Kamis, 26 Maret 2015

KEMISKINAN DI PERKOTAAN

Indonesia tercatat sebagai negara  yang miskin atau negara dunia ke tiga, dalam konteks ini Indonesia dianggap sebagai negara yang belum mampu mensejahterahkan warganegaranya . Penyebab kemiskinan yang ada di Indonesia diakibatkan oleh multidensial. Berikut adalah data penduduk miskin seluruh wilayah Indonesia:

Jumlah Penduduk dan Penduduk Miskin Menurut Wilayah Pulau
Wilayah Pulau
Jumlah penduduk 1990-2000
Tingkat pertumbuhan
Penduduk
Presentasi penduduk miskin terhadap total jumlah penduduk
2005
2006
2007
Jawa
121.352.608
1,29
14,15
15,21
14,43
Sumatra
43.309.707
1,9
16,39
16,68
15,72
Kalimantan
11.331.558
2,38
11,49
11,49
10,08
Sulawesi
14.946.488
2,02
20,50
20,50
19,27
Bali, NTT/B
11.112.702
1,59
21,19
21,19
19,71
Maluku
1.990.598
0,28
22,88
22.88
21,55
Papua
2.220.934
2,35
41,43
41,43
40,55






Sumber Data : Jurnal Kebijakan Publik Edisi 3/2008

Data diatas memperlihatkan bahwa penduduk terbesar di seluruh wilayah Indonesia terkonsentrasi di pulau Jawa yakni sebesar 121.352.608 jiwa selanjutnya Sumatra sebesar 43.309.707 jiwa, Sulawesi sebesar 14.946.488, Kalimantan 11.331.558 jiwa, Bali,NTT,NTB sebesar 11.112.702 jiwa, Papua sebesar 2.220.934 jiwa dan Maluku sebesar 1.990.598 jiwa.
Data diatas menunjukan bahwa laju tingkat pertumbuhan penduduk  peringkat pertama terdapat di pulau Kalimantan (2,38%) disusul oleh  Papua (2,35%), Sulawesi (2,02%),, Sunatra (1,9%), Bali,NTT,NTB ( 1,59%), Jawa (1,29%) dan Maluku ( 0,28%).
Sedangkan  prosentasi peningkatan penduduk miskin terhadap total jumlah penduduk Indonesia dihitung mulai periode tahuan 2005 sampai dengan tahun 2007 peringkat pertama diduduki oleh pulau  Bali, NTT, NTB 1,48%, Kalimantan 1,41%, Maluku sebesar 1,33%,  Sulawesi 1,23 %,  Papua sebesar 0,88%, Sumatra sebesar 0,67%,  dan Jawa 0,28%. Data kemisinan tersebut terdapat di perkotaan dan perdesaan.
Ketika berbicara kemiskinan kita cenderung meyalahkan pemerintah tetapi sesungguhnya pemerintah telah melakukan berbagai upaya guna menurunkan angka kemiskinan melalui program-progran pengentasan kemiskinan.  Dalam konteks ini yang akan dibahas adalah kemiskinan di perkotaan.
Diberbagai kota besar, persoalan penanggulangan kemiskinan menjadi lebih sulit terealisasi, karena pertumbuhan kota yang terlalu ekspansif sering tidak diimbangi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi guna memberikan kesempatan kerja dan kesejahteraan sosial bagi penduduk yang bertambah cepat. Di kota kesempatan kerja yang tersedia biasanya lebih banyak di sektor formal dan jasa yang menuntut prasyarat pendidikan  tinggi, sehingga pilihan yang realistik bagi kaum migran yang umumnya kurang berpendidikan dan tak berkeahlian adalah masuk ke sektor informal kota, baik legal, nonlegal maupun yang ilegal. Tidak jarang terjadi, sebagian migran akhirnya berkembang menjadi permasalahan sosial tersendiri, seperti anak jalanan, gelandangan, pengemis, tunawisma, fakir miskin dan sejenisnya (Suyanto, 2005).
Secara umum, penduduk miskin diperkotaan umumnya menderita tekanan yang lebih dahsyat daripada penduduk pedesaan. Ada dua alasan yang menyebabkan kenapa di perkotaan pertambahan penduduk miskin pascakrisis lebih cepat daripada di pedesaan.

  •  Krisis cenderung memberi pengaruh terburuk pada beberapa sektor ekonomi utama di wilayah perkotaan, yang membawa dampak negatif terhadap pengangguran.
  • Penduduk perkotaan umumnya membutuhkan dana lebih besar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sementara penduduk pedesaan untuk sebagian masih dapat mengandalkan pada mekanisme subsistensi.
Kemiskinan yang diderita keluarga-keluarga miskin diperkotaan, bukan hanya tercermin dari kondisi di mana seseorang atau keluarga tidak memiliki pendapatan dan tabungan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi kemiskinan juga berkaitan dengan rendahnya kemampuan untuk berproduksi, tidak dimilikinya akses yang memadai terhadap fasilitas pendidikan, layanan kesehatan, rumah yang layak, fasilitas kredit, dan berbagai fasilitas lain serta tidak dimilikinya jaringan sosial yang menyebabkan penduduk miskin tidak dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan  bagi kehidupan mereka (Rutami, dalam: Suyanto dan Karnaji, 2005). Pendek kata, lebih dari sekedar persoalan tekanan ekonomi, kemiskinan sesungguhnya adalah persoalan yang kompleks dan banyak bertali-temali dengan aspek sosial, budaya, politik, dan bahkan perlindungan hukum.  
Kemiskinan secara faktual tidak dapat dipandang hanya sebagai sebab atau akibat saja namun harus dipahami sebagai hubungan kausalitas yang membentuk apa yang disebut lingkaran setan kemiskinan. Lingkaran setan kemiskinan ini terjadi akibat keterkaitan antara kemiskinan dengan pendapatan, pendidikan, konsumsi, kesehatan, produktivitas, investasi, tabungan dan produksi yang buruk
Seseorang atau keluarga yang jatuh miskin akibat situasi krisis yang tak kunjung usai, bisa dipastikan kualitas kehidupannya sebagai manusia akan menurun, bahkan tidak mustahil pelan-pelan collapc. Sebuah keluarga yang menghadapi tekanan kebutuhan hidup yang terus melambung tetapi tidak diimbangi dengan kemampuan yang memadai untuk memenuhinya, maka yang terjadi kemudian niscaya adalah cengkraman perangkap kemiskinan yang membuat keluarga miskin itu menjadi makin miskin dan tidak berdaya.    
Sumber : Depsos dan Kopma STKS Bandung, 2003, Hasil Penelitian Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial, Kopma STKS, Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar