Suparlan (1984) mengemukakan bahwa masalah kemiskinan di perkotaan merupakan masalah laten dan kompleks yang implikasi sosial dan kebudayaannya bukan hanya melibatkan dan mewujudkan berbagai masalah sosial yang ada di kota yang bersangkutan saja atau menjadi masalah orang miskin di kota tersebut, tetapi juga melibatkan masalah-masalah sosial yang ada di pedesaan. Kemiskinan kota sebagai bagian dari kemiskinan “nasional” di Indonesia juga menjadi masalah yang cukup “akut” untuk ditangani.
Sebagai warisan dan historis yang sudah
berabad-abad, sejak munculnya kota itu sendiri, kaum papa perkotaan menjadi
sebuah fenomena masalah sosial yang memprihatinkan, dengan tingkat
penanggulangan yang lebih memprihatinkan, seolah-olah kemiskinan itu sendiri
bersifat abadi, lestari dan tidak bisa dirubah lewat aksi maupun reformasi
apapun. Kota-kota di Indonesia yang sekilas kelihatan sebagai symbol kemajuan
dan budaya yang lebih maju, dan seharusnya demikian, ternyata masih dipenuhi
oleh problem kemiskinan dengan segala masalah sosial yang disebabkan atau
berdampingan dengan masalah sosial lainnya. Pelacuran, pencurian, pemabukan,
pengangguran merupakan beberapa contoh yang menimbulkan berbagai bahaya sosial
dan krisis sosial yang lebih besar seperti kerusuhan, pembunuhan, perkelahian
dan konflik. Kemiskinan telah menjadi bahan bakar sekaligus sumbu pemicu
munculnya masalah sosial lainnya.
Berbagai program penanggulangan kemiskinan juga
bersifat topdown, temporal (jangka pendek) dan sporadis dan sekedar
menghilangkan puncak “gunung es” kemiskinan. Rendahnya keterlibatan masyarakat
miskin dalam program tersebut, karena program itu disusun dengan asumsi bahwa orang miskin tidak mampu
menolong diri sendiri dan tidak memiliki potensi untuk menolong diri sendiri,
menyebabkan keefektifan program ini masih kecil. Pengetahuan tentang potensi
dan kemampuan/daya orang miskin dalam menolong diri sendiri masih sangat
terbatas.
Data-data statistik makro yang digunakan
“birokrat” belum mampu mengungkap dan memahami sepenuhnya fenomena kemiskinan perkotaan. Data-data itu sulit
mengungkap sumber pokok dan penyebab lain fenomena kemiskinan, sehingga
penanggulangan kemiskinan kota belum efektif dan senantiasa menimbulkan bias,
khususnya di level meso dan mikro. Pemahaman tentang profil komunitas miskin
dari segi internal dan eksternal, mutlak diperlukan sebagai acuan
penanggulangan kemiskinan tidak hanya dalam jangka pendek, namun juga dalam
jangka menengah dan panjang. Kajian dan analisis berbagai aspek dan dimensi
kemiskinan dan penyebabnya diperlukan untuk mendudukkan permasalahan kemiskinan
secara obyektif dan fair, agar semua pihak yang terlibat dalam poemecahan masalah sosial
ini bisa merubah pola pikir, nilai-nilai, sikap dan perilaku ke arah lebih
profesional dan efektif.
Faktor Internal Penyebab Kemiskinan Perkotaan sebagai
berikut :
Item
Internal
|
Penjelasan
|
Keterbatasan
Karakter
|
Kurang etos
kerja: malas, fatalistik, takut menghadapi masa depan, kurang daya juang.
Kurang
kepedulian terhadap norma-norma susila:
suburnya
perilaku menyimpang (pelacuran,
perceraian,
kumpul kebo, minuman keras dan obat
terlarang,
pencurian, anak-anak terlantar,
pengemis,
pengamen, pencopet, keterasingan,
kekerasan,
ketidaksantunan, penodongan)
|
Keterbatasan
Pendidikan /
Pengetahuan
|
1. Tidak memiliki / tidak terjangkau biaya untuk menempuh pendidikan
2. Tidak memikirkan pendidikan anak-anaknya
3. Sebagian masih buta huruf
4. Tidak mampu membiayai pendidikan anak-anaknya
Learning
process sangat
terbatas untuk merubah
perilakunya
karena perilaku yang lebih produktif,
lebih normatif
bersumber dari learning process,
berada dalam
lingkungan dimana learning process
tidak kondusif
|
Keterbatasan
Harta Benda / Ekonomi
|
Tidak
memiliki/minim aset, kurangnya lapangan kerja, ekonomi informal (jalanan,
tidka diakui, tanpa fasilitas apa-apa), buruh kasar-upah rendah, tidak punya
modal untuk memulai usaha, jaringan kredit yang tidak mudah, tidak mampu
mengisi sector kerja yang lebih formal, exchange properties yang
rendah, pekerjaan, tidak tetap, pengangguran, kerja berbau kriminal
|
Keterbatasan
Kesehatan
|
Pangan yang
tidak memenuhi kebutuhan fisik (bahkan sering kelaparan); Rumah yang tidak
layak (multiguna, tempat kerja, untuk tempat jualan, menumpuk dan
memilah-milah barang bekas, kerajinan dan berbagai kegiatan ekonomi sektor
informal
lainnya; lingkungan perumahan yang tidak sehat (kumuh), MCK yang tidak
layak/pinggir kali, listrik yang terbatas, air bersih terbatas; lemahnya
ketahanan fisik karena rendahnya konsumsi pangan baik kuantitas maupun
kualitas sehingga konsumsi gizi mereka sangat rendah yang berakibat pada
rendahnya produktivitas mereka; bila sakit tak mampu berobat, bahkan anak
sering sakit karena mengkonsumsi air yang tidak bersih
|
Keterbatasan
Ketrampilan
|
Rendahnya learning
process karena tidak memiliki biaya untuk mengikuti sekolah, kursus, atau
pelatihan yang menambah ketrampilan mereka
|
Keterbatasan
Kasih Sayang
|
Kurangnya
masyarakat terhadap keberadaannya akibat budaya materialistik
|
Keterbatasan
Keadilan
|
Menjadi korban
ketidak adilan oleh dirinya sendiri, oleh orang kelompoknya, kelompok kaya,
maupun oleh pemerintah. Karena sifatnya yang menjadi masalah/beban dan tidak
produktif maka tidak memiliki daya tarik. Daya tarik oleh perusahaan dengan
gaji rendah
|
Keterbatasan
Penghargaan
|
Tersingkirkan
dari institusi masyarakat atau bahkan
pemerintah.
Hanya sering dipolitisasi tapi jarang direalisasi perbaikan nasibnya
|
Keterbatasan
Kekuasaan
|
1. Suaranya jarang didengar baik secara kelompok apalagi secara individu;
2. Tidka cukup kekuatan tawar menawar/tidak berdaya untuk memperjuangkan
nasibnya/tidak memiliki akses ke proses pengambilan keputusan yang menyangkut
hidup mereka.
3. Jarang menang dalam bernegosiasi ekonomi
|
Keterbatasan
Keamanan
|
Keterbatasan
keamanan, Lokasi usaha ditertibkan Tibum; tinggal di tanah negara; lingkungan
masalah-masalah sosial lain
|
Keterbatasan
Kebebasan
|
Terhimpit
persoalan hidup sehari-hari untuk mencari makan, terhimpit hutang, tempat
tinggal di tanah negara, li gkungan kumuh yang tidak sehat
|
Faktor Eksternal Penyebab Kemiskinan Perkotaan sebagai
berikut :
Item
Internal
|
Penjelasan
|
1.
Strategi pertumbuhan
ekonomi, pemihakan terhadap sektor swasta besar, pengabaian sector UKM/Usaha
Kecil Menengah dan sektor informal
2.
Penyelenggaraan fungsi
birokrasi, rendahnya pelayanan publik
|
1.
Sektor swasta besar
diharapkan mampu menyerap tenaga kerja, membayar pajak dan membayar upeti
kepada keluarga penguasa
2.
Perilaku KKN dan monopoli,
sentralistik patrimonial, hidup mewah dan bisnis monopoli, birokrasi
diperalat untuk kepentingan kelompok kecil penguasa dan pengusaha
3.
Strategi pembangunan yang
tidak merata, tidak memperhitungkan aspek pemadatan penduduk, asal-asalan
yang penting bisa memberikan uang pelicin ijin industri atau usaha lainnya
|
1.
Tenaga kerja yang diperlukan
harus memiliki kualifikasi tertentu, sehingga kaum papa yang biasanya tidak
memiliki ketrampilan tidak bisa memenuhi
2.
Kurangnya kemitraan dengan
usaha kecil, menengah dan sector informal kurangnya rekognisi terhadap kaum
miskin yang menghambat kesetiakawanan sosial
|
1.
Bidang kerja (industri dan
jasa) yang diperlukan biasanya jauh berbeda dengan asal kaum urban (mayoritas
petani atau buruh tani)
2.
Kemitraan dengan kaum papa
berarti tidak efisien, tidak trampil dan tidak menguntungkan secara bisnis
3.
Sikap kaum kaya yang
eksklusif, dan merasa tergantung pada kaum papa, karena jumlahnya yang banyak
dan bisa ” dihargai” dengan murah
|
Dapat
disimpulkan bahwa:
- Masalah kemiskinan perkotaan merupakan bagian dari kemiskinan bangsa, bersumber dari dalam kaum papa sendiri, dan terutama dampak pembangunan topdown yang belum memihak sepenuhnya kepada rakyat banyak.
- Sumberdaya yang dialokasikan untuk mengentaskan kemiskinan perkotaan selama ini masih terlihat belum signifikan disertai komitmen yang tidak sungguh-sungguh (lipservice).
- Peningkatan good governance merupakan kunci penanggulangan kemiskinan perkotaan.
- Learning process bagi kaum papa perkotaan dan bagi pemerintah yang terkait dengan penanggulangan kemiskinan, memang merupakan hal berat yang harus dijalankan, namun demikian hal itu tidak terasa berat jika kita sebagai bangsa segera bertekad meninggalkan kemiskinan yang telah berubah menjadi kehinaan seperti sekarang ini.
Sumber :
- Sutandyo, 2005, Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial "Ketika Pembangunan Tak berpihak Kepada Rakyat Miskin, Airlangga University Press, Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar