Minggu, 29 September 2013

MODEL PENGUKURAN DAN INDIKATOR KEMISKINAN

a.     Model Pengukuran Kemiskinan
Di Indonesia terdapat beberapa model penghitungan kemiskinan, yaitu Model Tingkat Konsumsi, Model Kesejahteraan Keluarga dan Model Pembangunan Manusia.
1) Model Tingkat Komsumsi.
Sayogyo (1971) menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras per kapita sebagai indikator kemiskinan. Beliau membedakan tingkat ekuivalen konsumsi beras di daerah pedesaan dan perkotaan.  Untuk daerah pedesaan apabila seseorang hanya mengkonsumsi ekuivalen beras kurang dari 240 kg per orang pertahun, maka yang bersangkutan digolongkan sangat miskin. Sedangkan untuk daerah perkotaan ditentukan sebesar ekuivalen 360 kg beras per orang pertahun. Hampir sejalan dengan model konsumsi beras dari sayogyo, Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung angka kemiskinan lewat tingkat konsumsi pendududk atas  kebutuhan dasar.

Perbedaannya adalah bahwa BPS tidak menyertakan kebutuhan-kebutuan dasar dengan jumlah beras. Dari sisi makanan, BPS menggunakan indikator yang direkomendasikan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1998 yaitu 2.100 kalori per orang per hari, sedangkan dari sisi kebutuhan non-makanan tidak hanya terbatas pada sandang dan papan melainkan termasuk pendidikan dan kesehatan.   BPS pertama kali melaporkan penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin pada tahun 1984. pada saat itu penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin mencakup pereode 1976-1981 dengan menggunakan model konsumsi susenas (survey Sosial Ekonomi Nasional)

2)Model Kejahteraan Keluarga.
Berbeda dengan BPS, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) lebih melihat dari sisi kesejahteraan dibandingkan darisisi kemiskinan. Unit survey pada BPS digunakan rumah tinggal sedangkan BKKBN menggunakan keluarga. Hal ini tentunya sejalan dengan visi  program Keluarga Berencana (KB) yaitu “ Keluarga yang Berkualitas”.

Untuk menghitung tingkat kesejahteraan, BKKBN melakukan program yang  disebut  sebagai  Pendekatan Keluarga. Pendataan Keluarga dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data dasar kependudukan  dan keluarga dalam rangka program pembangunan dan pengentasan kemiskinan. terdapat empat kelompok data yang dihasilkan oleh Pendataan Keluarga, yaitu: Data Demografi, misalnya jumlah jiwa dalam keluarga menurut jenis kelamin, dll;.

Data Keluarga Berencana, misalnya Pasangan Usia Subur (PUS), peserta KB, Data Tahapan Keluarga Sejahtera, yaitu jumlah keluarga yang masuk dalam katagori keluarga pra-sejahtera, sejahtera I, II dan III. Data kemiskian dilakukan melalui pentahapan keluarga sejahtera yang dibagi menjadi lima tahap, yaitu Keluarga Pra Sejahtera (sangat miskin), Keluarga Sejahtera I (miskin), Keluarga Sejahtera II, Keluarga Sejahtera III dan Keluarga Sejahtera III plus.

3) Model Pembangunan Manusia.
Pendekatan Pembangunan Manusia dipromosikan oleh Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk program pembangunan yaitu: United Nation Developmen Program (UNDP). Laporan tentang Pembangunan Manusia atau yang sering disebut Human Development Report (HDR) dibuat pertama kali pada tahun 1990 dan kemudian dikembangkan oleh lebih dari 120 negara. Pemerintah Indonesia melalui Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) selanjutnya mengembangkan model ini. HDR yang pertama dibuat pada tahun 1996 untuk situasi tahun 1990 dan 1993. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1993 telah menjadikan model ini sebagai model pembangunan nasional yang disebut sebagai “Pembangunan Manusia Seutuhnya”.

Laporan terakhir tahun 2004 yang menjelaskan keadaan pada tahun 1999 dan 2002. HDR berisikan penjelasan tentang empat index yaitu index Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI), Index Pembangunan Jender atau Gender Development Index (GDI), Langkah Pemberdayaan Jender atau Gender Empowerment Measure (GEM) dan Index Kemiskinan Manusia atau Human Poverty Index (HPI).  

HDI dengan indikator tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf orang dewasa, rata-rata lama bersekolah, dan tingkat daya beli perkapita. HPI, dengan indikator kelahiran yang tidak dapat bertahan sampai usia 40 tahun, tingkat buta huruf orang dewasa, persentase penduduk yang tidak memiliki akses pada air yang aman untuk digunakan, persentase penduduk yang tidak memiliki akses pada fasilitas kesehatan, dan persentase balita yang kurang makan

GDI, indikatornya adalah tingkat harapan hidup laki-laki dan perempuan, tingkat melek huruf orang dewasa laki-laki dan perempuan, rata-rata lama sekolah untuk laku-laki dan perempuan, serta perkiraan tingkat pendapatan laki-laki dan perempuan. Sedangkan GEM indikatornya adalah persentase jumlah anggota DPR dari laki-laki dan perempuan, persentase jumlah pegawai tingkat senior, manajer, profesional dan posisi teknis dari laki-laki dan perempuan, serta perkiraan tingkat pendapatan lai-laki dan perempuan.

Pengukuran angka kemiskinan dilakukan dengan melihat beberapa aspek sebagai sebagai berikut:
a) Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Mengukur pencapaian suatu wilayah dalam tiga dimensi pembangunan manusia yang paling esensial-lama hidup, tingkat pengetahuan, dan standar hidup yang layak. Indeks tersebut dihitung dengan angka harapan hidup, angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran perkapita.
b) Indeks Kemiskinan Manusia (IKM)
Mengukur dimensi yang berlawanan arah dari IPM, yaitu seberapa besar penduduk yang kurang beruntung, tertinggal (deprived people), karena tidak mempunyai akses untuk mencapai  standar kehidupan ang layak. Indeks tersebut dihitung menggunakan prosentase penduduk yang tidak mencapai usia 40 tahun, prosentase penduduk buta huruf, prosentase balita dengan status gizi kurang, prosentase balita dengan status gizi kurang, prosentase penduduk tidak punya akses pada pelayanan kesehatan dasar, sanitasi air bersih. Semakin besar penduduk suatu wilayah pada situasi ini dipresentasikan oleh IKM yang semakin tinggi.
c)Indeks Kehidupan Fakir Miskin
Mengukur kesenjangan pencapaian, yaitu berapa upaya, dalam prosentase, yang masih harus dilakukan/dicapai untuk membawa kondisi kehidupan fakir miskin di suatu wilayah menuju standar kehidupan minimum yang layak. Dimensi yang diukur mencakup: (1) situasi kelaparan atau sangat kurang kalori, (2) Kualitas hidup fakir miskin, (3) Akses fakir miskin pada pelayanan sosial dasar dan pembangunan.

           Di Indonesia untuk mengetahui jumlah angka kemiskinan mengunakan  lima  versi indikator kemiskinan, sebagai berikut:

  1. Versi Bank Dunia; kemiskinan diukur secara ekonomi berdasarkan penghasilan yang diperoleh orang miskin adalah mereka yang berpendapatan maksimal UU$ 2 per hari
  2. Versi International Labour Organization (ILO); Yaitu orang miskin di pedesaan jika pendapatan maksimal US$ 0,8.
  3. Versi BKKBN yang mendefinisikan kemiskinan dengan 5 indikator a) Tidak dapat menjalankan ibadah menurut agamanya, b) Seluruh keluarga tidak mampu makan dua kali sehari, c) Seluruh anggota keluarga tidak mempunyai pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja, sekolah dan berpergian, d) Bagian terluas rumahnya terdiri atas tanah, e) tidak mampu membawa keluarga jika sakit ke sarana kesehatan.
  4. Versi Dinas Kesehatan menambahkan kriteria tingkat akses pelayanan kesehatan pemerintah, ada anggota keluarga yang putus sekolah atau tidak, frekuensi makan makanan pokok per hari kurang dari dua kali dan kepala keluarga mengalami pemutusan hubungan kerja atau tidak.
  5. Versi BPS mendefinisikan miskin berdasarkan tingkat konsumsi makanan kurang dari 2100 kalori/kapita/per hari dan kebutuhan minimal non makanan (sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan). Disamping itu secara ekonomi BPS menetapkan penghasilan Rp. 175.324,- per bulan sebagai batas miskin perkotaan dan Rp. 131.256,- di pedesaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar