau birokrasi berdasarkan keyakinan bahwa: 1) kepentingan strategis dan penempatan peran penting dari bakat dan kepemimpinan menuju dynamic governance 2) meritokrasi merupakan dasar dari seleksi, penugasan, promosi dan pemberhentian; dan 3) rekrutmen paling penting bagi posisi pemimpin adalah mereka harus merupakan orang-orang yang memiliki integritas dan kejujuran .
Reformasi birokrasi tidak dapat berjalan tanpa adanya dukungan dari para PNS sebagai penyusun 3,7 juta angkatan kerja di Indonesia. Oleh karena itu, komitmen pemerintah untuk mereformasi birokrasi harus terus menerus disertai dengan usaha mengintegrasikan kebutuhan perubahan di dalam tubuh individu PNS itu sendiri. Sumber: Kementerian PAN dan RB (2010).
Reformasi birokrasi di Indonesia (2010-2025) versi Kementerian PAN dan RB sebenarnya sudah sedikit banyak mengakomodasi pemikiran-pemikiran yang sudah ada sebelumnya. 
Namun belum pemberlakukan birokrasi sebagai sebuah lembaga belum tentu seberhasil bila fokus diarahkan pada perubahan pada individu pegawai. 
Dari uraian sebelumnya, kemauan lembaga pemerintah beradaptasi, menerima pelajaran dari contoh yang baik, memerlukan perubahan di dalam diri para penyusun birokrasi itu sendiri.
Reformasi birokrasi tidak dapat berjalan tanpa adanya dukungan dari para PNS sebagai penyusun 3,7 juta angkatan kerja di Indonesia. 
Oleh karena itu, komitmen pemerintah untuk mereformasi birokrasi harus terus menerus disertai dengan usaha mengintegrasikan kebutuhan perubahan di dalam tubuh individu PNS itu sendiri.  
Jika Implementasi Reformasi Birokrasi hanya berdasarkan pada efesiensi dan efektivitas anggaran saja maka hal ini justru akan membawa kopleksivitas sikon sebuah negara sebab dalam dalam implemtasinya ada  empat (4) pertanyaan besar juga menyertai era ini, yakni :
1.  apakah Indonesia benar-benar telah siap menerapkan REFORMASI BIROKRASI saat ini ?
2.  apakah sudah dipikirkan dampaknya bagi masyarakat yang notabene adalah user (pengguna) pelayanan publik?
3.    apakah pemerintah (kalangan birokrasi) sudah memiliki value, knowlegde, skill di bidang reformasi birokrasi itu sendiri (termasuk SDM, SDA, Infrastruktur, Modal (anggaran), Smart Manager, Perangkat IT, controlling dan Moneva (monitoring dan evaluasi)?”
4.  Apakah sudah dilakukan study kelayakan  dan bagaimana hasilnya? ( Indonesia terdiri dari masyarakat yang heterogen baik dari segi SDM, budaya, adat istiadat, religi, tehnologi yang belum terdistrusi dengan baik, sebagian masyarakat daerah belum mampu mengakses sistem sumber informasi)
      Pelaksanaan reformasi birokrasi telah mendapatkan landasan yang kuat melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025.
        Selanjutnya, dalam implementasinya telah ditetapkan landasan operasional dalam bentuk Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 20 tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014.
         Kemajuan yang cukup berarti, dalam tahun 2010 ini, sebanyak 9 kementerian/lembaga telah melaksanakan reformasi birokrasi instansi (RBI). Dengan demikian, saat ini sudah terdapat 13 K/L yang melaksanakan RBI.
 Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis RBI diharapkan dapat diselesaikan dan diimplementasikan. Sejalan dengan perluasan reformasi birokrasi pada instansi pemerintah daerah, maka sosialisasi dan asistensi kepada pemerintah daerah terus ditingkatkan.
 Kualitas pelaksanaan reformasi birokrasi khususnya dampaknya pada peningkatan kinerja dan pelayanan publik terus diawasi melalui Tim Quality Assurance.
Pada akhirnya keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi akan sangat mendukung dalam penciptaan good dovernance karena reformasi birokrasi merupakan inti dari upaya penciptaan good governance, sehingga akan dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan meningkatkan investasi di Indonesia yang berujung pada peningkatan pertumbuhan perekonomian Indonesia yang membawa implikasi terhadap kesejahteraan rakyat. 
Dan ujung tombak bagi keberhasilan pelaksanaan birokrasi sebenarnya dimulai dari Integritas, Kinerja, SDM dan Moralitas para pejabat itu sendiri.
Sekali lagi bahwa kunci keberhasilan Reformasi Birokrasi justru terletak pada komitmen para pejabat dalam mengimplementasikan pelaksanaan reformasi birokrasi.
Referensi:
1.       Kementrian Pendayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, www.menpan.go.id/reformasi-birokrasi/makna dan tujuan.
2.       Sosialisai Kebijakan Reformasi Birokrasi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, 2016. Jawa Tengah.
4.       Reformasi.net/reformasi “Reformasi Birokrasi-Pemerintah
5.       www.academia.edu/6205065/Makalah Birokrasi Indonesia
6.       www.academia.edu/9768900/Tujuan Tujuan Reformasi Birokrasi
7. blog.sivitas.lipi.go.id/blog.cgiisiblog&1253275195&&am&1036006290/Apa itu reformasi birokrasi