Di Indonesia
terdapat beberapa model penghitungan kemiskinan, yaitu Model Tingkat Konsumsi,
Model Kesejahteraan Keluarga dan Model Pembangunan Manusia.
1) Model Tingkat Komsumsi.
Sayogyo
(1971) menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras per kapita sebagai
indikator kemiskinan. Beliau membedakan tingkat ekuivalen konsumsi beras di
daerah pedesaan dan perkotaan. Untuk
daerah pedesaan apabila seseorang hanya mengkonsumsi ekuivalen beras kurang
dari 240 kg per orang pertahun, maka yang bersangkutan digolongkan sangat
miskin. Sedangkan untuk daerah perkotaan ditentukan sebesar ekuivalen 360 kg
beras per orang pertahun. Hampir sejalan dengan model konsumsi beras dari
sayogyo, Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung angka kemiskinan lewat tingkat
konsumsi pendududk atas kebutuhan dasar.
Perbedaannya
adalah bahwa BPS tidak menyertakan kebutuhan-kebutuan dasar dengan jumlah
beras. Dari sisi makanan, BPS menggunakan indikator yang direkomendasikan oleh
Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1998 yaitu 2.100 kalori per orang per hari,
sedangkan dari sisi kebutuhan non-makanan tidak hanya terbatas pada sandang dan
papan melainkan termasuk pendidikan dan kesehatan. BPS pertama kali melaporkan penghitungan jumlah dan persentase
penduduk miskin pada tahun 1984. pada saat itu penghitungan jumlah dan
persentase penduduk miskin mencakup pereode 1976-1981 dengan menggunakan model
konsumsi susenas (survey Sosial Ekonomi Nasional)
2)Model Kejahteraan Keluarga.
Berbeda
dengan BPS, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) lebih melihat
dari sisi kesejahteraan dibandingkan darisisi kemiskinan. Unit survey pada BPS
digunakan rumah tinggal sedangkan BKKBN menggunakan keluarga. Hal ini tentunya
sejalan dengan visi program Keluarga
Berencana (KB) yaitu “ Keluarga yang Berkualitas”.
Untuk
menghitung tingkat kesejahteraan, BKKBN melakukan program yang disebut
sebagai Pendekatan Keluarga.
Pendataan Keluarga dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data dasar
kependudukan dan keluarga dalam rangka
program pembangunan dan pengentasan kemiskinan. terdapat empat kelompok data
yang dihasilkan oleh Pendataan Keluarga, yaitu: Data Demografi, misalnya jumlah
jiwa dalam keluarga menurut jenis kelamin, dll;.
Data
Keluarga Berencana, misalnya Pasangan Usia Subur (PUS), peserta KB, Data
Tahapan Keluarga Sejahtera, yaitu jumlah keluarga yang masuk dalam katagori
keluarga pra-sejahtera, sejahtera I, II dan III. Data kemiskian dilakukan
melalui pentahapan keluarga sejahtera yang dibagi menjadi lima tahap, yaitu
Keluarga Pra Sejahtera (sangat miskin), Keluarga Sejahtera I (miskin), Keluarga
Sejahtera II, Keluarga Sejahtera III dan Keluarga Sejahtera III plus.
3) Model Pembangunan Manusia.
Pendekatan
Pembangunan Manusia dipromosikan oleh Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
untuk program pembangunan yaitu: United
Nation Developmen Program (UNDP). Laporan tentang Pembangunan Manusia atau
yang sering disebut Human Development
Report (HDR) dibuat pertama kali pada tahun 1990 dan kemudian dikembangkan
oleh lebih dari 120 negara. Pemerintah Indonesia melalui Badan Pusat Statistik
(BPS) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) selanjutnya
mengembangkan model ini. HDR yang pertama dibuat pada tahun 1996 untuk situasi
tahun 1990 dan 1993. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1993 telah
menjadikan model ini sebagai model pembangunan nasional yang disebut sebagai
“Pembangunan Manusia Seutuhnya”.
Laporan
terakhir tahun 2004 yang menjelaskan keadaan pada tahun 1999 dan 2002. HDR
berisikan penjelasan tentang empat index yaitu index Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI), Index
Pembangunan Jender atau Gender
Development Index (GDI), Langkah Pemberdayaan Jender atau Gender Empowerment Measure (GEM) dan Index
Kemiskinan Manusia atau Human Poverty Index (HPI).
HDI dengan indikator tingkat harapan
hidup, tingkat melek huruf orang dewasa, rata-rata lama bersekolah, dan tingkat
daya beli perkapita. HPI, dengan indikator kelahiran yang tidak dapat bertahan
sampai usia 40 tahun, tingkat buta huruf orang dewasa, persentase penduduk yang
tidak memiliki akses pada air yang aman untuk digunakan, persentase penduduk
yang tidak memiliki akses pada fasilitas kesehatan, dan persentase balita yang
kurang makan
GDI, indikatornya adalah tingkat
harapan hidup laki-laki dan perempuan, tingkat melek huruf orang dewasa
laki-laki dan perempuan, rata-rata lama sekolah untuk laku-laki dan perempuan,
serta perkiraan tingkat pendapatan laki-laki dan perempuan. Sedangkan GEM
indikatornya adalah persentase jumlah anggota DPR dari laki-laki dan perempuan,
persentase jumlah pegawai tingkat senior, manajer, profesional dan posisi
teknis dari laki-laki dan perempuan, serta perkiraan tingkat pendapatan
lai-laki dan perempuan.
Pengukuran angka kemiskinan dilakukan
dengan melihat beberapa aspek sebagai sebagai berikut:
a) Indeks
Pembangunan Manusia (IPM)
Mengukur
pencapaian suatu wilayah dalam tiga dimensi pembangunan manusia yang paling
esensial-lama hidup, tingkat pengetahuan, dan standar hidup yang layak. Indeks
tersebut dihitung dengan angka harapan hidup, angka melek huruf dan rata-rata
lama sekolah, dan pengeluaran perkapita.
b) Indeks
Kemiskinan Manusia (IKM)
Mengukur dimensi
yang berlawanan arah dari IPM, yaitu seberapa besar penduduk yang kurang
beruntung, tertinggal (deprived people),
karena tidak mempunyai akses untuk mencapai
standar kehidupan ang layak. Indeks tersebut dihitung menggunakan
prosentase penduduk yang tidak mencapai usia 40 tahun, prosentase penduduk buta
huruf, prosentase balita dengan status gizi kurang, prosentase balita dengan
status gizi kurang, prosentase penduduk tidak punya akses pada pelayanan
kesehatan dasar, sanitasi air bersih. Semakin besar penduduk suatu wilayah pada
situasi ini dipresentasikan oleh IKM yang semakin tinggi.
c)Indeks
Kehidupan Fakir Miskin
Mengukur
kesenjangan pencapaian, yaitu berapa upaya, dalam prosentase, yang masih harus
dilakukan/dicapai untuk membawa kondisi kehidupan fakir miskin di suatu wilayah
menuju standar kehidupan minimum yang layak. Dimensi yang diukur mencakup: (1)
situasi kelaparan atau sangat kurang kalori, (2) Kualitas hidup fakir miskin,
(3) Akses fakir miskin pada pelayanan sosial dasar dan pembangunan.
Di
Indonesia untuk mengetahui jumlah angka kemiskinan mengunakan lima
versi indikator kemiskinan, sebagai berikut:
- Versi Bank Dunia; kemiskinan diukur secara ekonomi berdasarkan penghasilan yang diperoleh orang miskin adalah mereka yang berpendapatan maksimal UU$ 2 per hari
- Versi International Labour Organization (ILO); Yaitu orang miskin di pedesaan jika pendapatan maksimal US$ 0,8.
- Versi BKKBN yang mendefinisikan kemiskinan dengan 5 indikator a) Tidak dapat menjalankan ibadah menurut agamanya, b) Seluruh keluarga tidak mampu makan dua kali sehari, c) Seluruh anggota keluarga tidak mempunyai pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja, sekolah dan berpergian, d) Bagian terluas rumahnya terdiri atas tanah, e) tidak mampu membawa keluarga jika sakit ke sarana kesehatan.
- Versi Dinas Kesehatan menambahkan kriteria tingkat akses pelayanan kesehatan pemerintah, ada anggota keluarga yang putus sekolah atau tidak, frekuensi makan makanan pokok per hari kurang dari dua kali dan kepala keluarga mengalami pemutusan hubungan kerja atau tidak.
- Versi BPS mendefinisikan miskin berdasarkan tingkat konsumsi makanan kurang dari 2100 kalori/kapita/per hari dan kebutuhan minimal non makanan (sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan). Disamping itu secara ekonomi BPS menetapkan penghasilan Rp. 175.324,- per bulan sebagai batas miskin perkotaan dan Rp. 131.256,- di pedesaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar