Indonesia tercatat sebagai
negara yang miskin atau negara dunia ke tiga, dalam konteks ini Indonesia dianggap sebagai negara
yang belum mampu mensejahterahkan warganegaranya . Penyebab kemiskinan yang ada
di Indonesia
diakibatkan oleh multidensial. Berikut adalah data penduduk miskin seluruh
wilayah Indonesia :
Jumlah Penduduk dan Penduduk Miskin Menurut Wilayah Pulau
Wilayah Pulau
|
Jumlah penduduk 1990-2000
|
Tingkat pertumbuhan
Penduduk
|
Presentasi penduduk miskin terhadap total jumlah penduduk
|
||
2005
|
2006
|
2007
|
|||
Jawa
|
121.352.608
|
1,29
|
14,15
|
15,21
|
14,43
|
43.309.707
|
1,9
|
16,39
|
16,68
|
15,72
|
|
11.331.558
|
2,38
|
11,49
|
11,49
|
10,08
|
|
14.946.488
|
2,02
|
20,50
|
20,50
|
19,27
|
|
11.112.702
|
1,59
|
21,19
|
21,19
|
19,71
|
|
Maluku
|
1.990.598
|
0,28
|
22,88
|
22.88
|
21,55
|
Papua
|
2.220.934
|
2,35
|
41,43
|
41,43
|
40,55
|
Sumber
Data : Jurnal Kebijakan Publik Edisi 3/2008
Data diatas memperlihatkan
bahwa penduduk terbesar di seluruh wilayah Indonesia terkonsentrasi di pulau
Jawa yakni sebesar 121.352.608 jiwa selanjutnya Sumatra sebesar 43.309.707
jiwa, Sulawesi sebesar 14.946.488, Kalimantan 11.331.558 jiwa, Bali,NTT,NTB
sebesar 11.112.702 jiwa, Papua sebesar 2.220.934 jiwa dan Maluku sebesar
1.990.598 jiwa.
Data diatas menunjukan bahwa
laju tingkat pertumbuhan penduduk
peringkat pertama terdapat di pulau Kalimantan (2,38%) disusul oleh Papua (2,35%), Sulawesi (2,02%),, Sunatra
(1,9%), Bali,NTT,NTB ( 1,59%), Jawa (1,29%) dan Maluku ( 0,28%).
Sedangkan prosentasi peningkatan penduduk miskin terhadap
total jumlah penduduk Indonesia dihitung mulai periode tahuan 2005 sampai
dengan tahun 2007 peringkat pertama diduduki oleh pulau Bali, NTT, NTB 1,48%, Kalimantan 1,41%, Maluku
sebesar 1,33%, Sulawesi 1,23 %, Papua sebesar 0,88%, Sumatra sebesar
0,67%, dan Jawa 0,28%. Data kemisinan
tersebut terdapat di perkotaan dan perdesaan.
Ketika berbicara
kemiskinan kita cenderung meyalahkan pemerintah tetapi sesungguhnya pemerintah
telah melakukan berbagai upaya guna menurunkan angka kemiskinan melalui
program-progran pengentasan kemiskinan.
Dalam konteks ini yang akan dibahas adalah kemiskinan di perkotaan.
Diberbagai kota
besar, persoalan penanggulangan kemiskinan menjadi lebih sulit terealisasi,
karena pertumbuhan kota yang terlalu ekspansif sering tidak diimbangi dengan
tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi guna memberikan kesempatan kerja
dan kesejahteraan sosial bagi penduduk yang bertambah cepat. Di kota kesempatan kerja yang tersedia
biasanya lebih banyak di sektor formal dan jasa yang menuntut prasyarat
pendidikan tinggi, sehingga pilihan yang
realistik bagi kaum migran yang umumnya kurang berpendidikan dan tak
berkeahlian adalah masuk ke sektor informal kota, baik legal, nonlegal maupun
yang ilegal. Tidak jarang terjadi, sebagian migran akhirnya berkembang menjadi
permasalahan sosial tersendiri, seperti anak jalanan, gelandangan, pengemis,
tunawisma, fakir miskin dan sejenisnya (Suyanto, 2005).
Secara umum,
penduduk miskin diperkotaan umumnya menderita tekanan yang lebih dahsyat
daripada penduduk pedesaan.
Ada dua alasan yang menyebabkan kenapa di perkotaan pertambahan penduduk miskin
pascakrisis lebih cepat daripada di pedesaan.
- Krisis cenderung memberi pengaruh terburuk pada beberapa sektor ekonomi utama di wilayah perkotaan, yang membawa dampak negatif terhadap pengangguran.
- Penduduk perkotaan umumnya membutuhkan dana lebih besar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sementara penduduk pedesaan untuk sebagian masih dapat mengandalkan pada mekanisme subsistensi.
Kemiskinan yang diderita keluarga-keluarga miskin
diperkotaan, bukan hanya tercermin dari kondisi di mana seseorang atau keluarga
tidak memiliki pendapatan dan tabungan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
hidup, tetapi kemiskinan juga berkaitan dengan rendahnya kemampuan untuk
berproduksi, tidak dimilikinya akses yang memadai terhadap fasilitas
pendidikan, layanan kesehatan, rumah yang layak, fasilitas kredit, dan berbagai
fasilitas lain serta tidak dimilikinya jaringan sosial yang menyebabkan
penduduk miskin tidak dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan bagi kehidupan mereka (Rutami, dalam: Suyanto dan Karnaji, 2005).
Pendek kata, lebih dari sekedar persoalan tekanan ekonomi, kemiskinan sesungguhnya
adalah persoalan yang kompleks dan banyak bertali-temali dengan aspek sosial,
budaya, politik, dan bahkan perlindungan hukum.
Kemiskinan secara faktual
tidak dapat dipandang hanya sebagai sebab atau akibat saja namun harus dipahami
sebagai hubungan kausalitas yang membentuk apa yang disebut lingkaran setan
kemiskinan. Lingkaran setan kemiskinan ini terjadi
akibat keterkaitan antara kemiskinan dengan pendapatan, pendidikan, konsumsi,
kesehatan, produktivitas, investasi, tabungan dan produksi yang buruk.
Seseorang atau keluarga yang jatuh miskin akibat situasi krisis yang tak kunjung usai, bisa dipastikan kualitas kehidupannya sebagai manusia akan menurun, bahkan tidak mustahil pelan-pelan collapc. Sebuah keluarga yang menghadapi tekanan kebutuhan hidup yang terus melambung tetapi tidak diimbangi dengan kemampuan yang memadai untuk memenuhinya, maka yang terjadi kemudian niscaya adalah cengkraman perangkap kemiskinan yang membuat keluarga miskin itu menjadi makin miskin dan tidak berdaya.
Sumber : Depsos dan Kopma STKS Bandung, 2003, Hasil Penelitian Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial, Kopma STKS, Bandung.
Seseorang atau keluarga yang jatuh miskin akibat situasi krisis yang tak kunjung usai, bisa dipastikan kualitas kehidupannya sebagai manusia akan menurun, bahkan tidak mustahil pelan-pelan collapc. Sebuah keluarga yang menghadapi tekanan kebutuhan hidup yang terus melambung tetapi tidak diimbangi dengan kemampuan yang memadai untuk memenuhinya, maka yang terjadi kemudian niscaya adalah cengkraman perangkap kemiskinan yang membuat keluarga miskin itu menjadi makin miskin dan tidak berdaya.
Sumber : Depsos dan Kopma STKS Bandung, 2003, Hasil Penelitian Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial, Kopma STKS, Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar