1. Pengertan
Kemiskinan
Pengertian
kemiskinan sangat beragam, yaitu mulai dari sekedar ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi dasar hingga pengertian yang lebih luas dengan memasukkan
komponen-komponen sosial, budaya, dan politik. Definisi kemiskinan mengalami
perkembangan sesuai dengan penyebabnya yaitu, pada awal 1990-an definisi
kemiskinan telah diperluas tidak hanya berdasarkan tingkat pendapatan, tapi
juga mencakup ketidakmampuan di bidang kesehatan, pendidikan, perumahan, dan
sebagainya.
Belakangan
ini pengertian kemiskinan telah mencakup dimensi kerentanan, ketidakberdayaan,
dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi. Definisi orang miskin hanya dari sudut
pemenuhan konsumsi saja sudah tidak cukup karena: (1) pengertian ini sering tidak
berhubungan dengan definisi kemiskinan yang dimaksud oleh orang miskin itu
sendiri, dan tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; (2) pengertian
tersebut dapat menjerumuskan kepada kesimpulan yang salah, bahwa menanggulangi
kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai, dan (3)
pengertian tersebut telah terbukti tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan
ketika merumuskan kebijakan lintas sektoral dan bisa kontra produktif (Smeru,
2001).
Pengertian kemiskinan menurut berbagai pihak sangat
beragam, antara lain menurut:
Menko Kesra (2000), kemiskinan adalah suatu keadaan
kekurangan yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang di luar keinginan
yang bersangkutan sebagai kejadian yang tidak dapat dihindari dengan kekuatan dan
kemampuan yang dimilikinya yang disebabkan oleh berbagai faktor yang sangat
kompleks yang berinteraksi satu sama lain.
BKKBN (2002), kemiskinan adalah jumlah keluarga miskin
prasejahtera yang tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya; tidak mampu
makan 2 kali sehari; tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja dan
bepergian; bagian tertentu dari rumah berlantai tanah; dan tidak mampu membawa
anggota keluarga ke sarana kesehatan.
Bappenas
(2004) mendefinisikan
kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang
atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak
dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.
Hak-hak dasar masyarakat antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan
lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan
hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan
maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat
miskin ini, Bappenas menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain ;
pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan
(income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability
approach) dan pendekatan objective and subjective.
Fakir miskin adalah orang yang sama
sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mempunyai kemampuan
untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang
mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok
yang layak bagi kemanusiaan. (PP No. 42 Tahun 1981).
BPS (2009) penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki
rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Garis
Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan
yang disetarakan dengan 2.100 kalori per kapita per hari. Paket komoditi
kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian,
umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan,
buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Sedangkan Garis Kemiskinan Non Makanan
(GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan
kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar nonmakanan diwakili oleh 51 jenis
komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan. Dalam mengukur kemiskinan ini, BPS
menggunakan pendekatan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan
ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidak-mampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non makanan yang diukur dari sisi
pengeluaran.
Sedangkan definisi kemiskinan menurut Bank Dunia adalah
tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan pendapatan $ 1 per hari per jiwa
(Bank Dunia, 2004).
2. Indikator Kemiskinan
BAPPENAS memberikan
rumusan yang konkrit sebagai indikator utama kemiskinan adalah:
(1) terbatasnya
kecukupan dan mutu pangan;
(2) terbatasnya
akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan;
(3) terbatasnya
akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan;
(4) terbatasnya
kesempatan kerja dan berusaha;
(5) lemahnya
perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah;
(6) terbatasnya
akses layanan perumahan dan sanitasi;
(7) terbatasnya
akses terhadap air bersih;
(8) lemahnya
kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah;
(9) memburuknya
kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses
masyarakat terhadap sumber daya alam;
(10) lemahnya jaminan rasa aman;
(11) lemahnya partisipasi;
(12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya
tanggungan keluarga;
(13) tata kelola
pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam
pelayanan publik, meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap
masyarakat.
Indikator utama
kemiskinan menurut Bank Dunia adalah kepemilikan tanah dan modal yang
terbatas, terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan, pembangunan yang
bias kota, perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat, perbedaan sumber
daya manusia dan sektor ekonomi, rendahnya produktivitas, budaya hidup yang
jelek, tata pemerintahan yang buruk, dan pengelolaan sumber daya alam yang
berlebihan.
Sementara
indikator keluarga fakir miskin yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial RI
(2005: 15-16), yaitu :.
(1). Penghasilan rendah, atau berada di bawah garis kemiskinan yang dapat
diukur dari tingkat pengeluaran per orang per bulan berdasarkan standar BPS per
wilayah propinsi dan kabupaten/kota.
(2). Ketergantngan pada bantuan pangan kemiskinan (zakat/raskin/santunan
sosial).
(3). Keterbatasan kepemilikan pakaian yang cukup setiap anggota keluraga per
tahun (hanya mampu memiliki 1 stel pakaian lengkap per orang per tahun).
(4). Tidak mampu membiayai pengobatan jika ada salah satu anggota keluarga
yang sakit.
(5). Tidak mampu membiayai pendidikan dasar 9 tahun bagi anak-anaknya.
(6). Tidak memiliki harta yang dapat dijual untuk membiayai kebutuhan hidup
selama tiga bulan atau dua kali batas kemiskinan.
(7). Ada anggota keluarga yang meninggal dalam usia muda atau kurang dari 40
tahun akibat tidak mampu mengobati penyakit sjak awal.
(8). Ada anggota keluarga usia 15 tahun ke atas yang buta huruf.
(9). Tinggal di rumah yang tidak layak huni.
Secara umum
jika 3 (tiga) kriteria tersebut di atas terpenuhi, maka sebuah keluarga sudah
dapat dikategorikan sebagai keluarga miskin yang layak untuk memperoleh
pelayanan. Semakin banyak kriteria yang terpenuhi semakin fakir keluarga
tersebut dan harus diprioritaskan penanganannya. Untuk indikator rumah yang
tidak layak huni (sebagai indikator ke-9
di atas), dapat dilihat dari kriteria berikut :
(1). Luas bangunan sempit atau hanya mendukung fungsi ruang yang terbatas
(memiliki bagian ruangan yang tidak membedakan fungsi untuk ruang tamu, ruang
tidur, ruang makan, dan dapur) atau luas lantai per orang untuk keperluan
sehari-hari kurang dari 4 m2.
(2). Lantai masih dari tanah/bambu/diplester secara sederhana.
(3). Kesulitan memperoleh air bersih.
(4). Tidak memiliki tempat mandi, cuci pakaian dan membuang air besar (MCK) di
rumah sendiri yang memenuhi syarat kesehatan.
(5). Tidak mempunyai sirkulasi udara yang dapat memungkinkan sinar matahari
dan udara masuk rumah dengan baik.
(6). Dinding umumnya terbuat dari bambu/papan/bahan mudah rusak.
(7). Sanitasi lingkungan di sekitar rumah tidak sehat.
Secara umum
jika 2 (dua) kriteria tersebut di atas terpenuhi, maka sebuah rumah sudah dapat
dikategorikan sebagai rumah tidak layak huni. Semakin banyak kriteria yang
terpenuhi semakin tidak layak huni rumah tersebut, dan harus diprioritaskan
penanganannya.
3. Faktor
Penyebab Kemiskinan
Menurut Bank Dunia
(2003), menyatakan bahwa penyebab dasar kemiskinan adalah:
a. kegagalan
kepemilikan terutama tanah dan modal;
b.
terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana;
c. kebijakan
pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor;
d. adanya
perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang
mendukung;
e. adanya
perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi
tradisional versus ekonomi modern);
f. rendahnya
produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat;
g. budaya
hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan
lingkungannya;
h. tidak
adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance);
i. pengelolaan
sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.
Weber
(Swasono, 1987) menyatakan bahwa ideologi bukan hanya menentukan masalah yang
dianggap penting, tetapi juga mempengaruhi cara mendefinisikan masalah sosial
ekonomis dan bagaimana masalah tersebut diatasi. Ada tiga cara pandang untuk memahami suatu ideologi,
yaitu pandangan menurut pemikiran: (1). konservatisme, (2). liberalisme, dan
(3). radikalisme.
Kaum
konservatif memandang
bahwa kemiskinan bermula dari karakteristik orang miskin itu sendiri. Orang
miskin karena tidak mau bekerja keras, boros, tidak mempunyai rencana, kurang
memiliki jiwa wiraswasta, fatalis, dan tidak ada hasrat untuk berprestasi.
Orang miskin karena memiliki budaya kemiskinan yang mencakup karakteristik
psikologis, sosial dan ekonomi (Lewis, 1983).
Pandangan konservatif cenderung
melihat bahwa program-program pemerintah yang dirancang untuk mengubah sikap
mental masyarakat miskin merupakan usaha yang sia-sia karena akan memancing
manipulasi kenaikan jumlah kaum miskin yang ingin menikmati program pemerintah.
Dalam hal ini pemerintah juga dilihat sebagai pihak yang justeru merangsang
timbulnya kemiskinan.
Kaum
liberal memandang manusia sebagai makhluk yang baik tetapi sangat dipengaruhi
oleh lingkungan. Budaya kemiskinan hanyalah semacam realistic and situation adaptation pada lingkungan yang penuh
diskriminasi dan peluang yang sempit; sedangkan kaum radikal mengabaikan budaya
kemiskinan. Mereka menekankan peranan struktur ekonomi, sosial dan politik dan
memandang sebagai manusia makhluk yang kooperatif, produktif dan kreatif.
Kaum
liberal memandang orang miskin sebagai pihak yang mengalami kekurangan
kesempatan untuk memperoleh pendidikan, pelatihan, pekerjaan dan perumahan yang
layak, cenderung merasa optimis dengan kaum miskin dan menganggap mereka
sebagai sumberdaya yang dapat berkembang seperti orang-orang kaya. Bantuan
pemerintah dipandang sangat bermanfaat untuk direalisasikan.
Sedangkan
kaum radikal memandang bahwa kemiskinan disebabkan struktur kelembagaan ekonomi
dan politik. Oleh karenanya, kebijakan yang ditempuh adalah melakukan perubahan
kelembagaan ekonomi dan politik secara radikal.
Departemen Sosial (2005) mengkategorikan faktor penyebab
kemiskinan ke dalam dua hal, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
Internal sebagai faktor yang berasal dari dalam diri individu atau keluarga
fakir miskin itu sendiri yang menyebabkan terjadinya kemiskinan. Faktor internal tersebut berupa kekurang
mampuan dalam hal: a). Fisik, menyangkut kecacatan fisik,
kurang gizi, dan sakit-sakitan, b). Intelektual, misalnya kurang pengetahuan,
kebodohan, dan kekurangtahuan informasi, c). Mental emosional, misalnya kemalasan, mudah menyerah, putus asa,
dan tempramental, d). Spritual, misalnya sifat tidak jujur,
penipu, serakah, dan tidak disiplin, e). Sosial
psikologis, misalnya kurang motivasi, kurang percaya diri, depresi/ stres,
kurang relasi, kurang mampu mencari dukungan,
f). Keterampilan, misalnya tidak mempunyai keahlian yang sesuai dengan permintaan lapangan pekerjaan, g). Asset, yakni tidak memiliki stok kekayaan
dalam bentuk tanah, rumah, tabungan, kendaraan dan modal kerja.
Sedangkan faktor
eksternal adalah faktor-faktor yang berada diluar diri individu atau
keluarga fakir miskin yang menyebabkan terjadinya kemiskinan, antara lain: a).
Terbatasnya pelayanan sosial dasar, b). Tidak dilindunginya hak atas
kepemilikan tanah, c). Terbatasnya lapangan pekerjaan formal dan kurang
terlindunginya usaha-usaha sektor informal, d).
Kebijakan sektor perbankan terhadap layanan kredit mikro dan tingkat
bunga yang tidak mendukung sektor usaha
mikro, e). Belum terciptanya sistim ekonomi kerakyatan dengan prioritas sektor
riil masyarakat banyak, f). Sistem mobilisasi dan
pendayagunaan dana sosial masyarakat yang belum optimal, g). Dampak sosial
negatif program penyesuaian struktural (structural
adjusment program) budaya yang kurang mendukung kemajuan dan kesejahteraan,
h). Kondisi geografis yang sulit, tandus, terpencil, atau daerah bencana, i). Pembangunan
ekonomi yang lebih berorientasi fisik material, j). Pembangunan ekonomi antar
daerah yang belum merata, dan k). Kebijakan publik yang belum berpihak kepada
penduduk miskin.
saya nemuin artikel menarik nih yang ngebahas tentang sejumlah kesalahan yang bikin seseorang tidak pernah jadi kaya. Cek di sini ya: Kesalahan yang bikin kamu tidak pernah kaya, wajib dihindari!
BalasHapusMam, apa kabar..? Mksh referensinya... sehat2 yaaa 😊
BalasHapus