Pertanyaannya adalah “apakah kota-kota akan mampu memberikan pelayanan yang layak bagi penduduknya?” Urbanisasi tidak selalu berarti negatif (Talen 2005) karena jika dilihat dari sisi ekonomi, kota-kota selalu memberikan kontribusi yang besar pada pertumbuhan ekonomi negara.
Akan tetapi, kenyataan dalam penyediaan
pelayanan yang memadai bagi penduduk perkotaan yang besar adalah persoalan yang
berat, walaupun secara statistik tetap terlihat bahwa proporsi penduduk kota
mendapatkan pelayanan lebih besar daripada penduduk perdesaan. Persoalan- persoalan sektoral lain seperti
kemacetan lalu lintas dan kurangnya fasilitas angkutan publik merupakan keadaan
yang sering dihadapi oleh kota-kota besar. Infrastruktur dasar seperti air
bersih, sistem sanitasi dan telekomunikasi menjadi persoalan sektoral lain yang
dihadapi oleh kota-kota di Indonesia.
Pertambahan penduduk yang besar tanpa
pertambahan dana investasi pada infrastruktur bagaikan “pasak lebih besar dari
tiang” yang berarti dalam beberapa tahun ke depan, jika tidak ada perbaikan
investasi, yang terjadi adalah kekacauan. Dalam hal investasi ini, Indonesia
termasuk negara yang tertinggal. Indonesia hanya memberikan investasi sebesar 4
persen dari PDB untuk infrastruktur yang sangat tertinggal jika dibandingkan
dengan Negara lain. Persoalan yang sama dihadapi perkotaan di Indonesia dalam
sektor perumahan, transportasi, penyediaan ruang terbuka hijau (RTH), dan
persampahan.
RTH di sebagian besar kota-kota di Indonesia,
sangat tidak memadai baik kuantitas (besarannya) maupun kualitas, dalam arti
fungsi RTH sebagai pembentuk iklim mikro perkotaan tidak dapat tercapai.
Persampahan dalam beberapa tahun terakhir ini telah menjadi permasalahan besar
bagi beberapa kota di Indonesia. Jakarta mengalami masalah dengan pembuangan
akhir di Bantar Gebang; Bandung mengalami persoalan pembuangan sampah yang
sangat rumit pada tahun 2006, sehingga mengubah julukan Bandung menjadi
“Bandung kota sampah”.
a. Masyarakat Perkotaan
Komunitas
atau masyarakat perkotaan sering diidentikan dengan masyarakat modern (maju),
dan tidak jarang pula dipertentangkan dengan masyarakat pedesaan, yang akrab
pula dengan predikat masyarakat tradisonal manakala dilihat dari aspek
kulturnya. Spesifikasi masyarakat kota atau masyarakat maju itu antara lain
sebgai berikut, (1) hubungan antar anggota masyarakat nyaris bertumpu pada
pertimbangan untuk kepentingan masing-masing pribadi warga kota tersebut, (2)
hubungan dengan masyarakat perkotaan lainnya berlangsung secara terbuka dan
saling berinteraksi, (3) mereka warga kota yakin bahwa iptek memiliki manfaat
yang signifikan dalam meningkatkan kualitas kehidupan, (4) masyarakat kota
berdeferensiasi atas dasar perbedaan profesi dan keahlian sebagai fungsi pendidikan
dan pelatihan, (5) tingkat pendidikan masyarakat kota relatif lebih tinggi bila
dibandingkan dengan masyarakat pedesaan, (6) aturan-aturan atau hukum yang
berlaku dalam masyarakat perkotaan lebih berorientasi pada aturan atau hukum
formal yang bersifat kompleks, (7) tatanan ekonomi yang berlangsung dalam
masyarakat perkotaan umumnya ekonomi-pasar yang berorientasi pada nilai uang,
persaingan, dan nilai-nilai inovatif lainnya. Spesifikasi tadi berlaku dalam
skala kelompok atau masyarakat.
Adapun
spesifikasi berskala individu sebagai warga masyarakat kota, antara lain
sebagai berikut, (1) senantiasa menerima perubahan setelah memahami adanya
kelemahan-kelemahan kondisi yang rutin, (2) peka terhadap masalah dan menyadari
bahwa masalah tersebut tidak terlepas dari keberadaan dirinya, (3) terbuka bagi
pengalaman-pengalaman baru (inovasi) disertai sikap yang tidak apriori atau
prasangka, (4) setiap pendiriannya selalu dilengkapi dengan informasi yang
akurat, (5) orientasi pada waktu yang bertumpu pada logika bahwa waktu lampau
adalah pengalaman, waktu sekarang adalah fakta, dan waktu mendatang adalah
harapan yang mesti diperjuangkan, (6) ia sangat memahami akan potensi dirinya,
dan potensi itu ia yakin dapat dikembangkan, (7) ia senantiasa ingin terlibat dan
peka terhadap suatu perencanaan, (8) ia selalu menghindar dari situasi yang
fatalistik dan tidak mudah menyerah pada keadaan atau nasib, (9) ia meyakini
akan manfaat iptek dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan manusia, (10) ia
memahami, menyadari, dan menghormati akan hak-hak, kewajiban, dan kehormatan
pihak lain.
Spesifikasi
masyarakat dan individu di daerah perkotaan, tidaklah mudah diperoleh dan
dimiliki oleh masyarakat dan individu yang bersangkutan. Tidak bisa dipungkiri,
bahwa fungsi pendidikan, pelatihan, pengidentifikasian, dan pengadaptasian
nilai-nilai kehidupan yang maju, yang telah menjadi bagian integral dalam
masyarakat perkotaan. Ada beberapa kendala yang mengganggu usaha pengembangan
manusia yang maju, antara lain, (1) kekurangmampuan diri dalam membaca dan
memahami peran-peran fihak lain, atau populer disebut empati, dan rendahnya
tingkat aspirasi dan kegairahan untuk melihat masa depan. (2) ketidakmampuan
untuk menunda kepuasan atau keinginan yang berlebih akan sesuatu kebutuhan, (3)
langkanya daya kreasi dan inovasi.
Individu
dan masyarakat perkotaan memiliki lebih banyak peluang untuk berperan sebagai
pembawa proses pembaruan, dimana dalam proses pembaruan tersebut akan sarat
dengan upaya pemecahan sejumlah masalah yang berkembang.
Dalam kaitan dengan perkara tadi, Nichoff (Pudjiwati Sajogyo, 1985) menampilkan sejumlah kiat sebagai acuan bagi para pelaku atau aktor pembaruan atau pembangunan. Kiat-kiat yang dimaksud antara lain, (1) kemampuan berkomunikasi secara ajeg, baik dalam menghadapi massa atau publik, maupun dalam tatap muka secara personal, atau apa yang telah populer disebut face to face, (2) kemampuan melakukan antisipasi dalam masyarakat lewat keterampilan beradaptasi dengan memanfaatkan fungsi bahasa, gagasan (ide), peralatan (sistem teknologi), dan potensi-potensi lain yang relevan dengan tuntutan atau masalah yang tengah berkembang, (3) kemampuan untuk mendemonstrasikan gagasan dan teknologi baru sehingga meyakinkan pihak lain untuk menerima pembaruan tersebut, (4) mendorong pihak lain untuk berpartisipasi dan bersaing dalam mencobakan dan melanjutkan gagasan-gagasan baru tersebut, (5) mengupayakan agar menerima unsur-unsur baru, (6) kemampuan memanfaatkan atau memanipulasi sejumlah potensi lingkungan setempat yang relevan dengan tuntutan pembaruan, (7) kejelian dalam memilih waktu dan menggunakan kesempatan yang tepat dalam memperkenalkan atau mensosialisasikan pembaruan tersebut, (8) cukup fleksibel dalam memiliki unsur-unsur baru dengan mempertimbangkan faktor-faktor kesulitan yang ada pada saat itu, (9) kemampuan untuk memelihara kontinyuitas pemeliharaan dan pengembangan unsur-unsur baru yang telah diterima oleh fihak lain.
Dalam kaitan dengan perkara tadi, Nichoff (Pudjiwati Sajogyo, 1985) menampilkan sejumlah kiat sebagai acuan bagi para pelaku atau aktor pembaruan atau pembangunan. Kiat-kiat yang dimaksud antara lain, (1) kemampuan berkomunikasi secara ajeg, baik dalam menghadapi massa atau publik, maupun dalam tatap muka secara personal, atau apa yang telah populer disebut face to face, (2) kemampuan melakukan antisipasi dalam masyarakat lewat keterampilan beradaptasi dengan memanfaatkan fungsi bahasa, gagasan (ide), peralatan (sistem teknologi), dan potensi-potensi lain yang relevan dengan tuntutan atau masalah yang tengah berkembang, (3) kemampuan untuk mendemonstrasikan gagasan dan teknologi baru sehingga meyakinkan pihak lain untuk menerima pembaruan tersebut, (4) mendorong pihak lain untuk berpartisipasi dan bersaing dalam mencobakan dan melanjutkan gagasan-gagasan baru tersebut, (5) mengupayakan agar menerima unsur-unsur baru, (6) kemampuan memanfaatkan atau memanipulasi sejumlah potensi lingkungan setempat yang relevan dengan tuntutan pembaruan, (7) kejelian dalam memilih waktu dan menggunakan kesempatan yang tepat dalam memperkenalkan atau mensosialisasikan pembaruan tersebut, (8) cukup fleksibel dalam memiliki unsur-unsur baru dengan mempertimbangkan faktor-faktor kesulitan yang ada pada saat itu, (9) kemampuan untuk memelihara kontinyuitas pemeliharaan dan pengembangan unsur-unsur baru yang telah diterima oleh fihak lain.
Semua
spesifikasi dan kemampuan tadi lebih banyak bertumpu pada para pelaku, pemeran,
atau aktor pembaruan, atau pelaku perubahan yang sering secara poluler disebut
dengan agent of change. Bagaimana halnya dengan spesifikasi dan persyaratan
yang mesti ada, siap, atau dimiliki oleh pihak penerima pembaruan atau
perubahan tadi? spesifikasi yang ada pada penerima pembaruan atau pembangunan
antara lain sebagai berikut ini. Pertama,
adanya motivasi untuk timbulnya rasa membutukan dan memiliki pemahaman akan
manfaat serta nilai praktis dari unsur-unsur baru tersebut. Kedua, sifat kepemimpinan, baik dalam kelembagaan
struktural (negara, birokrat) maupun kelompok sosial. Ketiga, struktur sosial, baik dalam peran-peran individual maupun
dalam status dalam rentang hubungan hirarkis, dan bentuk-bentuk hubungan sosial
lainnya. Keempat, pengelompokkan
individu, baik atas dasar subkultur (kelompok etnik) maupun atas dasar politis,
apakah itu berskala kelompok birokrat lokal, regional, ataupun nasional.
Kelima, pola perekonomian yang meliputi sistem produksi, distribusi, konsumsi,
deferensiasi kerja dan alokasi waktu, serta nilai pemilikan tanah (lahan) dan
nilai kebendaan lainnya. Keenam, kepercayaan masyarakat yang meliputi sistem
agama, mistis, dan persepsi yang berkaitan dengan kesehatan, kebersihan
lingkungan, dan persepsi tentang keadaan yang memerlukan perubahan.
Apa
sebenarnya orientasi-orientasi itu ?, (1) meninggalkan unsur-unsur kehidupan
sosial yang memang mesti ditinggalkan atau ditambah, (2) mengadopsi dan
mengadaptasi unsur-unsur baru, (3) selain menyerap unsur-unsur modern, suatu
masyarakat atau bangsa tidak luput juga perhatian untuk menyelusuri dan
menggali serta menemukan nilai-nilai kepribadian atau jatidiri sebagai bangsa
yang bermartabat.
Dalam
suatu perubahan mesti ada sejumlah faktor kekuatan penggerak proses perubahan
tersebut, antara lain sebagai contoh adalah, (1) suatu sikap mental yang mampu
menghargai karya dan prestasi orang lain, (2) kemampuan untuk siap menaruh
toleransi terhadap adanya sejumlah penyimpangan dari kondisi rutin dan semua
itu dijadikan penguat untuk hasrat berubah, sebab memang pada dasarnya manusia
itu sebagai mahluk yang suka menyimpang dari kondisi rutinitas, yaitu sebagai
homo-deviant dan sekaligus sebagai mahluk pengabdi atau homo-devinant, (3)
menghargai pada suatu inovasi dan mampu memberikan penghargaan pada siapapun
yang berinovasi, baik pada bidang sosial, ekonomi, dan iptek, (4) tersedianya
fasilitas dan pelayanan pendidikan dan pelatihan yang berkualifikasi progresif,
demokratis, dan terbuka bagi siapapun yang mengaksesnya.
Posisi
norma-norma tradisional dalam arena proses perubahan atau modernisasi, adalah
sebagai berikut, (1) sebagai penghambat proses modernisasi, (2) ada yang
berpotensi untuk dikembangkan, disempurnakan, dimodifikasi sehingga kondusif
dalam menghadapi proses perubahan, (3) ada pula yang memang relevan dengan
unsur-unsur baru yang menjadi muatan arus perubahan atau modernisasi.
Masyarakat
kota, atau urban community, sering menyandang predikat sebagai inovator, dan
spesifikasi dari masyarakat ini antara lain, (1) dalam bentuk hubungan sosial apapun,
orientasi kepentingan pribadi lebih dominan, (2) hubungan dengan masyarakat
luar, atau lain terbuka, baik secara teritorial maupun secara kultural, (3)
mereka yakin bahwa iptek bermanfaat secara signifikan dalam upaya meningkatkan
kualitas kehidupan, (4) mereka berdeferensiasi atas dasar profesi dan keahlian
sebagai fungsi pendidikan dan pelatihan, (5) aturan-aturan yang berlaku
berorientasi pada aturan atau hukum yang formal dan bersifat kompleks, (6)
tatan ekonomi bertumpu pada ekonomi pasar dengan orientasi pada nilai-nilai
uang, persaingan, dan nilai-nilai inovatif lainnya.
Spesifikasi
ini berlaku untuk skala kelompok atau masyarakat.
Perubahan cepat dalam teknologi informasi telah merubah budaya sebagian besar masyarakat dunia, terutama yang tinggal di perkotaan. Masyarakat di seluruh dunia telah mampu melakukan transaksi ekonomi dan memperoleh informasi dalam waktu singkat berkat teknologi satelit dan komputer. Pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar mampu memperoleh kekuasaan melalui kekuatan militer dan pengaruh ekonomi. Bahkan perusahaan transnasional mampu menghasilkan budaya global melalui pasar komersil global.
Perubahan cepat dalam teknologi informasi telah merubah budaya sebagian besar masyarakat dunia, terutama yang tinggal di perkotaan. Masyarakat di seluruh dunia telah mampu melakukan transaksi ekonomi dan memperoleh informasi dalam waktu singkat berkat teknologi satelit dan komputer. Pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar mampu memperoleh kekuasaan melalui kekuatan militer dan pengaruh ekonomi. Bahkan perusahaan transnasional mampu menghasilkan budaya global melalui pasar komersil global.
Perubahan
budaya lokal dan sosial akibat revolusi informasi ini tidak dapat dielakkan.
Masyarakat perkotaan yang memiliki akses terhadap informasi merupakan kelompok
masyarakat yang langsung terkena pengaruh budaya global. Akses informasi dapat
diperoleh melalui media massa cetak maupun elektronik, internet, dan telepon.
Masyarakat perkotaan dipengaruhi terutama melalui reproduksi ’meme’ yang
dilakukan oleh media massa (Chaney, 1996).
Dalam
konteks Indonesia, masyarakat konsumen Indonesia mutakhir tumbuh beriringan
dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi yang
ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan bergaya seperti shopping mall,
industri waktu luang, industri mode atau fashion, industri kecantikan, industri
kuliner, industri nasihat, industri gosip, kawasan huni mewah, apartemen, iklan
barang-barang mewah dan merek asing, makanan instan (fast food), serta
reproduksi dan transfer gaya hidup melalui iklan dan media televisi maupun
cetak yang sudah sampai ke ruang-ruang kita yang paling pribadi. Hal ini
terjadi di banyak masyarakat perkotaan Indonesia.
b. Dampak Budaya Global
Budaya
global seperti di atas telah menggusur budaya lokal Indonesia (Ibrahim,
pengantar dalam Lifestyles oleh Chaney, 1996). Contoh untuk hal ini dapat kita
lihat pada masyarakat keraton Indonesia. Dalam dua abad terakhir tata
masyarakat kerajaan mulai memudar. Kedudukan bangsawan dikudeta oleh kaum
pedagang dengan senjata teknologi dan uang. Legitimasi istana yang bersemboyan
kawula gusti kini diinjak-injak oleh semangan individualisme, hak asasi, dan
kemanusiaan. Mitos dan agama digeser sekularisme dan rasionalitas. Tata sosial
kerajaan digantikan oleh nasionalisme. Akibat runtuhnya kerajaan yang mengayomi
seniman-cendekiawan istana, berantakanlah kondisi kerja dan pola produksi
seni-budaya istana (Heryanto, 2000).
c. Kebudayaan Sebagai Makna
Dalam
antropologi, budaya ialah pola perilaku dan pemikiran masyarakat yang hidup
dalam kelompok sosial belajar, mencipta, dan berbagi (Microsoft Encarta
Reference Library, 2005). Budaya membedakan kelompok manusia yang satu dengan
yang lainnya. Menurut Ariel Heryanto (2000), kebudayaan bukan dipandang sebagai
suatu realitas kebendaan, tapi persepsi, pemahaman atau konsep untuk melihat,
menangkap dan mencerna realitas. Kebudayaan ada hanya jika ada kesadaran,
konsep, dan bahasa manusia modern untuk melihat keberadaannya.
Dengan
kesadaran, konsep, dan bahasa tersebut manusia memberikan makna pada dunia yang
dilihatnya. Pemaknaan diri sendiri dan dunia di sekelilingnya merupakan
perlengkapan mutlak bagi setiap orang untuk menggeluti berbagai kenyataan di
sekitarnya (Heryanto, 2000). Namun bentuk dan isi makna-makna ini bukan takdir
yang statis dan tak dapat ditawar-tawar. Bentuk dan isi makna ini dapat berubah
sesuai dengan keinginan manusia.
d. Peran Nalar Dalam Pemaknaan Hidup
Nalar
didefinisikan sebagai kemampuan mental yang berguna untuk menyesuaikan
pemikiran maupun tindakan dengan tujuan (Brown, 1993). Nalar bekerja dengan
kaidah filsafat (penarikan kesimpulan) dan kaidah psikologi (teori kesadaran).
Nalar telah mengantarkan manusia ke kedudukan yang tinggi dengan membantunya
mengumpulkan pengetahuan. Dapat kita simpulkan bahwa nalar adalah produk
biologis- sekadar alat yang menurut kodratnya terbatas kemampuannya (Calne,
2002).
Nalar
telah meningkatkan mutu cara kita melakukan sesuatu, tetapi nalar tidak
mengubah mengapa kita melakukannya. Nalar lebih merupakan fasilitator daripada
inisiator. Kita memakai nalar untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, bukan
menentukan apa yang kita inginkan. Nalar telah melahirkan pengetahuan yang
membuat kita bisa terbang keliling dunia kurang dari 2 hari. Walaupun demikian
kita melakukan perjalanan karena maksud dan alasan yang sama dengan yang
mendorong leluhur kita dulu bepergian- berdagang, penaklukan, agama,
petualangan, atau penindasan.
e. Gaya Hidup Mandiri
Dengan
gencarnya promosi gaya hidup modern sekarang ini, kita harus bisa mengambil
sikap. Perubahan budaya lokal tidak dapat dielakkan, namun kita dapat
mengarahkan perubahan tersebut. Corak budaya global yang negatif kita
hilangkan, namun yang positif kita ambil. Budaya luar yang baik untuk kita adopsi
adalah budaya yang memerdakan dan membebaskan manusia.
Menurut
Immanuel Kant, ada dua unsur yang penting dalam manusia merdeka. Pertama, digunakannya akal budi sebagai
satu bagian manusia- nalar yang mampu memecahkan persoalan-persoalan ethis tanpa
sama sekali mengacu kepada wujud yang ilahiat. Kedua, ’publik’ sebagai arena. Bagi Kant, ukuran manusia yang
dewasa, merdeka, adalah ketika ia mempergunakan nalarnya di arena publik
tersebut. Untuk bisa mencapai ke arah sana, dibutuhkan kemandirian yang bertanggungjawab
serta disiplin. Dan nalar menunjukkan bagaimana cara efektif dan efisien untuk
melakukan perubahan tersebut.
Kemandirian
berarti kita mampu hidup tanpa bergantung mutlak kepada sesuatu yang lain.
Untuk itu diperlukan kemampuan untuk mengenali kelebihan dan kekurangan diri
sendiri, serta berstrategi dengan kelebihan dan kekurangan tersebut untuk
mencapai tujuan.
Dan nalar adalah alat untuk menyusun strategi. Bertanggungjawab maksudnya kita melakukan perubahan secara sadar dan memahami betul setiap resiko yang bakal terjadi serta siap menanggung resiko. Dan dengan kedisiplinan akan terbentuk gaya hidup yang mandiri. Dengan gaya hidup mandiri, budaya konsumerisme tidak lagi memenjarakan manusia. Manusia akan bebas dan merdeka untuk menentukan pilihannya secara bertanggungjawab, serta menimbulkan inovasi-inovasi yang kreatif untuk menunjang kemandirian tersebut.
Dan nalar adalah alat untuk menyusun strategi. Bertanggungjawab maksudnya kita melakukan perubahan secara sadar dan memahami betul setiap resiko yang bakal terjadi serta siap menanggung resiko. Dan dengan kedisiplinan akan terbentuk gaya hidup yang mandiri. Dengan gaya hidup mandiri, budaya konsumerisme tidak lagi memenjarakan manusia. Manusia akan bebas dan merdeka untuk menentukan pilihannya secara bertanggungjawab, serta menimbulkan inovasi-inovasi yang kreatif untuk menunjang kemandirian tersebut.
f. Ciri
yang menonjol pada masyarakat kota adalah sebagai berikut:
- Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa
- Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. Yang penting disini adalah manusia perorangan/individu
- Pembagian kerja diantara warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas nyata.
- Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan terbuka lebar daripada di desa
- Interaksi yang terjadi lebih banyak terjadi berdasarkan pada faktor kepentingan dari pada faktor pribadi
- Pembagian waktu yang lebih teliti dan sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan individu
- Perubahan-perubahan sosial nampat dengan nyata di kota-kota, sebab kota biasanya terbuka dengan pengaruh dari luar.
Sumber :
- ICMI Pusat, ICMI ORWIL dan PPSK Jogjakarta, 1995, Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia, Aditya Media, Jogjakarta
- Sutandyo, 2005, Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial " Ketika Pembangunan Tak Berpihak Kepada Rakyat Miskin", Airlangga University Press, Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar