a. Pengertian Kemiskinan
Masalah kemiskinan merupakan isu sentral di tanah
air terutama setelah Indonesia dilanda oleh krisis multidensial yang memuncak
pada periode 1997-1999. Krisis multidensial terkait dengan ekonomi, sosial,
politik dan situasi personal individu.Kemiskinan merupakan bahaya laten dan
selalu ada dalam setiap kehidupan manusia. Kemiskinan juga dapat dikatakan
sebagai dampak dari kemajuan pembangunan dan kemiskinan sangat indentik dengan
kaum lemah yang membutuhkan pertolongan dan advokasi.
Menurut
Heru Nugroho (1995:38) kemiskinan adalah hasil produk dari konstruksi sosial,
sehngga yang dilakukan justru menimbulkan dominasi baru atau terjadinya
dialektika pembangunan. Dialektika pembangunan yang terjadi antara lain:
- Pembangunan yang diharapakan terjadi trikle down effect, justru menimbulkan trikle up effect karena daya sedot akumulasi capital lebih kuat ke pusat dibandingkan dengan pemertaan pembangunan melalui program-program anti kemiskinan;
- Pembangunan yang dilakukan hanya membebaskan “orang dari”, belum membebaskan”oang untuk”. Hal ini berarti bahwa pembangunan tersebut baru membebaskan diri dari rasa lapar, dan elum membebaskan diri untuk mengekspresikan kemmapuan diri dan mengoreksi pembangunan itu sendiri;
- Para akademisi terjebak dalam penelitian yang teknis sehingga rekomendasi bagi pengentasan kemiskinan hanya mencapai sasaran teknis, yang berupa dimensi kemiskinan yang bias diukur (material well being), dan tidak memperdayakan masyarakat itu sendiri, yang berupa social well being.
Pembangunan
yang ada selama ini dinggap sebagai pemicu utama dalam menciptakan kemiskinan
sebab pembangunan ekonomi yang selama ini dilakukan oleh pemerintah tidak
dibarengi dengan pembangunan di bidang kesejahteraan rakyat. Berbagai
pembangunan ekonomi seperti pembangunan infrastruktur tidak dibarengi dengan
pemenuhan kebutuhan masyarakat seperti dibukanya lapangan pekerjaan yang
disesuaikan dengan sumber daya masyarakat setempat di mana infrastruktur
tersebut dibangun seperti pembangunan mall.
Kondisi
ini secara otomatis menciptakan penggangguran dan menciptakan berbagai pesoalan
sosial seperti kesejangan, kriminalitas, pelacuran, anak jalanan dan anak
terlantar sebab masyarakat yang tidak mampu mengakses system sumber pekerjaan
mencari dan bertahan hidup dengan berbagai cara.
Program-program
atau bantuan-bantuan dari pemerintah selama ini dinilai belum tepat sasaran
karena baru hanya membebaskan mereka dari rasa lapar bukan dari rasa cara-cara
agar orang tidak kelaparan. Jadi bantuan yang diberikan hanya berupa bantuan
sesaat pada saat rasa lapar harus terpenuhi bukan berjangka panjang yang
membuat orang miskin mampu memenuhi kebutuhan sendiri.
Pemberantasan
kemiskinan memang harus melibatkan para akademisi yang memiliki tugas membuat
kerangka program untuk memerangi kemiskinan tetapi fungsi ini terasa mandul
karena para akdemisi hanya bekerja di belakang meja bukan turun langsung ke
lapangan sehingga program-progran yang di desain tidak sesuai dengan kebutuhan
masyarakat tetapi hanya sekedar mengejar target pekerjaan.
Berdasarkan Study SMERU, Soeharto (2006:132) menunjukan
Sembilan kriteria yang menandai kemiskinan :
- Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan komsumsi dasar (pangan, sandang dan papan);
- Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental;
- Ketidakmampuan dan keberuntungan sosial (anak telantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil);
- Rendahnya kualitas sumberdaya manusia (buta huruf, rendahnya pendidikan dan ketrampilan, sakit-sakitan) dan keterbatasan sumber alam (tanah tidak subur, lokasi terpencil, ketiadaan infrastruktur jalan, listrik,air);
- Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual (rendahnya pendapatan dan asset), maupun rendahnya modal sosial, ketiadaan fasilitas umum;
- Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang memadai dan berkesimbungan;
- Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi);
- Ketiadaan jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga atau tidak adanya perlindungan social dari Negara dan masyarakat);
- Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat.
Salah satu seseorang atau kelompok masyarakat dikatakan
miskin karena tidak mampu memenuhi kebutuhan primer, kesehatan dan pendidikan.
Ketiga unsur menjadi faktor penghalang bagi mereka untuk memperoleh dan
menikmati hidup yang layak.
Kemiskinan yang dialami oleh seseorang atau kelompok
dikarenakan banyak faktor seperti pendidikan yang rendah meyebabkan mereka
tidak mampu bersaing dalam mencari pkerjaan atau mendapatkan pekerjaan yang
layak dan hal ini menyebabkan mereka tidak memiliki sumber penghasilan yang
tetap sehingga pemenuhan kebutuhan terabaikan.
Kemiskinan sangat dekat dengan kaum lemah sebab mereka
rentan dengan goncangan dan kelompok lemah ini antara lain para janda, kelompok
wanita rawan sosial, anak-anak yang ditelantarkan orang tuanya, kekerasan`
dalam rumah tangga yang menimpa wanita dll
Kelompok yang lemah ini menjadi miskin karena tidak
memiliki aset dan keterlibatannya didalam berpatisipasi dengan lingkungan
mereka sehingga mereka tidak memndapatkan informasi dan jaringan kerja yang
sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk membantu pemecahan masalah mereka.
Menurut Prof Sutanyo Wignjosoebroto,MPA (2005:4) ciri-ciri
kemiskinan sebagai berikut :
- Mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan pada umumnya tidak memiliki faktor produksi.
- Mereka pada umumnya tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri.
- Waktu untuk mencari makan sehingga tidak ada lagi waktu untuk belajar. Demikian juga dengan anak-anak mereka, tak dapat meyelesaikan sekolah karena harus membantu orang tuanya mencari nafkah tambahan.
- Banyak diantara mereka yang tinggal di daerah pedesaan dan tidak mempunyai tanah garapan, atau kalaupun ada relative kecil sekali.
Mereka yang hidup dibawah garis
kemiskinan pada umumnya tidak memiliki faktor produksi, sendiri: tanah yang
cukup, modal ataupun ketampilan. Faktor produksi yang dimiliki umumnya sedikit,
sehingga untuk memperoleh pendapat menjadi sangat terbatas. Tidak adanya aset
inilah yang menjadikan salah satu penyebab mereka menjadi miskin. Seperti
misalnya para petani hanya bekerja sebagai buruh tani dengan imbalan yang tidak
seimbang dengan tenaga dan waktu yang telah dikeluarkan. Jika para petani mampu
memiliki tanah garapan sendiri maka hasilnya akan dapat dipergunakan untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya. Pendapatan yang diperoleh tidak cukup untuk
memperoleh tanah gararapan sendiri atau
memiliki modal usaha sendiri yang menjadikan mereka menjadi orang miskin.
Sementara mereka pun tidak memiliki
syarat untuk terpenuhinya kredit perbankan, seperti jaminan kredit dan
lain-lain, yang mengakibatkan mereka berpaling ke lintah darat yang biasanya
untuk pelunasannya meminta syarat-syarat
berat dan bunga yang amat tinggi.
Selama ini pula waktu yang dipergunakan habis
untuk mencari nafkah sehingga tidak ada waktu mendidik putra putrinya dan bagi
anak-anak mereka sendiri tidak ada lagi
waktu untuk belajar karena harus membantu mencari nafkah dan pemenuhan
kebutuhan keluarga.
Banyak diantara mereka yang tinggal di
daerah pedesaan dan tidak mempunyai tanah garapan, atau kalaupun ada relative
kecil sekali. Pada umumnya mereka menjadi, karena bekerja di pertanian
berdasarkan musiman, maka kesinambungan pekerjaan mereka menjadi kurang
terjamin. Banyak antara mereka lalu menjadi pekerja bebas (self employed) yang
berusaha apa saja. Akibat di dalam situasi penawaran tenaga tenaga kerja yang
besar, maka tingkat upah menjadi rendah sehingga mengurung mereka selalu hidup
dibawah garis kemiskinan. Didorong oleh kesulitan hidup di desa, maka banyak di antara mereka mencoba berusaha ke ota
(urbanisasi) untuk mengadu nasib.
Banyak di antara mereka yang yang
hidup di kota masih muda dan tidak mempunyai ketrampilan atau skill da pendidikan. Sedangkan
pemerintah tidak siap menampung gerak
urbanisasi penduduk desa itu. Di kota laju pertumbuhan industry menyertai
urbanisasi dan pertmbuhan kota sebagai penarik bagi masyarakat desa untuk
bekerja di kota, proses urbanisasi tidak sertai proses penyerapan enaga kerja
dalam perkembangan industry. Bahkan, sebaliknya, perkembangan tekhnologi di
kota justru menampik penyerapan tenaga
kerja, sehingga penduduk miskin yang pindah ke kota terdampar dalam
kantong-kantong kemelaratan (slumps).
b.
Indikator Kemiskinan
Indikator
untuk menentukan fakir miskin yang dimaksud menurut Departemen Sosial RI, (
2005 : 13-14 ) sebagai berikut:
- Penghasilan rendah, atau berada dibawah garis sangat miskin yang dapat diukur dari tingkat pengeluaran per orang per bulan berdasarkan standar BPS per wilayah propinsi dan Kabupaten Kota.
- Ketergantungan pada batuan pangan untuk penduduk miskin (seperti zakat/beras untuk orang miskin/santunan sosial).
- Keterbatasan kepemilikan pakaian untuk setiap anggota keluarga per tahun (hanya mampu memilki 1 stel pakaian lengkap per orang per tahun)
- Tidak mampu membiayai pengobatan jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit.
- Tidak mampu membiayai pendidikan dasar 9 tahun bagi anak-anaknya
- Tidak memilki harta (asset) yang dapat dimanfaatkan hasilnya atau dijual untuk membiayai kebutuhan hiodup selama tiga bulan atau dua kali batas garis sangat miskin.
- Tinggal dirumah yang tidak layak huni.
- Sulit memperoleh air bersih.
Indikator
kemiskinan berorientasi pada criteria hidup layak dimana dalam hali ini orang
miskin dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar, pendidikan, perumahan dan
kesehatan. Standar kehidupan yang layak adalah jika seseorang atau keluarga
mampu memenuhi kebutuhan makan, minum, sandang, memiliki tempat tinggal yang
layak bagi keluarganya, memiliki penghasilan, mampu menyekolahan anak-anaknya,
mampu mengakses system sumber kesehatan dan memiliki asset sebagai bahan
cadangan untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat mendadak atau sebagai modal
dalam mencari nafkah.
c.
Penyebab
Kemiskinan
Menurut Tansey dan Ziegley, 1991 dalam kemiskinan dan
keberfungsian sosial (2003:8) kemiskinan
mempunyai tiga penyebab prinsip yaitu:
- Human capital deficiencies, definisi modal sosial manusia berati rendahnya kualitas sumberdaya manusia, seperti rendahnya pengetahuan dan ketrampilan sehingga menyebabkan mendapatkan pekerjaan yang rendah pendapatannya dan rendahnya daya beli.
- Insufficient deman for labor, yakni rendahnya permintaan akan tenaga kerja sehingga meningkatkanpengangguran, pengangguran menyebabkan orang tidak memiliki pendapatan, daya beli rendah, akhirnya tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar.
- Diskrimination, adanya perlakuan berbeda terhadap golongan tertentu terutama dalam aksesibilitas terhadap sumberdaya-sumberdaya dan adanya dominasi pihak tertentu terhadap sumberdaya tersebut.
Penyebab dari ekmiskinan sangat kompleks dan hal ini tidak
dapat hanya bias dipahami dari satu sisi sebab pada hakekatnya kemiskinan
bersifat multidemensial artinya bahwa masalah ekonomi dipicu oleh
ketidakmampuan seseorang memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai
untuk mendapatkan pekerjaan. Pendidikan yang rendah mengakibatkan kaum lemah
tidak mampu mengakses system sumber ekonomi dimana mereka akan terkena imbas
sebagai seorang pengangguran dan tidak memiliki penghasilan sebagai alat untuk
memenuhi kebutuhan primer dan kebutuhan keluarga mereka.
Kondisi diatas menyebabkan dan menimbulkan ekses lain yakni
permasalahan sossial dimana kaum lemah tidak dapat hidup layak dan mendapatkan
perlakuak yang tidak adil oleh masyarakat di sekitar mereka tinggal sehingga
hak mereka terpangkas bahkan hak bicara dan mengungkapkan persoalan mereka.
Perlakuan diskriminasi ini menyebabkan mereka terkungkung dalam dubianya
sendiri sebagai orang miskin dan bahkan mereka menciptakan budaya sendiri
sebagai orang miskin. Jebakan kemiskinan sebenarnya adalah hasil dari kontruksi
social yang diciptakan oleh lingkungan dimana orang miskin tinggal.
d.
Kemiskinan Dalam Pandangan Pekerjaan Sosial
Secara konseptual pekerjaan sosial
memandang bahwa kemiskinan merupakan persoalan-persoalan multidimensional, yang
bermatra ekonomi-sosial dan individu-struktural (Suharto, 2005). Berdasarkan
perspektif ini, ada tiga kategori kemiskinan yang menjadi pusat perhatian
pekerjaan sosial, yaitu
- Kelompok yang paling miskin (destitute) atau yang sering didefinisikan sebagai fakir miskin.
- Kelompok rentan (vulnerable group). Kelompok ini dapat dikategorikan bebas dari kemiskinan, karena memiliki kehidupan yang relatif lebih baik ketimbang kelompok destitute maupun miskin. pertologan sosial.
- Kelompok miskin (poor). Kelompok ini memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan namun secara relatif memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar (misalnya, masih memiliki sumber-sumber finansial, memiliki pendidikan dasar atau tidak buta huruf).
Kelompok
yang paling miskin (destitute) atau yang sering didefinisikan sebagai
fakir miskin. Kelompok ini secara absolut memiliki pendapatan di bawah garis
kemiskinan (umumnya tidak memiliki sumber pendapatan sama sekali) serta tidak
memiliki akses terhadap berbagai pelayanan sosial. Pada tetataran ini pekerja
sosial memberikan pertolongan secara keselurahan secara bertahap dari mulai
membangkitkan semangat kelompok sampai dengan mereka memiliki kekuatan sendiri
untuk bangkit. Hal ini bisa ditempuh dengan berbgai cara salah satunya adalah
membentuk kelompok dalam satu masyarakat yang tidak hanya dapat dipergunakan
untuk alat proses pemberdayaan tetapi juga sebagai wadah mereka menghimpun
kekuatan-kekuatan individu yang disatukan menjadi kekuatan bersama atau
kekuatan kelompok untuk mencari solusi dan membuat tindakan bersama untuk
mengatasi persoalan mereka.
Kelompok
rentan (vulnerable group). Kelompok ini dapat dikategorikan bebas dari
kemiskinan, karena memiliki kehidupan yang relatif lebih baik ketimbang
kelompok destitute maupun miskin. Namun sebenarnya kelompok yang sering
disebut ”near poor” (agak miskin) ini masih rentan terhadap berbagai
perubahan sosial di sekitarnya. Mereka seringkali berpindah dari status
”rentan” menjadi ”miskin” dan bahkan ”destitute” bila terjadi krisis
ekonomi dan tidak mendapat pertologan sosial.
Kelompok
ini sebenarnya telah mampu mengatasi masalah mereka tetapi karena seringnya ada
gonjangan dalam kehidupn mereka menjadikan mereka terpuruh kembali menjadi
kelompok yang tidak memiliki kemampuan untuk bangkit untuk itu perpindahan
status mereka dari apling miskin ke agak miskin perlu mendapatkan penguatan
melalu pelatihan-pelatihan ketrampilan yang disesuaikan dengan kemmapuan mereka
agar mereka memiliki penghasilan dan penghasilan tambahan.
Kelompok
miskin (poor). Kelompok ini memiliki pendapatan di bawah garis
kemiskinan namun secara relatif memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar
(misalnya, masih memiliki sumber-sumber finansial, memiliki pendidikan dasar
atau tidak buta huruf). Kelompok ini memiliki kemampuan tetapi belum
mengoptimalkan sistem-sistem sumber yang ada di lingkungan mereka sehingga
mereka masih terjebak dalam kemiskinan seperti pemenuhan kebutuhan primer yang
belum spenuhnya dapat terjangkau. Dalam kelompok ini yang diperlukan adalah
mendekatkan mereka dengan sistem sumber agar mereka mampu mengatasi persoalan
hidup dengan pengetahuan yang mereka miliki dan pekerja sosial memobilsir
sistem sumber di sekitar mereka.
Pekerja
sosial memiliki peran ganda dan tidak hanya membantu proses pertolongan yang
berdasarkan pada kemampuan klien atau kelompok sasaran tetapi juga mencari
solusi dengan membuka jaringan dengan pihak luar yang terkait dengan
permasalahan yang dihadapi dengan klien. Seperti memberikan informasi,
pelatihan-pelatihan, pembinaan, kontrol sosial yang dilakukan bersama
masyarakat sekitar, memperngaruhi kebijakan pemerintahan yang ada di sekitar
kelompok sasaran dan melakukan advokasi sebagai bentuk pembelaan kepada kaum
lemah.
Dalam
menjalan pekerjaannya pekerja sosial memiliki tiga kerangka dasar yakni ilmu
pengetahuan, ketrampilan dan nilai pekerja sosial. Ke tiga unsur ini haris
dimiliki dan dikuasi oleh pekerja sosial terutama dalam mengatasi kemiskinan
yang merupakan sebuah wadah besar sebagi sekumpulan permasalahan sosial dan
sangat diharapkan dalam menangani permasalahandibutuhkan strategi dalam uapaya
untuk mencegah masalah baru di lingkungan kelompok sasaran.
Sumber :
- Depsos dan Kopma STKS Bandung, 2003, Hasil Penelitian Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial, Kopma STKS, Bandung.
- Suharto, Edi, 2009, Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia, Menggagas Model Jaminan Sosial Universal Bidang Kesehatan, Alfabeta, Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar