Beraneka ragam teori telah
berupaya mencari penjelasan mengapa terjadi proses pemiskinan. Secara garis
besar, kemiskinan dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu kemiskinan struktural
dan kemiskinan alamiah (Nasution, 1996).
Kemiskinan struktural sering disebut
sebagai kemiskinan buatan (man made poverty). Baik langsung maupun tidak
langsung kemiskinan kategori ini umumnya disebabkan oleh tatanan kelembagaan
yang mencakup tidak hanya tatanan organisasi tetapi juga mencakup masalah
aturan permainan yang diterapkan.
Sedangkan kemiskinan alamiah
lebih banyak disebabkan oleh rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan
sumberdaya alam. Pada kondisi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam
lemah/terbatas, peluang produksi relatif kecil atau tingkat efisiensi
produksinya relatif rendah.
Beranjak dari kedua tipe
kemiskinan itu, berbagai teori telah dikembangkan dalam upaya untuk memahami
aspek-aspek yang menentukan terjadinya kemiskinan secara lebih mendalam.
Keanekaragaman teori yang telah dikembangkan itu menggambarkan adanya perbedaan
sudut pandang diantara pemerhati masalah kemiskinan.
Secara umum teori-teori
yang menjelaskan mengapa terjadi kemiskinan, dapat dibedakan menjadi teori yang
berbasis pada pendekatan ekonomi dan teori yang berbasis pada pendekatan sosio
-antropologi, khususnya tentang budaya masyarakat.
Teori yang berbasis pada
teori ekonomi antara lain melihat kemiskinan sebagai akibat dari kesenjangan
kepemilikan faktor produksi, kegagalan kepemilikan, kebijakan yang bias ke
perkotaan, perbedaan kualitas sumberdaya manusia, serta rendahnya pembentukan
modal masyarakat atau rendahnya perangsang untuk penanaman modal. Disisi lain,
pendekatan sosio –antropologis menekankan adanya pengaruh budaya yang cenderung
melanggengkan kemiskinan (kemiskinan kultural).Di sisi lain terdapat
pandangan proses pemiskinan sebagai akibat kebijakan yang bias perkotaan.
Lipton dan Vyas (1981) mengajukan konsep ‘urban bias’ dalam menjelaskan mengapa
terjadi kemiskinan di negara sedang berkembang. Menurut Lipton dan Vyas:
“Small, interlocking urban elites – comprising mainly businessmen, politicians,
bureaucrats, trade-union leaders and supporting staff of professionals,
academics and intelectuals – can in a modern state substantially control the
distribution of resources”. Bias perkotaan ini dipercaya oleh Lipton, karena
menurutnya memang terdapat antagonisme antara penduduk perdesaan dan perkotaan,
dimana yang pertama ditandai dengan kemiskinan.
Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan jika pembangunan yang hanya diarahkan ke perkotaan akan
mengakibatkan semakin memburuknya kehidupan penduduk miskin di perdesaan. Untuk
mengatasi kecenderungan yang negatif seperti itu, Lipton berpendapat bahwa negara
sedang berkembang seharusnya mengarahkan kegiatan investasinya ke sumberdaya
utama yang mereka miliki – yakni pertanian yang padat karya (labour intensive).
Dalam rangka dukungannya untuk mengurangi bias perkotaan, Lipton dan Vyas
berpendapat bahwa sektor perdesaan
adalah “pengguna investasi terbatas” yang lebih responsif dari pada sector
perkotaan. Sejauh ini gagasan Lipton tersebut telah mendapat banyak kritik
namun juga dukungan di kalangan pemerhati masalah ekonomi pembangunan.
Sumber :
Chambers, Robert, Alih bahasa M.Dawam Rahardjo "Pembangunan Desa"Mulai dari Belakang", LP#ES
Tidak ada komentar:
Posting Komentar