Pengertian Reformasi dari Khan: suatu perubahan
bentuk sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku dan
keberadaan atau kebiasaan yang telah lama, sedangkan menurut Quah: suatu proses untuk
mengubah proses, prosedural birokrasi publik dan sikap serta tingkah laku
birokrat untuk mencpai efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional
sejalan dengan Khan dan Quah menurut pendapat Susanto tentang pengertian reformasi dilihat dari aspek per lembaga
terjadilah tuntutan ekonomi, sosial dan hukum, keseimbangan antara hak dan
kewajiban serta konsensus antara prinsip-prinsip yang berlaku di masyarakat.
Berdasarkan pengertian reformasi diatas maka yang
dimaksud dengan reformasi adalah tuntutan untuk mengubah paradigma dan sistem
yang ada dibirokrasi yang dianggap sudah tidak sejalan dengan perkembangan zaman,
karena sistem lama dianggap sudah tidak mumpuni dan adanya tuntutan perubahan
di sektor ekonomi, sosial dan kepastian hukum yang berdasarkan konsensus dan
nilai nilai yang berlaku dimasyarakat. Dari pengertian reformasi inilah
semestinya tuntutan perubahan (reformasi) berada pada tuntutan ke arah yang lebih baik.
Berkaitan dengan hal diatas maka di Indonesia
terjadi suatu reformasi yang ditandai dengan pasca lengsernya Presiden Soeharto
dan hal itu memicu lahirnya sebuah era baru yang dinamakan “ERA REFORMASI”
tetapi jika kita semua mau jujur pada saat itu baik pemerintah (birokrasi)
maupun masyarakat sebenarnya belum siap menghadapi dan menerima style tersebut. Kekacauan politik saat itu memicu lahirnya sebuah era baru yang dinamakan “ERA REFORMASI”
tetapi jika kita semua mau jujur pada saat itu baik pemerintah (birokrasi)
maupun masyarakat sebenarnya belum siap menghadapi dan menerima style tersebut sebab reformasi di Indonesia di korelasikan dengan bumbu-bumbu demokrasi, peletakan HAM dan pembagian "kue-kue politik" sehingga hal ini menimbulkan ke"bias"an dari tujuan dan makna reformasi yang sebenarnya.
Namun apapun yang sudah terjadi reformasi di Indonesia terus melaju seiring dengan berjalannya roda pemerintahan, pada awalnya reformasi di Indonesia berjalan penuh dengan kekerasan, intrik politik, friksi antar birokrasi dan tuntutan sebagain masyarakat yang menginginkan suatu perubahan yang dramatis.
Namun apapun yang sudah terjadi reformasi di Indonesia terus melaju seiring dengan berjalannya roda pemerintahan, pada awalnya reformasi di Indonesia berjalan penuh dengan kekerasan, intrik politik, friksi antar birokrasi dan tuntutan sebagain masyarakat yang menginginkan suatu perubahan yang dramatis.
Dan Reformasi di Indonesia dapat dikatakan lahir pada
tanggal 20 Mei 1998 bersamaan dengan pemaksaan kehendak beberapa elemen bangsa
dan masyarakat yang sangat menginginkan perubahan tetapi sayangnya para
reformis tidak mempersiapkan dengan baik pemimpin pengganti Presiden Soeharto
yang telah menjaga Bangsa Indonesia selama 32 tahun dengan segala kelebihan dan
kekurangannya.
Sejalan dengan bergulirnya era reformasi di bidang
politik tersebut diatas maka hal ini tentunya memiliki implikasi pada reformasi di bidang birokrasi
(pemerimntah) sebab antara politik dan birokrasi memiliki korelasi yang sangat
kuat dan ke dua unsur ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Reformasi
birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan
perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama
menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business
prosess) dan sumber daya manusia aparatur.
Berbagai
permasalahan/hambatan yang mengakibatkan sistem penyelenggaraan pemerintahan
tidak berjalan atau diperkirakan tidak akan berjalan dengan baik harus ditata
ulang atau diperharui.
Reformasi
birokrasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang
baik (good governance). Dengan kata lain, reformasi birokrasi adalah langkah
strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil
guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional.
Selain itu
dengan sangat pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan
komunikasi serta perubahan lingkungan strategis menuntut birokrasi pemerintahan
untuk direformasi dan disesuaikan dengan dinamika tuntutan masyarakat.
Oleh karena
itu harus segera diambil langkah-langkah yang bersifat mendasar, komprehensif,
dan sistematik, sehingga tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai
dengan efektif dan efisien. Reformasi di sini merupakan proses pembaharuan yang
dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan, sehingga tidak termasuk upaya
dan/atau tindakan yang bersifat radikal dan revolusioner.
Hakikat Reformasi Birokrasi: merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan
dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama
menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business
prosess) dan sumber daya manusia aparatur.
Reformasi birokrasi di Indonesia menempatkan pentingnya
rasionalisasi birokrasi yang menciptakan efesiensi, efektifitas, dan
produktifitas melalui pembagian kerja hirarkikal dan horizontal yang seimbang,
diukur dengan rasio antara volume atau beban tugas dengan jumlah sumber daya
disertai tata kerja formalistic dan pengawasan yang ketat.
Penataan organisasi pemerintah baik pusat maupun daerah
didasarkan pada visi, misi dan sasaran startegis, agenda kebijakan, program dan
kinerja kegiatan yang terencana dan diarahkan terbangunannya sosok birokrasi
dengan tugas dan bertanggungjawaban terbuka dan aksessif.
Penyederahanaan tata kerja dalam hubungan intra dan antar
aparatur serta antar aparatur dengan masyarakat dan dunia usaha yang
berorientasi pada criteria dan mekanisme yang impersonal terarah pada penerapan
pelayanan prima.
Reformasi birokrasi juga merupakan langkah strategis
membangun sumber daya aparatur Negara yang professional, memiliki daya guna dan
hasil guna yang professional dalam rangka menunjang jalannnya pemerintah dan
pembangunan nasional.
Sedangkan dasar kebijakan reformasi birokrasi
antara lain : UU No.17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional 2005-2025, Perpres no.5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014, Peraturan
Presiden No.81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025
dan 10 Peraturan Menteri PAN & RB
tentang Pelaksanaan Reformasi Birokrasi di Indonesia.
Permen No.20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi
Birokrasi (Pelaksanaan Reformasi Birokrasi) dapat dijelaskan dalam tabel
berikut :
Tabel: 1
Road Map
Reformasi Birokrasi
Program untuk tingkat
makro
|
Program untuk tingkat
meso
|
Program untuk tingkat
mikro
|
|
1
|
Penataan birokrasi
|
Manajemen perubahan
|
Manajemen perubahan
|
2
|
Penataan tatalaksana
|
Konsultasi dan asistensi
|
Penataan peraturan Per
UU
|
3
|
Penataan manajemen SDM
aparatur
|
Monitoring evaluasi dan
pelaporan
|
Penataan dan penguatan
organisasi
|
4
|
Penguatan pengawasan
|
Knwoledge management
|
Penataan tata laksana
|
5
|
Penguatan akuntabilitas
kinerja
|
Penataan sistem
manajemen SDM aparatur
|
|
6
|
Peningkatan pelayanan
publik
|
Penguatan pengawasan
|
|
7
|
Penguatan akuntabilitas
kinerja
|
||
8
|
Peningkatan kualitas
pelayanan publik
|
||
9
|
Monitoring dan evaluasi
|
Sumber : Kebijakan Reformasi Birokrasi
Pusat, 2010
Berkaitan dengan hal tersebut maka potret birokrasi
di Indonesia dalam tercover dari lima unsur, yakni:1) Organisasi, 2) Kepastian
Hukum dan Peraturan Per UU, 3) Sumber Daya Aparatur, 4) Business Process dalam
Pelayanan Publik dan 5) Mindset Culture Set.
Organisasi terkait dengan struktur gemuk dan tidak fit dengan
fungsinya, belanja birokrasi lebih besar dari pada belanja publik dan
pembentukan SKPD tidak selalu sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerah.
Kepastian Hukum dan
Peraturan Per Undang Undangan terkait
dengan kontradiktif an ambigu dalam implementasinya, belum terpadunya instansi
pelaksana pengawasan produk hukum daerah kabupaten dan kota, masih banyaknya
produk hukum daerah kabupaten/kota yang dibatalkan, prioritas penyusunan produk
hukum daerah yang masih dapat berubah walaupun telah ditetapkan, masih
banyaknya aksi kekerasan terhadap perempuan dan anak yang mengakibatkan
masayarakat merasa belum sepenuhnya merasa aman dan nyaman dan terakhir lembaga peradilan tidak pernah memihak pada
masyarakat miskin dalam hal ini hukum dipersepsikan sebagai lembaga bisnis “
siapa yang mampu membeli dan memiliki kuasa dia yang akan menang diperadilan
sekalipun dia adalah pelaku sebuah kejahatan “
Sumber Daya Aparatur sangat berhubungan dengan
overstaffed and understaffed, masalah integritas. Mismatch dan kompetensi,
distribusi tidak profesional, kurangnya disiplin PNS, prinsip moralitas PNS
belum sepenuhnya dijunjung tinggi dan pola karir belum dilaksanakan dengan
baik.
Business process dalam Pelayanan Publik yang
dimaksud di sini adalah :
Seluruh aspek regulasi tata laksana penyelengaraan
pemerintahan di lingkungan pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota belum
memiliki standar baku.
Pemahaman aspek tata laksana penyelengaraan
pemerintahan daerah bagi SKPD di lingkungan peerintahan provinsi dan
kabupaten/kota masih sangat terbatas.
Variasi model tata laksana pada pemerintahan daerah
masih berbeda beda dan belum seluruh pedoman sistem tata laksana yang dapat
dijadikan sebagai acuan bertindak oleh daerah (yang berlaku saat ini sifatnya
parsial).
Pelayanan Publik memiliki ketidakpastian terutama
yang berhubungan dengan prosedur, biaya, waktu, kurang berkualitas dan terbuka
celah untuk melakukan tindak korupsi.
Pelayanan publik belum sepenuhnya melayani
masyarakat secara optimal yang disebabkan karena minimnya sarana prasarana,
kapasitas aparatur dan sistem prosedur yang belum sepenuhnya dijalankan dengan
baik.
Sedangkan yang dimaksud dengan mindset dan culture
set adalah pelayanan publik kurang melakukan inovatif dan minim dengan semangat
perubahan.
Hal- hal diatas memicu dan mendorong percepatan
lahirnya era Reformasi
birokrasi dan
reformasi birokrasi merupakan salah satu upaya Pemerintah untuk mencapai good governance dan dasar pemikiran
tersebut berdasarkan pertimbangan serta melihat pengalaman sejumlah Negara yang menunjukan bahwa reformasi birokrasi merupakan
langkah awal untuk mencapai kemajuan sebuah Negara.
Melalui reformasi birokrasi, dilakukan penataan terhadap
system penyelenggaraan pemerintahan yang tidak hanya efektif dan efesien tapi
juga reformasi birokrasi menjadi tulang punggung dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Reformasi birokrasi memang akan diterapkan dijajaran
kementerian dan lembaga pemerintah. Mereformasi birokrasi kementerian dan
lembaga memang sudah saatnya dilakukan sesuai dengan tuntutan situasi dan
kondisi saat ini, dimana
birokrasi dituntut untuk dapat melayani masyarakat secara cepat, tepat dan
profesional.
Birokrasi merupakan faktor penentu dalam mencapai tujuan
pembangunan nasional. Oleh sebab itu cita-cita reformasi birokrasi adalah
terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang professional, memiliki kepastian
hukum, transparan, partisipatif, akuntable dan memiliki kredibilitas serta
berkembangnya budaya dan perilaku birokrasi yang didasari oleh etika, pelayanan
dan pertanggungjawaban public serta integritas pengabdian dalam mengemban misi
perjuangan bangsa mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara.
Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk
melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan
pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi),
ketatalaksanaan (business prosess) dan sumber daya manusia aparatur.
Reformasi birokrasi di Indonesia menempatkan pentingnya
rasionalisasi birokrasi yang menciptakan efesiensi, efektifitas, dan
produktifitas melalui pembagian kerja hirarkikal dan horizontal yang seimbang,
diukur dengan rasio antara volume atau beban tugas dengan jumlah sumber daya
disertai tata kerja formalistic dan pengawasan yang ketat.
Penataan organisasi pemerintah baik pusat maupun daerah
didasarkan pada visi, misi dan sasaran startegis, agenda kebijakan, program dan
kinerja kegiatan yang terencana dan diarahkan terbangunannya sosok birokrasi
dengan tugas dan bertanggungjawaban terbuka dan aksessif.
Penyederahanaan tata kerja dalam hubungan intra dan antar
aparatur serta antar aparatur dengan masyarakat dan dunia usaha yang
berorientasi pada criteria dan mekanisme yang impersonal terarah pada penerapan
pelayanan prima.
Reformasi birokrasi juga merupakan langkah strategis
membangun sumber daya aparatur Negara yang professional, memiliki daya guna dan
hasil guna yang professional dalam rangka menunjang jalannnya pemerintah dan
pembangunan nasional.
Pelaksanaan reformasi birokrasi telah mendapatkan landasan
yang kuat melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang
Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025.
Selanjutnya, dalam implementasinya telah ditetapkan landasan
operasional dalam bentuk Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 20 tahun 2010
tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014.
Kemajuan yang cukup berarti, dalam tahun 2010, sebanyak 9
kementerian/lembaga telah melaksanakan reformasi birokrasi instansi (RBI).
Dengan demikian, saat ini sudah terdapat 13 K/L yang
melaksanakan RBI. Dalam rangka meningkatkan koordinasi, menajamkan dan mengawal
pelaksanaan reformasi birokrasi, telah ditempuh langkah-langkah kebijakan,
antara lain:
1.
Penerbitan
Keppres 14 Tahun 2010 tentang Pembentukan Komite Pengarah Reformasi Birokrasi
Nasional dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional, yang disempurnakan menjadi
Keppres Nomor 23 Tahun 2010;
2.
Keputusan Menpan dan RB Nomor 355 Tahun 2010 tentang Pembentukan Tim
Independen,
3.
Keputusan Menpan dan RB Nomor 356 Tahun 2010 tentang Pembentukan Tim
Penjamin Kualitas (Quality Assurance).
Pada tahun 2011, diharapkan K/L yang telah
melaksanakan RBI semakin bertambah sejalan dengan komitmen pemerintah untuk
menuntaskan RBI pada seluruh K/L.
Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis RBI
diharapkan dapat diselesaikan dan diimplementasikan.
Sejalan dengan perluasan reformasi birokrasi
pada instansi pemerintah daerah, maka sosialisasi dan asistensi kepada
pemerintah daerah terus ditingkatkan.
Kualitas pelaksanaan reformasi birokrasi
khususnya dampaknya pada peningkatan kinerja dan pelayanan publik terus diawasi
melalui Tim Quality Assurance.
Pada akhirnya keberhasilan pelaksanaan
reformasi birokrasi akan sangat mendukung dalam penciptaan good dovernance
karena reformasi birokrasi merupakan inti dari upaya penciptaan good
governance, sehingga akan dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan
meningkatkan investasi di Indonesia yang berujung pada peningkatan pertumbuhan
perekonomian Indonesia yang membawa implikasi terhadap kesejahteraan rakyat.
Di Indonesia reformasi birokrasi menurut E.
E. Mangindaan, 17 Maret 2010 dalam bukunya yang
berjudul Reformasi Birokrasi dan Profil PNS Kedepan
(2025) sbb:
“Pelaksanakan
reformasi birokrasi nasional pemerintah tidak akan mengorbankan pegawai negeri
sipil yang telah bekerja belasan atau puluhan tahun. Pegawai pada satu fungsi
atau jabatan yang tidak tepat, tidak akan dibuang begitu saja”
Maksud dan tujuan reformasi birokrasi adalah
mewujudkan birokrasi profesional yang handal dalam memberikan pelayanan kepada
publik telah berkembang menjadi tuntutan perubahan dan semestinya, pelayanan
publik baik akan mendorong ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat.
Michael
E. Porter (2007, vii) di dalam bukunya Dynamic Governance bertanya “What makes
government effective?”
“Pertanyaan
ini ditujukan Porter mengingat bahwa banyak sekali kegagalan terjadi di
berbagai Negara disebabkan oleh kebijakan pemerintahan buruk, implementasi
buruk, kegagalan etika, dan ketidakmampuan pemerintah menyesuaikan diri dengan
perubahan ketika diperlukan”.
Selanjutnya menurut Porter,
pemerintahan buruk akan mengakibatkan penderitaan hidup pada warganya.
Pemerintahan yang baik akan menghasilkan sinergi antara para pemangku
kepentingan.
Menurut
Carolina G. Hernandez (1999, 4), tentang
prinsip prinsip
Good Governance versi United Nations Development Programme, setidaknya
menyebutkan keterlibatan ketiga unsur, yaitu pemerintah, masyarakat, dan swasta,
dalam pembangunan. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
a)
participation;
b)
rule of law;
c)
transparency;
d)
responsiveness;
e)
consensus orientation;
f) equity;
g)
effectiveness and efficiency;
h) accountability;
i)
strategic vision.
Reformasi birokrasi Indonesia mau tidak mau
akan selalu melibatkan Pegawai Negeri baik itu sipil (PNS), TNI/Polri maupun
tenaga honorer (Prasodjo, 2010; Affandy, 2010).
Namun
demikian, reformasi birokrasi haruslah juga memperhatikan berbagai arah perubahan
strategis dari berbagai literatur berkaitan dengan reformasi birokrasi yang
ada, seperti reinventing government, dynamic governance, new public management,
new public service, sampai pada akhirnya dapat dijelaskan bagaimana keseluruhan
perubahan yang ada berhubungan dengan profil birokrasi yang diinginkan.
Reformasi birokrasi memiliki orientasi pada empat unsur dan ke empat unsur itu adalah :
1.
Paradigma
reinventing government terhadap reformasi birokrasi;
2.
Bagaimana
konsep dynamic governance dapat memberikan masukan berharga bagi upaya
merumuskan grand strategy reformasi birokrasi;
3.
Menguraikan
tentang tuntutan new public management dan new public service terhadap
reformasi birokrasi;
4.
Menggambarkan
kesenjangan antara konsep yang ada dengan profil birokrasi yang diharapkan
dalam reformasi administrasi negara vis a vis reformasi birokrasi.
Keterkaitan
Reinventing Government dengan Reformasi Birokrasi Perubahan paradigman dalam
memanding birokrasi telah dituangkan di dalam konsep Reinventing Govenrment
dikemukakan oleh Ted Gaebler dan David Osborne (1992) berpendapat bahwa saat ini birokrasi
dihadapkan dengan perubahan besar dimana terdapat pasar global memerlukan daya
kompetitif setiap individu birokrat, masyarakat sangat peka terhadap tuntutan
perubahan jaman karena informasi sudah sedemikian mudah didapat. Begitu pula
perubahan terjadi dimana para pemimpin harus berpacu dengan tuntutan yang
dipimpin, mereka yang menginginkan otonomi lebih besar disertai kemudahan
mengakses segala bentuk pilihan dan kualitas. Kesemuanya memicu pemerintah
untuk cepat tanggap terhadap perubahan yang ada pada lingkungan domestik maupun
internasional.
Pernyataan
di atas diperkuat dalam Banishing Bureaucracy oleh David Osborne dan Plastrik
(2000) 2 , mengemukakan bahwa:
“The fundamental transformation of public
systems and 1 David Oseborne and Ted Gaebler, Reinventing Government: How the
Entrepreneurial Spirit Transforming the Public Sector (New York: Penguin Book
Ltd., 1992), hlm…. 2 David Osborne and Peter Plastrik, Banishing Bureaucracy
(New York: Addison-Wesley Publishing Company, Inc., 2001), hlm. 12-13.
organizations to create dramatic increases in their effectiveness, efficiency,
adaptability, and capacity to innovate. This transormation is accomplished by
changing their purpose, incentives, accountability, power structure, and
culture.”
(tranformasi mendasar pada sistem pemerintahan dan organisasi adalah untuk
menciptakan pertumbuhan dramatis dalam efektivitas, efisiensi, adaptabilitas,
dan kapasitas berinovasi. Tranformasi ini dapat dicapai dengan mengubah tujuan,
insentif, pertanggungjawaban, struktur kekuasaan, dan budaya).
Singkat kata,
Osboren, Gaebler, dan Plastrik, menginginkan transformasi birokrasi lebih
mengarah kepada birokrasi wirausaha atau entrepreneur, karena posisi argumen
mereka sangat berkaitan dengan kondisi kritis birokrasi yang tidak mampu
merubah dirinya menjadi kompetitif menghadapi tantangan free market.
Birokrasi dituntut
menjadi sangat efisien, persis seperti mesin-mesin di dalam suatu perusahan
bekerja, namun disertai kemampuan mengembangkan diri sehingga mampu menghidupi
diri sendiri dengan kreatifitas menciptakan sesuatu yang baru.
Model seperti ini
memposisikan birokrasi seperti perusahaan dan pengguna atau pelanggan adalah
masyarakat.
Konsep reinventing
government atau lebih dikenal di Indonesia dalam terjemahannya sebagai
mewirausahakan birokrasi adalah bagaimana membangun lembaga-lembaga pemerintah
(baca: birokrasi) yang mampu merubah dirinya sehingga mampu menghadapi
tantangan-tantangan terjadi.
Osborne dan Gaebler
merumuskan sepuluh prinsip3 birokrasi berjiwa entrepreneur, yaitu:
1) Pemerintahan katalis: mengarahkan
ketimbang mengayuh;
2) pemeirntahan milik masyarakat: memberi
wewenang ketimbang melayani;
3) pemerintahan yang kompetitif:
menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan;
4) pemerintahan yang digerakkan misi:
mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan;
5)
pemerintahan yang berorientasi hasil: membiayai hasil dibandingkan dengan
masukan;
6) pemerintahan berorientasi
pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan bukan birokrasi;
7) peemrintahan wirausaha:
menghasilkan dibandingkan dengan membelanjakan;
8) pemerintahan
antisipatif: mencegah daripada mengobati;
9) pemerintahan
3 Ibid, Osborne and Gaebler, hlm 15. desentralisasi; 10)pemerintahan
berorientasi pasar: mendongkrak perubahan melalui pasar.
Namun demikian,
kendala dalam pelaksanaan reformasi birokrasi dengan mengadopsi model di atas
masih banyak, terutama seperti dikemukakan oleh Arief Budiman yang menyebut
birokrasi Indonesian masih dekat dengan pelabelan bureaucratic rente, artinya
birokrasi selalu menginginkan menjadi satu hegemoni kekuasaan tanpa memperbolehkan
pihak lain menjadi pengkritik.
Birokrasi model ini
tidak akan membiarkan lawan politik apalagi masyarakat menjadi mitra kerja
dalam membangun reformasi birokrsi yang diinginkan.
Konsep New Public
Management dan New Public Service New public management merupakan pendekatan
manajemen dikenal pada era 1980-an yang dipopulerkan kembali tahun 1990-an.
Sebelumnya
pendekatan ini telah mengalami beberapa perubahan salah satunya adalah
perubahan dari Enterpreneurial Government (Osborne and Gaebler, 1992) 4 . 4
David Osborne & Ted Gaebler. Reinventing Government: How the
Entrepreneurial Spirit Is Transforming the Public Sector. New York: Penguin
Press, 1992 David Osborne dan Ted Gaebler menyatakan bahwa organisasi yang
memberikan pelayanan publik perlu membuka diri sehingga lebih bentuk
organisasinyapun menjadi lebih ramping atau pipih (flat), efisien dan rasional
serta desentralisasi.
Pelanggan menjadi
sentral dalam pelayanan. Reinventing government mendasari konsep new public
management (NPM), yang menekankan pada customer satisfaction.
Sehingga, new public
management dapat diumpamakan sebagai aplikasi konsep manajemen bisnis pada
organisasi publik.
Selanjutnya, Pollitt
5 dalam The New Public Management, berpendapat bahwa NPM bercirikan: a) usaha
peningkatan efisiensi secara terus menerus; b) peningkatan penggunaan teknologi
canggih secara terus-menerus; c) peningkatan disiplin pegawai untuk
meningkatkan produktifitas; dan d) implementasi yang jelas terhadap peran
manajemen profesional. Pendekatan ini banyak mengambil prinsip-prinsip dari
Taylor. Tokoh-tokoh New Public Management antara lain: Kooiman (2003), 6
mengatakan bahwa pola hubungan masyarakat, pemerintah, dan swasta merupakan
hubungan yang kompleks, dinamis, dan diverse (beragam).
Perubahan pandangan
terhadap birokrasi terus terjadi ketika muncul Manajemen Pelayanan Masyarakat
(New Public Services), dengan merevisi pengertian dari Reinventing Government
(2005) ala Osborne dan Gaebler, yang mengungkapkan peran masyarakat ketimbang
pemerintah dalam mengelola kebutuhan mereka dalam bermasyarakat.
Reformasi Birokrasi
Konsep Governance menjelaskan hubungan antara pemerintah dan warga negaranya
dalam menyusun kebijakan publik dan program, mengimplementasikan dan kemudian
mengevaluasinya.
Dalam konteks lebih
luas, konsep tersebut merujuk pada pengertian bahwa segala aturan, kelembagaan,
dan jejaring kerja yang menentukan bagaimana suatu negaera atau organisasi
berfungsi8 Sedangkan konsep dynamic governance berangkat dari kebutuhan
perubahan kelembagaan pemerintah untuk mendorong keberdayaan kompetitif dalam
sektor ekonomi dan pembangunan sosial di sebuah negara.
Lembaga
pemerintah tidak lekat dengan apa yang disebut sebagai dinamisme.
Lembaga pemerintah
kebanyakan terdiri dari lembaga-lembaga yang gemar sekali memonopoli dan tidak
suka dengan aturan disiplin mengikat ketika mereka harus memberikan hasil dan
pelayanan jasa, yang kesemuanya semestinya bisa dilakukan tanpa pungutan biaya
atas dasar subsidi pemerintah.
Lebih sulit lagi,
lembaga lembaga
seperti itu biasanya bekerja berdasarkan anggaran yang telah ditetapkan
berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang rentan pengaruh politik.
Lembaga pemerintah
tidak pernah bisa beroperasi seperti perusahaan swasta yang berani mengambil
resiko, merasakan akibat finansial, dari kesalahan pengambilan keputusan.
Singkat kata, lembaga pemerintah tidak pernah merasakan hukuman disiplin atas
perbuatan yang mereka lakukan.
Berdasarkan studi
Porter di Singapura, ia menemukan bagaimana penanaman dasar-dasar nilai budaya
dan kepercayaan akan bisa bekerja sama secara sinergis dengan kemampuan
organisasi kuat untuk menciptkana sistem governance yang dinamis.
Suatu sistem yang
mampu menciptakan perubahan terus menerus. Menurut Porter, budaya suatu lembaga
dapat mendukung ataupun menghambat, memfasilitasi ataupun menghalangi dinamisme
dari pengambilan keputusan dan pelaksanaannya.
Pada akhirnya,
Porter merangkum tiga titik kritis kemampuan Governance atau kemampuan
mengelola tata pemerintahan: 1) thinking ahead—kemampuan untuk menerima
tandaptanda awal dari perubahan arah pembangunan di masa datang; 2) thingking
again—kemampuan dan kemauan untuk berpikir kembali dan membuat kembali
kebijakan yang ada sekarang sehingga dapat bekerja dengan lebih baik; 3)
thinking across—kemampuan dan keterbukaan untuk melintas batas mempelajari
pengalaman dari lainnya sehingga pemikiran-pemikiran 10 Michael Porter, On
Competititon (MA: HBS Press, 1998), Chapter 6 and 7. baru dan konsep lain dapat
diperkenalkan kepada lembaga tempat bekerja11 .
Kaitan antara
reformasi birokrasi dengan dynamic governance terletak pada tulisan Porter
tentang bagaimana kemampuan negara
untuk melakukan perubahan pada arah kebijakan bergantung pada usaha terus
menerus untuk mengembangkan diri dan keinginan tetap untuk belajar, adaptasi
dan inovasi mereka.
Kemampuan ini
tentunya tidak datang begitu saja karena dibutuhkan kemampuan para pelaku di
dalam sektor pemerintah untuk berpikir ke depan dan antisipatis, berpikir
kembali tentang kebijakan yang ada dan berpikir lintas batas untuk mengakomodir
kebijakan yang ada di luar dan bermanfaat untuk diaplikasikan di dalam negeri.
Reformasi birorkasi
tidak diperkenalkan secara eksplisit oleh Porter, namun perubahan sebagai makna
reformasi sendiri sudah menjelaskan bagaimana perubahan tata kelola
pemerintahan tidak akan terlepas dari subyek perubahan sendiri yaitu pelaku
sektor pemerintah atau birokrasi.
Porter menampilkan
kerangka dalam mengelola birokrasi menuju dynamic governance, yaitu kemampuan
berubah sebagai jawaban atas tuntutan yang ada, dan kemampuan untuk
mempertimbangkan dan memilih posisi-posisi dalam kondisi nilai-nilai dan
kepercayaan yang tidak berubah.
Untuk itu, Porter
mengilustrasikan betapa pentingnya birokrasi sebagai kunci menuju dynamic
governance sebagai berikut: Ilustrasi.
“People
as Key to Dynamic Governance 11 Ibid, Porter, hlm. 3-4. Philosophy Policies
Practices Strategic View of Leadership Character of Integrity Principle of
Meritocracy Leadership Retention People Development Talent Selection
Scholarship Recruitment Salary benchmarking, Promotion & recognition, Fixed
term tenure Performance appraisal, Potential assessment, Job posting &
rotation , Milestone courses “
Filosofi
dari manajemen orang atau sumber daya di dalam sektor publik atau birokrasi
berdasarkan keyakinan bahwa: 1) kepentingan strategis dan penempatan peran
penting dari bakat dan kepemimpinan menuju dynamic governance 2) meritokrasi
merupakan dasar dari seleksi, penugasan, promosi dan pemberhentian; dan 3)
rekrutmen paling penting bagi posisi pemimpin adalah mereka harus merupakan
orang-orang yang memiliki integritas dan kejujuran .
Reformasi birokrasi tidak
dapat berjalan tanpa adanya dukungan dari para PNS sebagai penyusun 3,7 juta
angkatan kerja di Indonesia. Oleh karena itu, komitmen pemerintah untuk
mereformasi birokrasi harus terus menerus disertai dengan usaha
mengintegrasikan kebutuhan perubahan di dalam tubuh individu PNS itu sendiri.
Sumber: Kementerian PAN dan RB (2010).
Reformasi
birokrasi di Indonesia (2010-2025) versi Kementerian PAN dan RB sebenarnya
sudah sedikit banyak mengakomodasi pemikiran-pemikiran yang sudah ada
sebelumnya.
Namun
belum pemberlakukan birokrasi sebagai sebuah lembaga belum tentu seberhasil
bila fokus diarahkan pada perubahan pada individu pegawai.
Dari
uraian sebelumnya, kemauan lembaga pemerintah beradaptasi, menerima pelajaran
dari contoh yang baik, memerlukan perubahan di dalam diri para penyusun
birokrasi itu sendiri.
Reformasi
birokrasi tidak dapat berjalan tanpa adanya dukungan dari para PNS sebagai
penyusun 3,7 juta angkatan kerja di Indonesia.
Oleh
karena itu, komitmen pemerintah untuk mereformasi birokrasi harus terus menerus
disertai dengan usaha mengintegrasikan kebutuhan perubahan di dalam tubuh
individu PNS itu sendiri.
Jika Implementasi Reformasi Birokrasi hanya
berdasarkan pada efesiensi dan efektivitas anggaran saja maka hal ini justru
akan membawa kopleksivitas sikon sebuah negara sebab dalam dalam implemtasinya
ada empat (4) pertanyaan besar juga
menyertai era ini, yakni :
1. apakah Indonesia benar-benar telah siap menerapkan REFORMASI BIROKRASI saat
ini ?
2. apakah sudah dipikirkan dampaknya bagi masyarakat yang notabene adalah user
(pengguna) pelayanan publik?
3. apakah pemerintah (kalangan birokrasi) sudah memiliki value, knowlegde,
skill di bidang reformasi birokrasi itu sendiri (termasuk SDM, SDA,
Infrastruktur, Modal (anggaran), Smart Manager, Perangkat IT, controlling dan
Moneva (monitoring dan evaluasi)?”
4. Apakah sudah dilakukan study kelayakan
dan bagaimana hasilnya? ( Indonesia terdiri dari masyarakat yang
heterogen baik dari segi SDM, budaya, adat istiadat, religi, tehnologi yang
belum terdistrusi dengan baik, sebagian masyarakat daerah belum mampu mengakses
sistem sumber informasi)
Pelaksanaan
reformasi birokrasi telah mendapatkan landasan yang kuat melalui penerbitan
Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi
2010-2025.
Selanjutnya,
dalam implementasinya telah ditetapkan landasan operasional dalam bentuk
Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 20 tahun 2010 tentang Road Map Reformasi
Birokrasi 2010-2014.
Kemajuan yang
cukup berarti, dalam tahun 2010 ini, sebanyak 9 kementerian/lembaga telah
melaksanakan reformasi birokrasi instansi (RBI). Dengan demikian, saat ini
sudah terdapat 13 K/L yang melaksanakan RBI.
Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis RBI diharapkan dapat
diselesaikan dan diimplementasikan. Sejalan dengan perluasan reformasi
birokrasi pada instansi pemerintah daerah, maka sosialisasi dan asistensi
kepada pemerintah daerah terus ditingkatkan.
Kualitas pelaksanaan reformasi birokrasi khususnya dampaknya
pada peningkatan kinerja dan pelayanan publik terus diawasi melalui Tim Quality
Assurance.
Pada akhirnya keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi
akan sangat mendukung dalam penciptaan good dovernance karena reformasi
birokrasi merupakan inti dari upaya penciptaan good governance, sehingga akan
dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan meningkatkan investasi di
Indonesia yang berujung pada peningkatan pertumbuhan perekonomian Indonesia
yang membawa implikasi terhadap kesejahteraan rakyat.
Dan ujung tombak bagi keberhasilan pelaksanaan birokrasi sebenarnya dimulai dari Integritas, Kinerja, SDM dan Moralitas para pejabat itu sendiri.
Sekali lagi bahwa kunci keberhasilan Reformasi Birokrasi justru terletak pada komitmen para pejabat dalam mengimplementasikan pelaksanaan reformasi birokrasi.
Referensi:
Dan ujung tombak bagi keberhasilan pelaksanaan birokrasi sebenarnya dimulai dari Integritas, Kinerja, SDM dan Moralitas para pejabat itu sendiri.
Sekali lagi bahwa kunci keberhasilan Reformasi Birokrasi justru terletak pada komitmen para pejabat dalam mengimplementasikan pelaksanaan reformasi birokrasi.
Referensi:
1.
Kementrian
Pendayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, www.menpan.go.id/reformasi-birokrasi/makna dan tujuan.
2.
Sosialisai
Kebijakan Reformasi Birokrasi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, 2016. Jawa
Tengah.
4.
Reformasi.net/reformasi
“Reformasi Birokrasi-Pemerintah
7. blog.sivitas.lipi.go.id/blog.cgiisiblog&1253275195&&am&1036006290/Apa
itu reformasi birokrasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar