A. Pengertian Kemiskinan:
Menurut
Heru Nugroho (1995:38) kemiskinan adalah hasil produk dari konstruksi sosial,
sehngga yang dilakukan justru menimbulkan dominasi baru atau terjadinya
dialektika pembangunan. Sialektika pembangunan yang terjadi antara lain:
- Pembangunan yang diharapakan
terjadi trikle down effect, justru menimbulkan trikle
up effect karena daya sedot akumulasi capital lebih kuat ke pusat
dibandingkan dengan pemertaan pembangunan melalui program-program anti
kemiskinan;
- Pembangunan yang dilakukan
hanya membebaskan “orang dari”, belum membebaskan”oang untuk”. Hal ini
berarti bahwa pembangunan tersebut baru membebaskan didi dari rasa lapar,
dan elum membebaskan diri untuk mengekspresikan kemmapuan diri dan
mengoreksi pembangunan itu sendiri;
- Para akademisi terjebak
dalam penelitian yang teknis sehingga rekomendasi bagi pengentasan
kemiskinan hanya mencapai sasaran teknis, yang berupa dimensi kemiskinan
yang bias diukur (material well being), dan tidak
memperdayakan masyarakat itu sendiri, yang berupa social well being.
Berdasarkan
Study SMERU, Soeharto (2006:132) menunjukan Sembilan kriteria yang menandai
kemiskinan :
- Ketidakmampuan memenuhi
kebutuhan komsumsi dasar (pangan, sandang dan papan);
- Ketidakmampuan untuk
berusaha karena cacat fisik maupun mental;
- Ketidakmampuan dan
keberunungan social (anak telantar, wanita korban tindak kekerasan rumah
tangga, janda msikin, eklompok marjinal dan terpencil);
- Rendahnya kualitas
sumberdaya manusia (buta huruf, rendahnya pendidikan dan ketrampilan,
sakit-sakitan) dan keterbatasan sumber alam (tanah tidak subur, lokasi
terpencil, ketiadaan infrastruktur jalan, listrik,air);
- Kerentanan terhadap
goncangan yang bersifat individual (rendahnya pendapatan dan asset),
maupun missal (rendahnya modal social, ketiadaan fasilitas umum);
- Ketiadaan akses terhadap
lapangan kerja dan mata pencaharian yang memadai dan berkesimbungan;
- Ketiadaan akses terhadap
kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih
dan transportasi);
- Ketiadaan jaminan masa depan
(karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga atau tidak adanya
perlindungan social dari Negara dan masyarakat);
- Ketidakterlibatan dalam
kegiatan social masyarakat.
Menurut
Prof Sutanyo Wignjosoebroto,MPA (2005:4) ciri-ciri kemiskinan sebagai berikut :
- Mereka yang hidup dibawah
garis kemiskinan pada umumnya tidak memiliki faktor produksi, sendiri:
tanah yang cukup, modal ataupun ketampilan. Faktor produksi yang dimiliki
umumnya sedikit, sehingga untuk memperoleh pendapat menjadi sangat
terbatas.
- Mereka pada umumnya tidak
mempunyai kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan
sendiri. Pendapatan yang diperoleh tidak cukup memperoleh tanah gararapan
atau pun modal usaha. Sementara mereka pun tidak memiliki syarat untuk
terpenuhunya kredit perbankan, seperti jaminan kredit dan lain-lain, yang
mengakibatkan mereka berpaling ke lintah darat yang biasanya untuk
pelunasannya meminta syarat-syarat berat dan bunga yang amat tinggi.
- Waktu untuk mencari makan
sehingga tidak ada lagi waktu untuk belajar. Demikian juga dengan
anak-anak mereka, tak dapat meyelesaikan sekolah karena harus membantu
orang tuanya mencari nafkah tambahan.
- Banyak diantara mereka yang
tinggal di daerah pedesaan dan tidak mempunyai tanah garapan, atau
kalaupun ada relative kecil sekali. Pada umumnya mereka menjadi, karena
bekerja di pertanian berdasarkan musiman, maka kesinambungan pekerjaan
mereka menjadi kurang terjamin. Banyak antara mereka lalu menjadi pekerja
bebas (selfemployed) yang berusaha apa saja. Akibat di
dalam situasi penawaran tenaga tenaga kerja yang besar, maka tingkat upah
menjadi rendah sehingga mengurung mereka selalu hidup dibawah garis
kemiskinan. Didorong oleh kesulitan hidup di desa, maka banyak di antara
mereka mencoba berusaha ke ota (urbanisasi) untuk mengadu nasib.
- Banyak di antara mereka yang
yang hidup di kota masih muda dan tidak mempunyai ketrampilan atau skill da
pendidikan. Sedangkan kta sendiri terutama di Negara sedang berkembang
tidak siap menampung gerak urbanisasi penduduk desa itu. Apabila di Negara
maju pertumbuhan industry menyertai urbanisasi dan pertmbuhan kota sebagai
penarik bagi masyarakat desa untuk bekerja di kota, proses urbanisasi di
Negara sedang berkembang tidak sertai proses penyerapan enaga kerja dalam
perkembangan industry. Bahkan, sebaliknya, perkembangan tekhnologi di
kota-kota Negara berkembang justru menampik penyerapan tenaga kerja,
sehingga penduduk miskin yang pindah ke kota terdampak dalam
kantong-kantong kemelartan (slumps)
B. Dimensi Kemiskinan
- Menurut Lembaga penelitian
SMERU dan badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (BKPK) yang dikutip
oleh Depatremen Sosial (2003:7-8) yang dimaksudkan dengan dimensi
kemiskinan sebagai berikut:
- Ketidakmampuan memenuhi
kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan)
- Tidak adanya akses terhadap
kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi dan
transportasi)
- Tidak adanya jaminan masa
depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga)
- Kerentanan terhadap
goncangan yang bersifat individual maupun massal.
- Rendahnya kualitas
sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam.
- Tidak dilibatkan dalam
kegiatan sosial masyarakat.
- Tidak adanya akses terhadap
lapangan pekerjaan dan mata penharian yang berkesinambungan
- Ketidakmampuan untuk
berusaha karena cacat fisik maupun mental.
- Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil)
- Menurut Edi Suharto
(2008:15-18) kemiskinan sejatinya menyangkut pula dimensi material, sosial,
kultural, institusional, dan struktural. Secara konseptual kemiskinan
dapat diakibatkanbatkan oleh empat faktor, yakni :
- Faktor Individual.
- Tekait dengan aspek
patologis, termasuk konidisi fisik dan patologis si miskin.Orang miskin
oleh perilaku, pilian atau emampuan dari si miskin itu sendiri dalam
enghadapi kehidupan.
- Faktor Sosial.
- Kondisi-kondisi lingkungan
sosial yang menjebak seseorang menjadi miskin. Misalnya diskriminasi
berdasarkan usia, jender, etnis menyebabkan seseorang menjadi miskin keluarga
si miskin yang biasanya menyebabkan kemiskinan antar generasi.
- Faktor Kultural.
- Kondisi atau kualitas budaya
yang menyebabkan kemiskinan. Faktor ini secara khusus sering menunjuk pada
konsep “ kemiskinan struktural” atau “budaya kemiskinan”yang menghbungkan
kemiskinan dengan dengan kebiasan hidup atau mentalis.
- Faktor Struktural.
- Menunjuk pada struktur atau
sistem yang tidak adil, tidak sensitif dan tidak accesible sehingga
menyebabkan seseorang atau sekelompok orang menjadi miskin.
C. Penyebab Kemiskinan: Menurut Prof.Sutandyo Wigjosoebroto.MPA (2005:8)
mengatakan faktor yang melatarbelakangi, akar penyebab kemiskinan dapat
dibedakan menjadi dua katagori:
- Pertama, kemiskinan alamiah, yakni kemiskinan
yang timbul sebagai akibat sumber-sumber daya yang langka jumlahnya dan
atau karena tingkat perkembangan teknomogi yang sangat rendah. Artinya
faktor-faktor yang menyebabkan suatun kekaya masyarakat menjadi miskin
adalah secara alami memang ada, dan bukan bahwa akan ada kelompok atau
individu di dalam masyarakat tersebut yang lebih miskin dari yang lain.
Mungkin saja dalam keadaan kemskinan alamiah tersebut akan terdapat
perbedaan-perbedaan kekayaan, tetapi dampak perbedaan tesebut akan
diperlunak atau dieleminasi oleh adanya pranata-pranata tradisional,
seperti pola hubungannya patron client, jiwa gotong royng, dan
sejenisnya yang fungsional untuk meredam kemungkinan timbulnya kecemburuan
social.
- Kedua, kemiskinan buatan, yakni kemiskinan yang terjadi karena struktur sosial yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak mengusai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas anggota masyarakat dari kemiskinan.Kemiskinan buatan dalam banyak hal terjadi bukan karena seorang individu atau anggota keluarga malas bekerja atau karena mereka terus menerus sakit.Berbeda dengan perpeksif modernisasi ang cenderung memvonis kemiskinan bersumber dari lemahnya etos keja, tidak dimlikinya etika wirausaha atau karena budaya yang tidak terbiasa dengan kerja keras.Kemiskinan buatan dalam perbincangan di kalangan ilmuawan social acap kali diidentikkan dengan pengertian kemiskinan structural.Yang dimaksud dengan kemiskinan structural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-smber pendapatkan yang sebenanta tersedia bagi mereka.
Menurut Tansey dan Ziegley, 1991 dalam kemiskinan dan keberfungsian
sosial (2003:8) kemiskinan mempunyai tiga penyebab prinsip yaitu:
·
Human capital deficiencies, definisi modal sosial manusia berati rendahnya
kualitas sumberdaya manusia, seperti rendahnya pengetahuan dan ketrampilan
sehingga menyebabkan mendapatkan pekerjaan yang rendah pendapatannya dan
rendahnya daya beli.
·
Insufficient deman for labor, yakni rendahnya permintaan akan tenaga
kerja sehingga meningkatkanpengangguran, pengangguran menyebabkan orang tidak
memiliki pendapatan, daya beli rendah, akhirnya tidak dapat memenuhi kebutuhan
dasar.
·
Diskrimination, adanya perlakuan berbeda terhadap golongan tertentu
terutama dalam aksesibilitas terhadap sumberdaya-sumberdaya dan adanya dominasi
pihak tertentu terhadap sumberdaya tersebut.
Selanjutnya BKPK dan Lembaga penelitian SMERU, 2001 dalam kemiskinan dan
keberfungsian sosial (2003:8-9) mengidentifikasikan penyebab kemiskinan sebagai
berikut:
- o Keterbatasan pendapatan, modal dan sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar termasuk (modal sumber daya manusia, misalnya pendidikan formal, ketrampilan dan kesehatan yang memadai. Modal produksi, misalnya tahan akan akses terhadap kredit. Modal sosial, misalnya jaringan sosial dan akses terhadap kebijakan dan keputusan politik.Sarana fisik, misalnya akses terhadap prasarana dasar jalan, listrik dan air bersih, termasuk hidup di daerah yang terpencil).
- o Kerentanan dan ketidakmampuan menghadapi goncangan-goncanagn karena krisis ekonomi. kegagalan panen karena hama, banjir dan politik, kehilangan pekerjaan (PHK), konflik sosial dan politik, korban kekerasan sosial dan rumah tangga, bencana alam (longsor, gempa bumi, perubahan iklim global) dan musibah (jatuh sakit, kebakaran, keracunan atau ternak terserang wabah penyakit)
- o Tidak adanya suara yang mewakili dan terpuruk dalam ketidakberdayaan di dalam instutusi negara dan masyarakat karena tidak ada kepastian hukum, tidak ada perlindungan dari kehajatan, kesewenang-wenangan aparat, ancaman dan intimidasi, kebijakan publik yang peka dan tidak mendukung upaya penanggulangan kemiskinan dan rendahnya posisi tawar menawar masyarakat miskin.
D. Indikator
Kemiskinan
Indikator untuk menentukan fakir miskin yang dimaksud menurut Departemen Sosial RI, ( 2005 : 13-14 ) sebagai
berikut:
a. Penghasilan rendah,
atau berada dibawah garis sangat miskin yang dapat diukur dari tingkat
pengeluaran per orang per bulan berdasarkan standar BPS per wilayah propinsi
dan Kabupaten Kota.
b. Ketergantungan pada
batuan pangan untuk penduduk miskin (seperti zakat/beras untuk orang
miskin/santunan sosial).
c. Keterbatasan
kepemilikan pakaian untuk setiap anggota keluarga per tahun (hanya mampu
memilki 1 stel pakaian lengkap per orang per tahun)
d. Tidak mampu membiayai
pengobatan jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit.
e. Tidak mampu membiayai
pendidikan dasar 9 tahun bagi anak-anaknya
f. Tidak memilki harta
(asset) yang dapat dimanfaatkan hasilnya atau dijual untuk membiayai kebutuhan
hiodup selama tiga bulan atau dua kali batas garis sangat miskin.
g. Tinggal dirumah yang
tidak layak huni.
h. Sulit memperoleh air
bersih.
E. Model Pengukuran
Kemiskinan
Di Indonesia terdapat
beberapa model penghitungan kemiskinan, yaitu Model Tingkat Konsumsi, Model Kesejahteraan
Keluarga dan Model Pembangunan Manusia.
1. Model
Tingkat Komsumsi.
Sayogyo (1971)
menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras per kapita sebagai indikator
kemiskinan.Beliau membedakan tingkat ekuivalen konsumsi beras di daerah
pedesaan dan perkotaan.Untuk daerah pedesaan apabila seseorang hanya
mengkonsumsi ekuivalen beras kurang dari 240 kg per orang pertahun, maka yang
bersangkutan digolongkan sangat miskin.Sedangkan untuk daerah perkotaan
ditentukan sebesar ekuivalen 360 kg beras per orang pertahun. Hampir sejalan
dengan model konsumsi beras dari sayogyo, Badan Pusat Statistik (BPS)
menghitung angka kemiskinan lewat tingkat konsumsi pendududk atas kebutuhan
dasar.
Perbedaannya adalah
bahwa BPS tidak menyertakan kebutuhan-kebutuan dasar dengan jumlah beras. Dari
sisi makanan, BPS menggunakan indikator yang direkomendasikan oleh Widyakarya
Pangan dan Gizi tahun 1998 yaitu 2.100 kalori per orang per hari, sedangkan
dari sisi kebutuhan non-makanan tidak hanya terbatas pada sandang dan papan
melainkan termasuk pendidikan dan kesehatan.BPS pertama kali melaporkan
penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin pada tahun 1984.pada saat
itu penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin mencakup pereode
1976-1981 dengan menggunakan model konsumsi susenas (survey Sosial Ekonomi
Nasional)
2. Model
Kejahteraan Keluarga.
Berbeda dengan BPS,
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)lebih melihat dari sisi
kesejahteraan dibandingkan darisisi kemiskinan.Unit survey pada BPS digunakan
rumah tinggal sedangkan BKKBN menggunakan keluarga. Hal ini tentunya sejalan
dengan visi program Keluarga Berencana (KB) yaitu “ Keluarga yang Berkualitas”.
Untuk menghitung
tingkat kesejahteraan, BKKBN melakukan program yang disebut sebagai Pendekatan
Keluarga. Pendataan Keluarga dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data
dasar kependudukan dan keluarga dalam rangka program pembangunan dan
pengentasan kemiskinan. terdapat empat kelompok data yang dihasilkan oleh
Pendataan Keluarga, yaitu: Data Demografi, misalnya jumlah jiwa dalam keluarga
menurut jenis kelamin, dll;.
Data Keluarga
Berencana, misalnya Pasangan Usia Subur (PUS), peserta KB, Data Tahapan
Keluarga Sejahtera, yaitu jumlah keluarga yang masuk dalam katagori keluarga
pra-sejahtera, sejahtera I, II dan III. Data kemiskian dilakukan melalui
pentahapan keluarga sejahtera yang dibagi menjadi lima tahap, yaitu Keluarga
Pra Sejahtera (sangat miskin), Keluarga Sejahtera I (miskin), Keluarga
Sejahtera II, Keluarga Sejahtera III dan Keluarga Sejahtera III plus.
3. Model
Pembangunan Manusia.
Pendekatan
Pembangunan Manusia dipromosikan oleh Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
untuk program pembangunan yaitu: United Nation Developmen Program
(UNDP). Laporan tentang Pembangunan Manusia atau yang sering disebut Human
Development Report (HDR) dibuat pertama kali pada tahun 1990 dan
kemudian dikembangkan oleh lebih dari 120 negara.Pemerintah Indonesia melalui
Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas) selanjutnya mengembangkan model ini.HDR yang pertama dibuat pada
tahun 1996 untuk situasi tahun 1990 dan 1993. Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN) tahun 1993 telah menjadikan model ini sebagai model pembangunan nasional
yang disebut sebagai “Pembangunan Manusia Seutuhnya”.
Laporan terakhir
tahun 2004 yang menjelaskan keadaan pada tahun 1999 dan 2002. HDR berisikan
penjelasan tentang empat index yaitu index Pembangunan Manusia atau Human
Development Index (HDI), Index Pembangunan Jender atau Gender
Development Index (GDI), Langkah Pemberdayaan Jender atau Gender
Empowerment Measure (GEM) dan Index Kemiskinan Manusia atau Human Poverty Index
(HPI).
HDI dengan indikator
tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf orang dewasa, rata-rata lama
bersekolah, dan tingkat daya beli perkapita. HPI, dengan indikator kelahiran
yang tidak dapat bertahan sampai usia 40 tahun, tingkat buta huruf orang
dewasa, persentase penduduk yang tidak memiliki akses pada air yang aman untuk
digunakan, persentase penduduk yang tidak memiliki akses pada fasilitas
kesehatan, dan persentase balita yang kurang makan.
GDI, indikatornya
adalah tingkat harapan hidup laki-laki dan perempuan, tingkat melek huruf orang
dewasa laki-laki dan perempuan, rata-rata lama sekolah untuk laku-laki dan
perempuan, serta perkiraan tingkat pendapatan laki-laki dan perempuan.
Sedangkan GEM indikatornya adalah persentase jumlah anggota DPR dari laki-laki
dan perempuan, persentase jumlah pegawai tingkat senior, manajer, profesional
dan posisi teknis dari laki-laki dan perempuan, serta perkiraan tingkat
pendapatan lai-laki dan perempuan.
Pengukuran angka
kemiskinan dilakukan dengan melihat beberapa aspek sebagai sebagai berikut:
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
·
Mengukur pencapaian suatu wilayah dalam tiga dimensi pembangunan manusia
yang paling esensial-lama hidup, tingkat pengetahuan, dan standar hidup yang
layak.Indeks tersebut dihitung dengan angka harapan hidup, angka melek huruf
dan rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran perkapita.
·
Indeks Kemiskinan Manusia (IKM)
·
Mengukur dimensi yang berlawanan arah dari IPM, yaitu seberapa besar
penduduk yang kurang beruntung, tertinggal (deprived people),
karena tidak mempunyai akses untuk mencapai standar kehidupan ang layak. Indeks
tersebut dihitung menggunakan prosentase penduduk yang tidak mencapai usia 40
tahun, prosentase penduduk buta huruf, prosentase balita dengan status gizi
kurang, prosentase balita dengan status gizi kurang, prosentase penduduk tidak
punya akses pada pelayanan kesehatan dasar, sanitasi air bersih. Semakin besar
penduduk suatu wilayah pada situasi ini dipresentasikan oleh IKM yang semakin
tinggi.
·
Indeks Kehidupan Fakir Miskin
·
Mengukur kesenjangan pencapaian, yaitu berapa upaya, dalam prosentase,
yang masih harus dilakukan/dicapai untuk membawa kondisi kehidupan fakir miskin
di suatu wilayah menuju standar kehidupan minimum yang layak.Dimensi yang
diukur mencakup (1) situasi kelaparan atau sangat kurang kalori, (2) Kualitas
hidup fakir miskin, (3) Akses fakir miskin pada pelayanan sosial dasar dan
pembangunan.
F. Kemiskinan Dalam Pandangan Pekerjaan Sosial
Secara
konseptual pekerjaan sosial memandang bahwa kemiskinan merupakan
persoalan-persoalan multidimensional, yang bermatra ekonomi-sosial dan
individu-struktural (Suharto, 2005). Berdasarkan perspektif ini, ada tiga
kategori kemiskinan yang menjadi pusat perhatian pekerjaan sosial, yaitu
- Kelompok yang paling miskin (destitute) atau
yang sering didefinisikan sebagai fakir miskin. Kelompok ini secara
absolut memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan (umumnya tidak
memiliki sumber pendapatan sama sekali) serta tidak memiliki akses
terhadap berbagai pelayanan sosial.
- Kelompok rentan (vulnerable group).
Kelompok ini dapat dikategorikan bebas dari kemiskinan, karena memiliki
kehidupan yang relatif lebih baik ketimbang kelompok destitutemaupun
miskin. Namun sebenarnya kelompok yang sering disebut ”near poor” (agak
miskin) ini masih rentan terhadap berbagai perubahan sosial di
sekitarnya. Mereka seringkali berpindah dari status ”rentan” menjadi
”miskin” dan bahkan ”destitute” bila terjadi krisis ekonomi dan
tidak mendapat pertologan sosial.
- Kelompok miskin (poor). Kelompok ini
memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan namun secara
relatif memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar (misalnya, masih
memiliki sumber-sumber finansial, memiliki pendidikan dasar atau tidak
buta huruf).
Terkait
dengan paparan tersebut, lebih lanjut Suharto (2005), bahwa strategi penanganan
kemiskinan pekerjaan sosial terfokus pada peningkatan kemampuan orang miskin
dalam menjalankan tugas-tugas kehidupan sesuai dengan statusnya. Demikian pula
intervensi pekerjaan sosial senantiasa melihat sasaran perubahan (orang miskin)
tidak terpisah dari lingkungan dan situasi yang dihadapinya (person-in-environment dan person-in-situation).
Keberfungsian sosial merupakan konsepsi yang penting bagi pekerjaan sosial
karena merupakan pembeda antara profesi pekerjaan sosial dengan profesi lainnya.
Oleh karena itu, pendekatan pekerjaan sosial dalam menangani kemiskinan juga
pada dasarnya harus diarahkan untuk memingkatkan keberfungsian sosial (social
functioning) masyarakat miskin yang dibantu.
G. Strategi Penanganan Kemiskinan
Kemiskinan tidak lagi
dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi
hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok dalam
menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar yang diakui secara umum
meliputi kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air
bersih, pertanahan, sumberdaya alam, dan lingkungan hidup, rasa aman dari
perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam
kehidupan sosial politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Bertolak dari paparan
tersebut, Huraira (2008) bahwa dalam menyikapi permasalahan kemiskinan,
strategi yang harus dilakukan untuk mengatasinya adalah sebagai berikut :
- Karena kemiskinan bersifat
multidimensional, program pengentasan kemiskinan seyogyanya juga tidak
hanya memprioritaskan aspek ekonomi tetapi memperhatikan dimensi lain.
- Untuk meningkatkan
kemampuan dan mendorong produktivitas, strategi yang dipilih adalah peningkatan
kemampuan dasar masyarakat miskin.
- Melibatkan masyarakat
miskin dalam keseluruhan proses penanggulangan kemiskinan, mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi, bahkan pada proses
pengambilan keputusan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar