Sabtu, 20 Maret 2010

SITUASI POLITIK BERDAMPAK PADA KEMISKINAN DAN KESEMPATAN MEMPEROLEH PEKERJAAN

Angka kemiskinan di Indonesia semakin melambung tinggi pada era reformasi (1998) dan pada saat itu ekonomi Indonesia dalam keadaan terpuruk, sistem politik tidak tentu arahnya dan kemarahan masyarakat terakumulasi dalam aksi demo yang sangat brutal dan liar tanpa terkendalai. Tiba-tiba saja semua orang bisa marah, berperilaku beringas dan berbuat seenaknya tanpa memperhitungkan akibat dari tindakannya.

Data dari BPS tentang tenaga informal pada tahun 1993 sebanyak 70.250.000, tahun 1994 sebanyak 83.790.000, tahun 2000 sebanyak 97.380.000 dan tahun 2010 sebanyak 125.710.000

Ironisnya hukum tidak lagi dipandang sebagai pengendali dan penjaga norma, para aparat penegak hukum justru dilecehkan, dihina dan disiksa oleh masyarakat seolah-olah aparat tidak memiliki hati nurani dan keluarga. Pada saat itu supremasi hukum benar-benar lumpuh total ditambah peranan elit politik yang memanfaatkan masyarakat kecil yang miskin dan putus asa untuk melakukan tindakan radikal dan menjadi ”penguasa negara”.

Indonesia menjadi mundur 50 tahun ke belakang dimana pada era tahun 1960-an kemarahan rakyat juga berkobar dengan melambungnya harga-harga bahan pokok, pergolakan politik yang tidak menentu arahnya dan munculnya puluhan partai atas nama rakyat. Indonesia seperti menggulang sejarah kelamnya yang selama ini sudah dicoba untuk diperbaiki melalui pembangunan infra struktur dan suprastruktur.

Sebenarnya kalau kita mau jujur pada pemerintahan presiden Suharto kita telah banyak melakukan perubahan di bidang ekonomi, sosial, budaya dan struktural.

Pembangunan ekonomi ditunjukkan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, pembukaan lapangan kerja baik formal dan imformal, pembangunan pabrik-pabrik otomotif, pabrik sandang, pabrik pangan, pembukan perumahan type RSS dan RS yang ditujukan untuk orang miskin, pembangunan rumah susun untuk keluarga miskin, pelayanan kesehatan lansia dan bayi, bantuan pupuk untuk meningkatkan produksi pertanian, pembangunan jalan-jalan raya, harga-harga bahan pokok terjangkau, pembangunan alat-alat telekomunikasi.pembangunan tempat rekreasi untuk keluarga, keamanan terkendali, pembangunan rumah sakit, pembangunan dan peningkatan kualitas pendidikan, biaya transportasi yang relatif masih murah, pembangunan pasar-pasar tradisional dan dunia perbankan maju pesat.

Tentu dalam semua aspek ini ada kekurangannya., seperti adanya demo buruh informal yang di PHK secara semena-mena oleh para pengusaha yang hanya mengedepankan keuntungan bagi perusahaan yang dimilikinya, tidak memberikan tunjangan hari raya dan tidak memberikan cuti melahirkan serta cuti haid bagi pekerja informal wanita. Tetapi pada saat itu seolah-olah semua permasalahan dapat diselesaikan dengan cara yang halus tanpa harus melibatkan emosi masyarakat kecil, terlihat sekali bahwa bahwa wibawa pemerintah sungguh-sungguh sangat manis meskipun nampak angker tapi berwibawa.

Namun yang perlu dicermati secara bijak bahwa pasca presiden Suharto lengser keprabon permasalahan sosial tiba-tiba menjadi suguhan dan pemandangan setiap hari, dimana-mana merajela anak jalanan, prostituísi di jalan-jalan protokol, criminalitas tinggi, perkosaan, tawuran pelajar, pembunuhan yang hanya dipicu oleh hal-hal yang sepele dll. Hal ini semakin membuat rasa aman dan nyaman terganggu sehingga membuat para investor domestik dan asing lebih menyukai menarik modalnya sehingga membawa implikasi pada penutupan sejumlah bank, perusahaan besar dan penutupan pabrik-pabrik. Tentu hal ini membawa resiko dan dampak yang sangat buruk karena angka pegangguran semakin melambung tinggi, tidak terkendali dan muncul kelompok-kelompok yang mengekpresikan bentuk kemarahan dengan cara-cara yang tidak logis.

Berkaitan dengan hal diatas maka hal ini dapat dikorelasikan dengan besarnya surplus tenaga kerja yang menganggur dan tenaga kerja yang setengah menganggur. Di sini akan dibahas tenaga kerja yang informal. Secara garis besar tenaga kerja dibagi menjadi dua yakni tenaga kerja formal dan informal.

Tenaga kerja formal adalah suatu sektor kegiatan ekonomi yang berstandarisasi melalui deregulasi pemerintah seperti aspek perijinan, registrasi, standar kualitas pendidikan, ketenagakerjaan dan pajak. Pada sektor ini kesempatan setiap orang untuk mendapatkan kesempatan pekerjaan sangat terbatas sebab pemerintah tidak memiliki agenda yang pasti untuk membuka lowongan pekerjaan di sektor formal belum lagi jika hal ini dikaitkan dengan situasi politik yang kurang stabil, gangguan keamaan dan perang argumentasi diantara elit politik yang seringkali mencari pembenaran bukan mencari kebenaran.

Tenaga kerja informal adalah suatu kegiatan ekonomi yang merespon terhadap kemiskinan dimana tenaga informal ini tidak memiliki kontrak kerja tertulis sehingga dapat di PHK sewaktu-waktu tanpa uang pesangon , tunjangan hari tua dan upah yang sangat minim.

Menurut Santos (1984:8) mengatakan bahwa ” sektor informal dipandang sebagai usaha tradisional yang mandiri yang ketergantunganya terhadap tenaga kerja luar sangat kecil dan cenderunng memanfaatkan tenaga kerja dari kalangan tenaga terdekat”

Menurut pendapat Anne (2003:11) mengenai relasi buruh informal sbb: ” Relasi buruh-buruh di sektor informal biasanya merupakan relasi kerja berdasarkan perjanjian/kontrak tidak tertulis. Jenis kontrak seperti ini jelas dapat merugikan pihak-pihak yang memiliki posisi tawar menawar yang rendah (buruh)”.

Sedangkan keadaan buruh informal Anne mengatakan bahwa ” Faktor yang terpenting dalam buruh di sektor informal adalah cadangan buruh di kalangan ” menganggur” dan setengah menganggrur, kedudukan ini menjadi rawan karena banyak orang lain yang akan menggantikanya dan buruh mau tidak mau menerima kondisi kerja yang kurang memberikan jaminan ekonomi apalagi jamainan sosial baginya ”

Menurut WIEGO ” pengorganisasian pekerja buruh dapat memilih untuk bergabung dengan serikat-serikat yang sudah ada di perekonomian formal atau membentuk organisasinya sendiri secara independent. Ada keuntungan dan kerugian dari ke dua pendekatan tersebut. Organisasi sektor informal yang mandiri menjamis bahwa ada perhatian yang utuh terhadap berbagai persoalan yang mereka hadapai. Penggabungan ke serikat buruh formal akan dapat menggalang solidaritas di antara para pekerja informal”.

Tenaga di sektor informal memang rentan dengan kehilangan pekerjaan dan rentan konflik dikarenakan terjadinya persaingan yang semakin tinggi akibat dari banyaknya orang yang melirik sektor informal ini.

Disamping itu tenaga kerja informal memiliki kelemahan keterbatasan pendidikan dan relatif minim ketrampilan yang sebenarnya dapat menunjang pekerjaan yang digelutinya. Tidak dapat kita pungkiri juga bahwa tenaga informal hanya mengandalkan otot atau fisik secara kognitif memang mereka jauh dari harapan sehingga hal ini menjadi faktor penghambat tenaga kerja di sektor informal untuk bersaing dengan tenaga kerja lainnya.

Tenaga kerja informal mendapat upah yang sangat minim yang tidak akan mampu untuk menjangkau kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari belum lagi ancaman PHK yang dapat diberlakukan sewaktu-waktu oleh pihak pemilik modal atau penggusaha.

Kondisi tenaga informal yang sungguh sangat memprihatinkan semakin terpuruk dengan semakin tingginya harga-harga bahan pokok, tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, persaingan di bursa kerja, aksi demo, ketidak mampuan membayar premi asuransi dan tidak mendapat jaminan perlindungan sebagai tenaga kerja jika sewaktu-waktu mengalami kecelakaan kerja.

Situasi politik negara yang hanya saling berebut kekuasaan semakin membuat para pekerja di sektor informal merana menunggu nasib yang tidak menentu. Hal ini menjadi pemicu utama para tenaga informal bergabung dengan para penganggrur untuk melakukan aksi protes dan menggunakan media demo yang anarkis sebagai aksi protes kepada pemerintah dan bukti rasa frustasi yang mendapat karena mendapat perlakuan yang tidak adil di tempat dimana bekerja.

Ketidak-berdayaan mereka akan sangat memungkinkan melahirkan budaya kemiskinan bagi keturunan mereka sendiri sebab kungkungan dan himpitan kebutuhan hidup tidak seimbang dengan pencapaian pendapatan mereka sebagai tenaga kerja informal, Tentu hal ini pula sangat berimplikasi pada keberlangsungan kehidupan anak-anak mereka dan tidak jarang diantara anak-anak diterjunkan sebagai tenaga kerja di bawah umur yang bertujuan untuk membantu ekonomi keluarga.

Ketidak mampuan memiliki tempat tinggal layak dan tinggal di gang-gang kumuh dan hidup seadanya juga sangat memungkinkan untuk mendorong mereka mengalami rasa depresi, malas berusaha dan terbiasa dengan pola perilaku hidup yang mengarah pada mentalitas rendah.

KESIMPULAN
Kemiskinan yang dialami oleh para tenaga kerja informal dikatagorikan sebagai Kemiskianan Struktural, Kemiskinan Kultural dan Kemiskinan Sosial.

SOLUSI

  1. Sebaiknya para elit politik memikirkan kondisi rakyat sebab keberadaan mereka di Dewan adalah atas kepercayaan hati nurani rakyat.
  2. Sektor Pertanian di tingkatkan dan diberikan bantuan pupuk dan tanaman bibit unggul serta bantuan alat-alat pertanian.
  3. Pemerintah sebaiknya membuka lapangan pekerjaan melalui pembangunan infrastruktur.
  4. Pemberian kridit bagi usaha tardisional dan meningkat kualitas hasil domestik melalui pelatihan-pelatihan singkat.
REFERENSI :

1, Anne Friday Safaria dalam ” Hubungan Perburuhan di Sektor Informal” (2003).
2, Jurnal Analisis Kebijakan volume 8 no.3 Desember 2003 : ” Antara Informalisasi, Jaminan Sosial Dan Pengorganisasian Buruh 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar