Pemberdayaan (empowerment) mempunyai beberapa pengertian.
Menurut Merriam Webster dan Oxford English Dictionary kata empower
mengandung dua
arti. Pertama adalah pengertian to give ability or to enable, yaitu
memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas pada fihak
lain. Sedangkan dalam pengertian kedua diartikan sebagai upaya memberi kemampuan dan
keberdayaan. Memberi daya dimana daya ini dimaksimalkan sebagai daya hidup
mandiri.
Konsep empowerment
telah mengubah konsep pembangunan dan sekaligus strategi bagaimana mengentaskan
kemiskinan khususnya di pedesaan. Perubahan ini sering disebut orang sebagai
perubahan paradigma atau serangkaian perubahan mulai dari tataran konsep,
teori, nilai-nilai, metodologi sampai ke tataran pelaksanaannya.
Pemberdayaan
menjadi konsep kunci untuk menanggapi kegagalan pelaksanaan pembangunan selama
ini. Sejak dicanangkan konsep pembangunan pada akhir masa perang dunia kedua,
ternyata pembangunan membuat orang semakin miskin atau jumlah orang miskin
semakin banyak, dan gagasan modernisasi tidak mampu meneteskan hasil-hasil
pembangunan kepada kelompok masyarakat termiskin.
Dalam profesi
pekerjaan sosial pendekatan pemberdayaan merupakan salah satu pendekatan dalam
menangani masalah kemiskinan. Pemberdayaan ini lebih ditonjolkan karena didalamnya
terkandung dua aspek yakni (1) penentuan nasib sendiri dimana si miskin bebas
menentukan solusi pemecahan masalahnya, (2) pekerja sosial hanya menjadi
fasilitator sedangkan pelakunya tetap masyarakat. Hal ini sesuai dengan prinsip
pekerjaan sosial yang bekerja dengan kelayan (work with client) bukan
untuk kelayan (work for client).
Dalam konteks ini, keterberdayaan dapat
mencakup : (1). Perubahan sikap; masyarakat miskin didorong, dibimbing dan
dibantu ke arah perilaku prososial yang normatif, (2). Peningkatan partisipasi
sosial; Masyarakat yang merupakan sasaran kebijakan kesempatan turut
berpartisipasi, bukan saja dalam hal mengambil keputusan-keputusan khusus,
tetapi juga dalam hal merumuskan definisi situasi yang merupakan dasar dalam
pengambilan keputusan. Sehingga arah pembangunan menjadi berpihak pada
masyarakat khususnya masyarakat miskin, (3). Solidaritas sosial; pemberdayaan
sosial mampu menciptakan suatu kondisi atau keadaan hubungan antara
individu/kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang
dianut bersama serta diperkuat oleh pengalaman emosional bersama, (4). Peningkatan
kondisi ekonomi warga masyarakat; melalui pemberdayaan sosial diharapkan
terjadi peningkatan kondisi ekonomi dan peningkatan pendapatan warga, khususnya
warga miskin, (5). Peningkatan pelaksanaan fungsi-fungsi keluarga miskin; Lembaga
keluarga miskin adalah juga sasaran pokok dalam pengentasan kemiskinan yang
tujuannya untuk mengembalikan fungsi keluarga yang diharapkan, dimana fungsi
ini semakin memudar seiring dengan ketidakmampuan menampilkan fungsi sosial
warga miskin, dan (6). Perubahan orientasi nilai budaya.
Pemberdayaan sebagai strategi pengentasan kemiskinan harus
menjadi proses multidimensi yang memobilisasi sumberdaya dan kapasitas masyasrakat. Dalam hal ini, pemberdayaan tidak lagi menjadi sesuatu
yang teoritis melainkan menjadi alat untuk memutar-balikkan proses pemiskinan. Tekanan terbesar dalam proses pembedayaan dalam pembangunan berkelanjutan
dan
pengetasan kemiskinan adalah pemberdayaan sosio-ekonomi, pemberdayaan politik,
pemberdayaan pendidikan, pemberdayaan teknologi dan pemberdayan kebudayaan atau
spiritual.
Dalam
konteks pekerjaan sosial dengan kemiskinan. Profesi pekerjaan sosial dituntut
terlibat dalam penanganan masalah kemiskinan. Kemiskinan dipandang sebagai
ketidakmampuan dalam melaksanakan fungsi sosial. Dalam proses pertolongannya, pekerjaan sosial berpijak
pada nilai, pengetahuan dan keterampilan profesional yang mengedepankan prinsip
keberfungsian sosial (social functioning)
(Siporin, 1975; Zastrow, 1982; 1989; Morales, 1989; Suharto, 1997). Konsep
keberfungsian sosial pada intinya menunjuk pada “kapabilitas” (capabilities) individu, keluarga atau
masyarakat dalam menjalankan peran-peran sosial di lingkungannya. Konsepsi ini
mengedepankan nilai bahwa klien/kelompok sasaran adalah subyek pembangunan;
bahwa klien/kelompok sasaran memiliki kapabilitas dan potensi yang dapat
dikembangkan dalam proses pertolongan, bahwa klien/kelompok sasaran memiliki dan/atau dapat menjangkau,
memanfaatkan, dan memobilisasi asset dan sumber-sumber yang ada di sekitar
dirinya.
Secara konseptual pekerjaan sosial memandang bahwa kemiskinan merupakan
persoalan-persoalan multidimensional, yang bermatra ekonomi-sosial dan
individual-struktural. Berdasarkan perspektif ini, ada tiga kategori kemiskinan
yang menjadi pusat perhatian pekerjaan sosial, yaitu:
a. Kelompok yang paling miskin (destitute) atau yang sering didefinisikan sebagai fakir miskin.
Kelompok ini secara absolut memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan
(umumnya tidak memiliki sumber pendapatan sama sekali) serta tidak memiliki
akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
b. Kelompok miskin (poor).
Kelompok ini memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan namun secara relatif
memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar (misalnya, masih memiliki
sumber-sumber finansial, memiliki pendidikan dasar atau tidak buta hurup,).
c. Kelompok rentan (vulnerable
group). Kelompok ini dapat dikategorikan bebas dari kemiskinan, karena
memiliki kehidupan yang relatif lebih baik ketimbang kelompok destitute maupun
miskin. Namun sebenarnya kelompok yang sering disebut “near poor” (agak miskin)
ini masih rentan terhadap berbagai perubahan sosial di sekitarnya. Mereka
seringkali berpindah dari status “rentan” menjadi “miskin” dan bahkan
“destitute” bila terjadi krisis ekonomi dan tidak mendapat pertolongan sosial.
Secara tegas, memang
sulit mengkategorikan bahwa sasaran garapan pekerjaan sosial adalah salah satu kelompok dari ketiga kelompok
di atas. Pekerjaan sosial melihat bahwa kelompok sasaran dalam menangani
kemiskinan harus mencakup tiga kelompok miskin secara simultan.
Sesuai dengan konsepsi mengenai keberfungsian sosial, strategi
penanganan kemiskinan pekerjaan sosial terfokus pada peningkatan kemampuan
orang miskin dalam menjalankan tugas-tugas kehidupan sesuai dengan statusnya.
Karena tugas-tugas kehidupan dan status merupakan konsepsi yang dinamis dan
multi-wajah, maka intervensi pekerjaan sosial senantiasa melihat sasaran
perubahan (orang miskin) tidak terpisah dari lingkungan dan situasi yang
dihadapinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar