Kamis, 26 Maret 2015

Tinjauan Tentang Kemiskinan


a.      Pengertian Kemiskinan
Masalah kemiskinan merupakan isu sentral di tanah air terutama setelah Indonesia dilanda oleh krisis multidensial yang memuncak pada periode 1997-1999. Krisis multidensial terkait dengan ekonomi, sosial, politik dan situasi personal individu.Kemiskinan merupakan bahaya laten dan selalu ada dalam setiap kehidupan manusia. Kemiskinan juga dapat dikatakan sebagai dampak dari kemajuan pembangunan dan kemiskinan sangat indentik dengan kaum lemah yang membutuhkan pertolongan dan advokasi.

Menurut Heru Nugroho (1995:38) kemiskinan adalah hasil produk dari konstruksi sosial, sehngga yang dilakukan justru menimbulkan dominasi baru atau terjadinya dialektika pembangunan. Dialektika pembangunan yang terjadi antara lain:
  • Pembangunan yang diharapakan terjadi trikle down effect, justru menimbulkan trikle up effect karena daya sedot akumulasi capital lebih kuat ke pusat dibandingkan dengan pemertaan pembangunan melalui program-program anti kemiskinan;
  • Pembangunan yang dilakukan hanya membebaskan “orang dari”, belum membebaskan”oang untuk”. Hal ini berarti bahwa pembangunan tersebut baru membebaskan diri dari rasa lapar, dan elum membebaskan diri untuk mengekspresikan kemmapuan diri dan mengoreksi pembangunan itu sendiri;
  • Para akademisi terjebak dalam penelitian yang teknis sehingga rekomendasi bagi pengentasan kemiskinan hanya mencapai sasaran teknis, yang berupa dimensi kemiskinan yang bias diukur (material well being), dan tidak memperdayakan masyarakat itu sendiri, yang berupa social well being.
Pembangunan yang ada selama ini dinggap sebagai pemicu utama dalam menciptakan kemiskinan sebab pembangunan ekonomi yang selama ini dilakukan oleh pemerintah tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang kesejahteraan rakyat. Berbagai pembangunan ekonomi seperti pembangunan infrastruktur tidak dibarengi dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat seperti dibukanya lapangan pekerjaan yang disesuaikan dengan sumber daya masyarakat setempat di mana infrastruktur tersebut dibangun seperti pembangunan mall.

Kondisi ini secara otomatis menciptakan penggangguran dan menciptakan berbagai pesoalan sosial seperti kesejangan, kriminalitas, pelacuran, anak jalanan dan anak terlantar sebab masyarakat yang tidak mampu mengakses system sumber pekerjaan mencari dan bertahan hidup dengan berbagai cara.
Program-program atau bantuan-bantuan dari pemerintah selama ini dinilai belum tepat sasaran karena baru hanya membebaskan mereka dari rasa lapar bukan dari rasa cara-cara agar orang tidak kelaparan. Jadi bantuan yang diberikan hanya berupa bantuan sesaat pada saat rasa lapar harus terpenuhi bukan berjangka panjang yang membuat orang miskin mampu memenuhi kebutuhan sendiri.

Pemberantasan kemiskinan memang harus melibatkan para akademisi yang memiliki tugas membuat kerangka program untuk memerangi kemiskinan tetapi fungsi ini terasa mandul karena para akdemisi hanya bekerja di belakang meja bukan turun langsung ke lapangan sehingga program-progran yang di desain tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat tetapi hanya sekedar mengejar target pekerjaan.

Berdasarkan Study SMERU, Soeharto (2006:132) menunjukan Sembilan kriteria yang menandai kemiskinan :
  •  Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan komsumsi dasar (pangan, sandang dan papan);
  • Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental;
  • Ketidakmampuan dan keberuntungan sosial (anak telantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil);
  • Rendahnya kualitas sumberdaya manusia (buta huruf, rendahnya pendidikan dan ketrampilan, sakit-sakitan) dan keterbatasan sumber alam (tanah tidak subur, lokasi terpencil, ketiadaan infrastruktur jalan, listrik,air);
  • Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual (rendahnya pendapatan dan asset), maupun rendahnya modal sosial, ketiadaan fasilitas umum;
  • Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang memadai dan berkesimbungan;
  • Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi);
  • Ketiadaan jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga atau tidak adanya perlindungan social dari Negara dan masyarakat);
  •  Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat.
Salah satu seseorang atau kelompok masyarakat dikatakan miskin karena tidak mampu memenuhi kebutuhan primer, kesehatan dan pendidikan. Ketiga unsur menjadi faktor penghalang bagi mereka untuk memperoleh dan menikmati hidup yang layak.

Kemiskinan yang dialami oleh seseorang atau kelompok dikarenakan banyak faktor seperti pendidikan yang rendah meyebabkan mereka tidak mampu bersaing dalam mencari pkerjaan atau mendapatkan pekerjaan yang layak dan hal ini menyebabkan mereka tidak memiliki sumber penghasilan yang tetap sehingga pemenuhan kebutuhan terabaikan.

Kemiskinan sangat dekat dengan kaum lemah sebab mereka rentan dengan goncangan dan kelompok lemah ini antara lain para janda, kelompok wanita rawan sosial, anak-anak yang ditelantarkan orang tuanya, kekerasan` dalam rumah tangga yang menimpa wanita dll

Kelompok yang lemah ini menjadi miskin karena tidak memiliki aset dan keterlibatannya didalam berpatisipasi dengan lingkungan mereka sehingga mereka tidak memndapatkan informasi dan jaringan kerja yang sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk membantu pemecahan masalah mereka.

Menurut Prof Sutanyo Wignjosoebroto,MPA (2005:4) ciri-ciri kemiskinan sebagai berikut :
  • Mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan pada umumnya tidak memiliki faktor produksi.
  • Mereka pada umumnya tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri.
  • Waktu untuk mencari makan sehingga tidak ada lagi waktu untuk belajar. Demikian juga dengan anak-anak mereka, tak dapat meyelesaikan sekolah karena harus membantu orang tuanya mencari nafkah tambahan.
  • Banyak diantara mereka yang tinggal di daerah pedesaan dan tidak mempunyai tanah garapan, atau kalaupun ada relative kecil sekali.
Mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan pada umumnya tidak memiliki faktor produksi, sendiri: tanah yang cukup, modal ataupun ketampilan. Faktor produksi yang dimiliki umumnya sedikit, sehingga untuk memperoleh pendapat menjadi sangat terbatas. Tidak adanya aset inilah yang menjadikan salah satu penyebab mereka menjadi miskin. Seperti misalnya para petani hanya bekerja sebagai buruh tani dengan imbalan yang tidak seimbang dengan tenaga dan waktu yang telah dikeluarkan. Jika para petani mampu memiliki tanah garapan sendiri maka hasilnya akan dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Pendapatan yang diperoleh tidak cukup untuk memperoleh tanah gararapan sendiri  atau memiliki  modal usaha sendiri  yang menjadikan mereka menjadi orang miskin.

Sementara mereka pun tidak memiliki syarat untuk terpenuhinya kredit perbankan, seperti jaminan kredit dan lain-lain, yang mengakibatkan mereka berpaling ke lintah darat yang biasanya untuk  pelunasannya meminta syarat-syarat berat dan bunga yang amat tinggi.

 Selama ini pula waktu yang dipergunakan habis untuk mencari nafkah sehingga tidak ada waktu mendidik putra putrinya dan bagi anak-anak mereka sendiri  tidak ada lagi waktu untuk belajar karena harus membantu mencari nafkah dan pemenuhan kebutuhan keluarga.

Banyak diantara mereka yang tinggal di daerah pedesaan dan tidak mempunyai tanah garapan, atau kalaupun ada relative kecil sekali. Pada umumnya mereka menjadi, karena bekerja di pertanian berdasarkan musiman, maka kesinambungan pekerjaan mereka menjadi kurang terjamin. Banyak antara mereka lalu menjadi pekerja bebas (self employed) yang berusaha apa saja. Akibat di dalam situasi penawaran tenaga tenaga kerja yang besar, maka tingkat upah menjadi rendah sehingga mengurung mereka selalu hidup dibawah garis kemiskinan. Didorong oleh kesulitan hidup di desa, maka banyak di antara mereka mencoba berusaha ke ota (urbanisasi) untuk mengadu nasib.

Banyak di antara mereka yang yang hidup di kota masih muda dan tidak mempunyai ketrampilan atau skill da pendidikan. Sedangkan pemerintah tidak siap menampung  gerak urbanisasi penduduk desa itu. Di kota laju pertumbuhan industry menyertai urbanisasi dan pertmbuhan kota sebagai penarik bagi masyarakat desa untuk bekerja di kota, proses urbanisasi tidak sertai proses penyerapan enaga kerja dalam perkembangan industry. Bahkan, sebaliknya, perkembangan tekhnologi di kota  justru menampik penyerapan tenaga kerja, sehingga penduduk miskin yang pindah ke kota terdampar dalam kantong-kantong kemelaratan (slumps).

b.            Indikator Kemiskinan
Indikator untuk menentukan fakir miskin yang dimaksud menurut Departemen Sosial RI, ( 2005 : 13-14 ) sebagai berikut:
  • Penghasilan rendah, atau berada dibawah garis sangat miskin yang dapat diukur dari tingkat pengeluaran per orang per bulan berdasarkan standar BPS per wilayah propinsi dan Kabupaten Kota.
  • Ketergantungan pada batuan pangan untuk penduduk miskin (seperti zakat/beras untuk orang miskin/santunan sosial).
  • Keterbatasan kepemilikan pakaian untuk setiap anggota keluarga per tahun (hanya mampu memilki 1 stel pakaian lengkap per orang per tahun)
  • Tidak mampu membiayai pengobatan jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit.
  • Tidak mampu membiayai pendidikan dasar 9 tahun bagi anak-anaknya
  • Tidak memilki harta (asset) yang dapat dimanfaatkan hasilnya atau dijual untuk membiayai kebutuhan hiodup selama tiga bulan atau dua kali batas garis sangat miskin.
  • Tinggal dirumah yang tidak layak huni.
  •  Sulit memperoleh air bersih.
Indikator kemiskinan berorientasi pada criteria hidup layak dimana dalam hali ini orang miskin dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar, pendidikan, perumahan dan kesehatan. Standar kehidupan yang layak adalah jika seseorang atau keluarga mampu memenuhi kebutuhan makan, minum, sandang, memiliki tempat tinggal yang layak bagi keluarganya, memiliki penghasilan, mampu menyekolahan anak-anaknya, mampu mengakses system sumber kesehatan dan memiliki asset sebagai bahan cadangan untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat mendadak atau sebagai modal dalam mencari nafkah.

c.             Penyebab  Kemiskinan
Menurut Tansey dan Ziegley, 1991 dalam kemiskinan dan keberfungsian sosial (2003:8)  kemiskinan mempunyai tiga penyebab prinsip yaitu:
  • Human capital deficiencies, definisi modal sosial manusia berati rendahnya kualitas sumberdaya manusia, seperti rendahnya pengetahuan dan ketrampilan sehingga menyebabkan mendapatkan pekerjaan yang rendah pendapatannya dan rendahnya daya beli.
  • Insufficient deman for labor, yakni rendahnya permintaan akan tenaga kerja sehingga meningkatkanpengangguran, pengangguran menyebabkan orang tidak memiliki pendapatan, daya beli rendah, akhirnya tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar.
  • Diskrimination, adanya perlakuan berbeda terhadap golongan tertentu terutama dalam aksesibilitas terhadap sumberdaya-sumberdaya dan adanya dominasi pihak tertentu terhadap sumberdaya tersebut.
Penyebab dari ekmiskinan sangat kompleks dan hal ini tidak dapat hanya bias dipahami dari satu sisi sebab pada hakekatnya kemiskinan bersifat multidemensial artinya bahwa masalah ekonomi dipicu oleh ketidakmampuan seseorang memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai untuk mendapatkan pekerjaan. Pendidikan yang rendah mengakibatkan kaum lemah tidak mampu mengakses system sumber ekonomi dimana mereka akan terkena imbas sebagai seorang pengangguran dan tidak memiliki penghasilan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan primer dan kebutuhan keluarga mereka.

Kondisi diatas menyebabkan dan menimbulkan ekses lain yakni permasalahan sossial dimana kaum lemah tidak dapat hidup layak dan mendapatkan perlakuak yang tidak adil oleh masyarakat di sekitar mereka tinggal sehingga hak mereka terpangkas bahkan hak bicara dan mengungkapkan persoalan mereka. Perlakuan diskriminasi ini menyebabkan mereka terkungkung dalam dubianya sendiri sebagai orang miskin dan bahkan mereka menciptakan budaya sendiri sebagai orang miskin. Jebakan kemiskinan sebenarnya adalah hasil dari kontruksi social yang diciptakan oleh lingkungan dimana orang miskin tinggal.

d.            Kemiskinan Dalam Pandangan Pekerjaan Sosial
Secara konseptual pekerjaan sosial memandang bahwa kemiskinan merupakan persoalan-persoalan multidimensional, yang bermatra ekonomi-sosial dan individu-struktural (Suharto, 2005). Berdasarkan perspektif ini, ada tiga kategori kemiskinan yang menjadi pusat perhatian pekerjaan sosial, yaitu
  • Kelompok yang paling miskin (destitute) atau yang sering didefinisikan sebagai fakir miskin.
  • Kelompok rentan (vulnerable group). Kelompok ini dapat dikategorikan bebas dari kemiskinan, karena memiliki kehidupan yang relatif lebih baik ketimbang kelompok destitute maupun miskin. pertologan sosial.
  • Kelompok miskin (poor). Kelompok ini memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan namun secara relatif memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar (misalnya, masih memiliki sumber-sumber finansial, memiliki pendidikan dasar atau tidak buta huruf).
Kelompok yang paling miskin (destitute) atau yang sering didefinisikan sebagai fakir miskin. Kelompok ini secara absolut memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan (umumnya tidak memiliki sumber pendapatan sama sekali) serta tidak memiliki akses terhadap berbagai pelayanan sosial. Pada tetataran ini pekerja sosial memberikan pertolongan secara keselurahan secara bertahap dari mulai membangkitkan semangat kelompok sampai dengan mereka memiliki kekuatan sendiri untuk bangkit. Hal ini bisa ditempuh dengan berbgai cara salah satunya adalah membentuk kelompok dalam satu masyarakat yang tidak hanya dapat dipergunakan untuk alat proses pemberdayaan tetapi juga sebagai wadah mereka menghimpun kekuatan-kekuatan individu yang disatukan menjadi kekuatan bersama atau kekuatan kelompok untuk mencari solusi dan membuat tindakan bersama untuk mengatasi persoalan mereka.

Kelompok rentan (vulnerable group). Kelompok ini dapat dikategorikan bebas dari kemiskinan, karena memiliki kehidupan yang relatif lebih baik ketimbang kelompok destitute maupun miskin. Namun sebenarnya kelompok yang sering disebut ”near poor” (agak miskin) ini masih rentan terhadap berbagai perubahan sosial di sekitarnya. Mereka seringkali berpindah dari status ”rentan” menjadi ”miskin” dan bahkan ”destitute” bila terjadi krisis ekonomi dan tidak mendapat pertologan sosial.

Kelompok ini sebenarnya telah mampu mengatasi masalah mereka tetapi karena seringnya ada gonjangan dalam kehidupn mereka menjadikan mereka terpuruh kembali menjadi kelompok yang tidak memiliki kemampuan untuk bangkit untuk itu perpindahan status mereka dari apling miskin ke agak miskin perlu mendapatkan penguatan melalu pelatihan-pelatihan ketrampilan yang disesuaikan dengan kemmapuan mereka agar mereka memiliki penghasilan dan penghasilan tambahan.

Kelompok miskin (poor). Kelompok ini memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan namun secara relatif memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar (misalnya, masih memiliki sumber-sumber finansial, memiliki pendidikan dasar atau tidak buta huruf). Kelompok ini memiliki kemampuan tetapi belum mengoptimalkan sistem-sistem sumber yang ada di lingkungan mereka sehingga mereka masih terjebak dalam kemiskinan seperti pemenuhan kebutuhan primer yang belum spenuhnya dapat terjangkau. Dalam kelompok ini yang diperlukan adalah mendekatkan mereka dengan sistem sumber agar mereka mampu mengatasi persoalan hidup dengan pengetahuan yang mereka miliki dan pekerja sosial memobilsir sistem sumber di sekitar mereka.

Pekerja sosial memiliki peran ganda dan tidak hanya membantu proses pertolongan yang berdasarkan pada kemampuan klien atau kelompok sasaran tetapi juga mencari solusi dengan membuka jaringan dengan pihak luar yang terkait dengan permasalahan yang dihadapi dengan klien. Seperti memberikan informasi, pelatihan-pelatihan, pembinaan, kontrol sosial yang dilakukan bersama masyarakat sekitar, memperngaruhi kebijakan pemerintahan yang ada di sekitar kelompok sasaran dan melakukan advokasi sebagai bentuk pembelaan kepada kaum lemah.

Dalam menjalan pekerjaannya pekerja sosial memiliki tiga kerangka dasar yakni ilmu pengetahuan, ketrampilan dan nilai pekerja sosial. Ke tiga unsur ini haris dimiliki dan dikuasi oleh pekerja sosial terutama dalam mengatasi kemiskinan yang merupakan sebuah wadah besar sebagi sekumpulan permasalahan sosial dan sangat diharapkan dalam menangani permasalahandibutuhkan strategi dalam uapaya untuk mencegah masalah baru di lingkungan kelompok sasaran.

Sumber :
  1. Depsos dan Kopma STKS Bandung, 2003, Hasil Penelitian Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial, Kopma STKS, Bandung.
  2. Suharto, Edi, 2009, Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia, Menggagas Model Jaminan Sosial Universal Bidang Kesehatan, Alfabeta, Bandung

KEMISKINAN DI PERKOTAAN

Indonesia tercatat sebagai negara  yang miskin atau negara dunia ke tiga, dalam konteks ini Indonesia dianggap sebagai negara yang belum mampu mensejahterahkan warganegaranya . Penyebab kemiskinan yang ada di Indonesia diakibatkan oleh multidensial. Berikut adalah data penduduk miskin seluruh wilayah Indonesia:

Jumlah Penduduk dan Penduduk Miskin Menurut Wilayah Pulau
Wilayah Pulau
Jumlah penduduk 1990-2000
Tingkat pertumbuhan
Penduduk
Presentasi penduduk miskin terhadap total jumlah penduduk
2005
2006
2007
Jawa
121.352.608
1,29
14,15
15,21
14,43
Sumatra
43.309.707
1,9
16,39
16,68
15,72
Kalimantan
11.331.558
2,38
11,49
11,49
10,08
Sulawesi
14.946.488
2,02
20,50
20,50
19,27
Bali, NTT/B
11.112.702
1,59
21,19
21,19
19,71
Maluku
1.990.598
0,28
22,88
22.88
21,55
Papua
2.220.934
2,35
41,43
41,43
40,55






Sumber Data : Jurnal Kebijakan Publik Edisi 3/2008

Data diatas memperlihatkan bahwa penduduk terbesar di seluruh wilayah Indonesia terkonsentrasi di pulau Jawa yakni sebesar 121.352.608 jiwa selanjutnya Sumatra sebesar 43.309.707 jiwa, Sulawesi sebesar 14.946.488, Kalimantan 11.331.558 jiwa, Bali,NTT,NTB sebesar 11.112.702 jiwa, Papua sebesar 2.220.934 jiwa dan Maluku sebesar 1.990.598 jiwa.
Data diatas menunjukan bahwa laju tingkat pertumbuhan penduduk  peringkat pertama terdapat di pulau Kalimantan (2,38%) disusul oleh  Papua (2,35%), Sulawesi (2,02%),, Sunatra (1,9%), Bali,NTT,NTB ( 1,59%), Jawa (1,29%) dan Maluku ( 0,28%).
Sedangkan  prosentasi peningkatan penduduk miskin terhadap total jumlah penduduk Indonesia dihitung mulai periode tahuan 2005 sampai dengan tahun 2007 peringkat pertama diduduki oleh pulau  Bali, NTT, NTB 1,48%, Kalimantan 1,41%, Maluku sebesar 1,33%,  Sulawesi 1,23 %,  Papua sebesar 0,88%, Sumatra sebesar 0,67%,  dan Jawa 0,28%. Data kemisinan tersebut terdapat di perkotaan dan perdesaan.
Ketika berbicara kemiskinan kita cenderung meyalahkan pemerintah tetapi sesungguhnya pemerintah telah melakukan berbagai upaya guna menurunkan angka kemiskinan melalui program-progran pengentasan kemiskinan.  Dalam konteks ini yang akan dibahas adalah kemiskinan di perkotaan.
Diberbagai kota besar, persoalan penanggulangan kemiskinan menjadi lebih sulit terealisasi, karena pertumbuhan kota yang terlalu ekspansif sering tidak diimbangi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi guna memberikan kesempatan kerja dan kesejahteraan sosial bagi penduduk yang bertambah cepat. Di kota kesempatan kerja yang tersedia biasanya lebih banyak di sektor formal dan jasa yang menuntut prasyarat pendidikan  tinggi, sehingga pilihan yang realistik bagi kaum migran yang umumnya kurang berpendidikan dan tak berkeahlian adalah masuk ke sektor informal kota, baik legal, nonlegal maupun yang ilegal. Tidak jarang terjadi, sebagian migran akhirnya berkembang menjadi permasalahan sosial tersendiri, seperti anak jalanan, gelandangan, pengemis, tunawisma, fakir miskin dan sejenisnya (Suyanto, 2005).
Secara umum, penduduk miskin diperkotaan umumnya menderita tekanan yang lebih dahsyat daripada penduduk pedesaan. Ada dua alasan yang menyebabkan kenapa di perkotaan pertambahan penduduk miskin pascakrisis lebih cepat daripada di pedesaan.

  •  Krisis cenderung memberi pengaruh terburuk pada beberapa sektor ekonomi utama di wilayah perkotaan, yang membawa dampak negatif terhadap pengangguran.
  • Penduduk perkotaan umumnya membutuhkan dana lebih besar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sementara penduduk pedesaan untuk sebagian masih dapat mengandalkan pada mekanisme subsistensi.
Kemiskinan yang diderita keluarga-keluarga miskin diperkotaan, bukan hanya tercermin dari kondisi di mana seseorang atau keluarga tidak memiliki pendapatan dan tabungan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi kemiskinan juga berkaitan dengan rendahnya kemampuan untuk berproduksi, tidak dimilikinya akses yang memadai terhadap fasilitas pendidikan, layanan kesehatan, rumah yang layak, fasilitas kredit, dan berbagai fasilitas lain serta tidak dimilikinya jaringan sosial yang menyebabkan penduduk miskin tidak dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan  bagi kehidupan mereka (Rutami, dalam: Suyanto dan Karnaji, 2005). Pendek kata, lebih dari sekedar persoalan tekanan ekonomi, kemiskinan sesungguhnya adalah persoalan yang kompleks dan banyak bertali-temali dengan aspek sosial, budaya, politik, dan bahkan perlindungan hukum.  
Kemiskinan secara faktual tidak dapat dipandang hanya sebagai sebab atau akibat saja namun harus dipahami sebagai hubungan kausalitas yang membentuk apa yang disebut lingkaran setan kemiskinan. Lingkaran setan kemiskinan ini terjadi akibat keterkaitan antara kemiskinan dengan pendapatan, pendidikan, konsumsi, kesehatan, produktivitas, investasi, tabungan dan produksi yang buruk
Seseorang atau keluarga yang jatuh miskin akibat situasi krisis yang tak kunjung usai, bisa dipastikan kualitas kehidupannya sebagai manusia akan menurun, bahkan tidak mustahil pelan-pelan collapc. Sebuah keluarga yang menghadapi tekanan kebutuhan hidup yang terus melambung tetapi tidak diimbangi dengan kemampuan yang memadai untuk memenuhinya, maka yang terjadi kemudian niscaya adalah cengkraman perangkap kemiskinan yang membuat keluarga miskin itu menjadi makin miskin dan tidak berdaya.    
Sumber : Depsos dan Kopma STKS Bandung, 2003, Hasil Penelitian Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial, Kopma STKS, Bandung.

PELAYANAN PRIMA

PELAYANAN PRIMA KEPADA SASARAN PELAYANAN
A.    AZAS PELAYANAN

  • Transparansi , dalam hal ini pelayanan publik harus bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
  •   Akuntabilitas, dalam hal ini pelayanan public dapat dipertanggung jawabkan.
  •  Kondisional, dalam kasus-kasus tertentu dibutuhkan penanganan yang tertentu pula .
  •  Partisipasi, melibatkan klien agar memudahkan dalam memberikan   pelayanan yang diperlukan
  • Tidak diskriminatif, tidak membedakan yang klien yang kaya dan miskin jadi semua klien harus dilayani sesuai dengan pelayanan yang dibutuhkannya
B.    PRINSIP PELAYANAN PUBLIK
  • Keserhanaan Prosedur,: prosedur pelayanan mudah dan tidak berbelit-belit
  • Kejelasan:  kejelasan dalam persyaratan tehnis dan administratif pelayanan, unit kerja yang berwenang dan tanggung jawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan, persoalan, sengketa atau tuntutan dalam pelaksanaan pelayanan .
  •  Kepastian waktu; pelayanan yang diberikan harus jelas berapa lama proses pelayanan yang harus diberikan atau dalam kurun waktu tertentu
  • Akurasi produk pelayanan publik: pelayanan harus akurat, benar, tepat dan sah.
  • Kelengkapan sarana dan prasarana: tersedianya sarana dan prasarana dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana tehnologi dan informasi serta komunikasi
  • Keamanan: proses dan produk pelayanan memberikan rasa aman dan kepastian hokum, tidak boleh terjadi intimidasi atau tekanan kepada masyarakat dalam pemberian pelayanan
  • Tanggung jawab, pimpinan penyelanggara pelayan atau pejabat yang ditunjuk bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan atau persoalan dalam mengakses pelayanan .
  •  Kemudahan akses, tempat dan lokasi pelayanan serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat dan dapat dimanfaatkan tehnologi telekomunikasi dan informatika.
  • Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan ,disiplin , sopan santun , ramah tamah dan sepenuh hati.
  • Kenyamanan tertib, tertaur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih dan rapi serta lingkungan yang indah dilengkapi dengan sarana ibadah.
C.    CAKUPAN STANDAR PELAYANAN
  •  Prosedur pelayanan
  • Waktu penyelesaian
  • Biaya Pelayanan
  • Produk Pelayanan
  • Sarana dan prasarana
  • Kompetensi petugas  pemeberi pelayanan
D.    MENGUKUR KEPUASAN PELANGGAN
  • Menuliskan tentang semua jenis-jenis pelayanan,siapa yang memberikan pelayanan dan terhadap siapa pelayanan itu akan diberikan
  • Diskusi dengan pelanggan tentang faktor-faktor kinerja dan tingkat pelayanan yang akan diberikan dari ketepatan waktu, kemudahan dihubungi, tingkat keahlian, fasilitas dan kemampuan memberikan pelayanan
  • Meminta pelanggan untuk memberikan nilai
  • Responden dipilih secara acak
  • Melakukan wawancara kepada pelanggan
  • Jawaban-jawaban dari pelanggan harus tanpa tekanan
  • Pada dasarnya pelanggan membutuhkan transparansi dan ingin berpartisipasi dalam peningkatkan pelayanan
Sumber : BKD Semarang, Diklat Custumer Service Exellent, 2013, Diklat Kota Semarang, Semarang

PROPOSAL PENELITIAN KOHESIVITAS KELOMPOK BURUH PELABUHAN KOTA SEMARANG

KOHESIVITAS KELOMPOK BURUH PELABUHAN DALAM PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DI PELABUHAN TANJUNG MAS SEMARANG KOTA SEMARANG  PROPINSI JAWA TENGAH
 DISUSUN OLEH MAHANENI
.(Berdasarkan Study Kasus Buruh Pelabuhan di Kota Semarang)

A. Latar Belakang Masalah. 
Manusia tidak dapat hidup sendiri dalam proses dan upaya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Manusia membutuhkan orang lain dalam menjalankan peran-peran dalam kehidupan serta dalam melaksanakan tugas-tugas dalam kehidupan, dibutuhkan orang lain dalam mewujudkan semua keinginan-keinginan yang telah mereka rencanakan dalam kemasan harapan-harapan saat ini dan harapan dimasa datang , untuk itulah manusia membutuhkan kelompok yang dianggap mampu merefleksikan impian-impian yang sudah mereka konstruksikan sebagai tujuan hidup.

Berdasarkan gambaran diatas maka kondisi tersebut dapat dikaitkan dengan kohesi. Secara umum kohesi dapat diartikan sebagai suatu ketertarikan/kekompakan/keeratan, sedangkan kelompok memiliki muatan yang berarti sebagai berkumpulnya dua orang atau lebih dalam satu tempat yang mengadakan hubungan verbal dan non verbal, yang bertujuan untuk membangun suatu relasi dengan orang lain dalam rangka mewujudkan menjalin kerjasama yang bersifat saling menguntungkan, saling bergantung dan saling membutuhkan atau dianggap mampu mewakili dan membantu atas harapan-harapan yang dimiliki oleh seorang dalam menjalankan proses pencapaian tujuan, baik yang menyangkut tujuan pribadi dan tujuan yang akan disepakati bersama.


Kohesi kelompok adalah keinginan seseorang menjadi anggota suatu kelompok dan bergabung dengan suatu kelompok dikarenakan adanya faktor dominan yang menguasi diri mereka yang berupa rasa ketertarikkan.


Ketertarikan seseorang untuk menjadi suatu anggota kelompok dipengaruhi oleh suatu persepsi yang ada pada dirinya, seseorang berharap dengan melibatkan diri sebagai anggota suatu kelompok, maka seseorang menganggap bahwa kelompok mampu menampung dan mewakili jiwa mereka dalam seperangkat harapan-harapan yang ingin diwujudkan dalam alam nyata, dengan kata lain seseorang menginginkan mimpi menjadi suatu kenyataan yang dapat menyenangkan hidup mereka, karena orang lain mampu membantu mewujudkan mimpi itu kedalam kehidupan nyata.


Berkenaan dengan pentingnya kedudukan kohesi yang menjadi faktor utama yang bersifat fundamental bagi keberadaan dan kelanggengan suatu kelompok yang akan diformulasikan secara kompleks kedalam kondisi faktual di lapangan yang menimpa kelompok buruh pelabuhan, maka peneliti terlebih dahulu akan memaparkan kondisi Kelompok Buruh Pelabuhan Kota Semarang ditinjau dari berbagai segi kehidupan mereka yang saat ini berjumlah empat puluh tenaga kerja.


Secara riil dipandang dari segi pendapataan buruh pelabuhan belum dapat dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan primer keluarga mereka. Mereka tidak memiliki gaji tetap, pendapatan buruh pelabuhan rata rata per hari berkisar lima belas ribu rupiah sampai dengan tiga puluh ribu rupiah, namun pendapatan harus dipangkas dua puluh persen sebagai biaya “keamanan” atau dengan kata lain kelompok buruh merelakan sebagian pendapatan mereka kepada pihak-pihak tertentu. Kondisi ini belum mengalami perubahan dari tahun ke tahun hingga saat ini


Dari segi jumlah anggota kelompok buruh saat ini sebanyak dua puluh lima tenaga kerja, dan sebagian besar berasal dari luar kota Semarang. Mereka adalah buruh yang bekerja dengan mengandalkan otot sebagai modal dalam bekerja mengangkut barang penumpang kapal atau yang turun dari kapal, jumlah ini dibagi menjadi dua trip. Trip pertama adalah tenaga buruh yang bekerja mengangkut barang dari area parkir kendaraan ke tempat ruang tunggu penumpang kapal, dan trip kedua adalah tenaga buruh yang bekerja mengangkut barang dari ruang tunggu kapal ke kapal.


Segi pendidikan buruh rata-rata hanya Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Dengan pendidikan yang sangat minim ini mereka hanya mampu menempati lowongan pekerjaan atau tempat pekerjaan sebagai buruh kasar atau digolongkan sebagai buruh kerah biru, dikatakan demikian, karena mereka dalam bekerja hanya mengandalkan otot bukan mengandalkan kognitif. Rata-rata jumlah anggota keluarga yang ditanggung buruh berjumlah tiga sampai empat orang per kepala keluarga.


Kondisi perumahan mereka sangat memprihatinkan, sebagian besar dari mereka menempati rumah tidak layak huni atau bahkan hanya mampu mengontrak rumah sebagai tempat tinggal sehari-hari. Letak rumah dengan tempat dimana mereka bekerja kira-kira berjarak satu kilo meter. Jarak ini dapat ditempuh dengan kendaraan umum berupa ojek dan becak atau menggunakan kendaraan sepeda motor bagi buruh yang memiliki sepeda motor pribadi.


Dari segi kesehatan mereka dapat mengakses pelayanan dibidang kesehatan melalui Pos Pusat Kesehatan Masyarakat atau Puskesmas yang tersedia di daerah pelabuhan, karena mereka belum mendapatkan pelayanan kesehatan dan pelayanan keselamatan kerja, dan pelayanan-pelayanan sosial lainnnya dari pihak pemerintah maupun pihak swasta .


Imbas dari kenaikan harga bahan bakar minyak membuat kehidupan kaum buruh semakin terpuruk dalam kemiskinan di bidang ekonomi atau pendapatan, sebab dengan diberlakukannya kenaikan harga bahan bakar minyak maka secara otomatis harga-harga kebutuhan pokok akan meningkat, dalam kondisi ini daya beli akan mengalami penurunan. 


Kenaikan harga bahan bakar minyak juga menyebabkan kapal-kapal yang masuk ke pelabuhan menjadi berkurang, kondisi ini secara otomatis memiliki dampak pada pendapatan buruh pelabuhan, dan yang lebih buruk lagi situasi ini mengakibatkan ketidak seimbangan antara jumlah tenaga kerja dengan jumlah muatan barang kapal yang masuk dan keluar dari pelabuhan. Situasi demikian mengakibatkan terjadi persaingan antar buruh yang menciptakan rawan konflik. 

Dalam jangka panjang kehidupan buruh yang sudah miskin akan semakin menjadi miskin dan kelak mereka akan mewariskan kepada generasi penerus mereka berupa kehidupan kemiskinan budaya atau melahirkan budaya kemiskinan secara turun temurun.

Berkaitan dengan kohesi kelompok yang diseleraskan pada kondisi faktual yang terjadi di kelompok buruh pelabuhan di Kota Semarang pada saat ini yang masih sangat memprihatinkan dan dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa keberadaan kelompok yang sebenarnya sudah ada belum mampu dipergunakan sebagai seperangkat alat yang mampu memecahkan masalah-masalah sosial yang mereka hadapi. Kelompok belum dioptimalkan menjadi tumpuhan dalam mewujudkan harapan-harapan para anggotanya. Keberadaan kelompok baru hanya berfungsi sebagai formalitas sekedar ada raganya saja, kelompok belum memiliki batin yang menjalankan roda aspirasi-aspirasi para anggotanya. 


Disisi lain para anggota belum menyadari sepenuhnya akan tanggung jawab mereka kepada kelompoknya, hal ini berarti para anggota kelompok belum memiliki jiwa “inklusif”. Inklusif berkenaan dengan tata cara rasa memiliki kelompok dalam rasa yang kental dan sangat kuat , karena inklusif mengandung jiwa keterpihakkan pada kelompoknya dalam bentuk berorientasi kepada kefanatikkan, jadi apabila terjadi salah satu anggota kelompok dikonfrontir oleh kelompok lain , maka seluruh anggota akan bersatu padu untuk bertindak sebagai pembela bagi anggotanya yang mengalami penindasan oleh kelompok lain, dengan demikian apabila setiap anggota memelihara rasa inklusif , maka keberadaan kelompok memiliki nilai prestise yang tinggi bagi setiap anggota dan dinilai oleh kelompok lain sebagai keadaan yang memiliki nilai eksklusif (meningkatkan status).


Para anggota kelompok juga belum melaksanakan kewajiban membayar iuran sebagai tanda legalisasi serta pengakuan diri mereka sebagai anggota kelompok buruh pelabuhan. Padahal dengan iuran wajib/dana tersebut setiap anggota dapat memperoleh keuntungan-keuntungan berlipat ganda, seperti dana dapat dipergunakan yang berkenaan dengan memperjuangkan hak-hak mereka dalam pelayanan jaminan kesehatan dan pelayanan jaminan pendidikan, contoh : dana dapat dikelola dan dipergunakan sebagai membayar premi asuransi keselamatan kerja dalam jangka tertentu, atau untuk membayar premi dana pendidikan bagi anak-anak mereka dalam jangka tertentu, membayar premi jaminan hari tua (mereka tidak mendapatkan uang pesangon dan pensiun). 


Para anggota kelompok buruh masih terpecah belah dalam memperjuangkan hak mereka dari segi peningkatan pendapatan, terlihat masih lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri, belum terlihat adanya suatu nilai kekompakan dalam menjalankan aktifitas-aktifitas mereka di lokasi pelabuhan sebagai buruh kasar, terbukti biaya untuk pengangkutan barang sangat bervariasi belum ada suatu kesepakatan bersama untuk standarisasi biaya pengangkutan barang baik barang yang diangkut dari area parkir ke tempat ruang tunggu penumpang kapal maupun yang dari lokasi ruang tunggu penumpang kapal ke kapal. 


Upah yang mereka terima berkisar antara lima ribu rupiah sampai sepuluh ribu rupiah per angkutan barang !. Mereka bekerja secara kelompok , di area parkir utama terlihat sepuluh orang tenaga buruh yang berpencar sesuai dengan lokasi yang mereka anggap strategis dimana para penumpang akan turun dari taxi atau kendaraan pribadi mereka.


Cara mereka menawarkan jasa pengangkutan masih terkesan berebutan, kurang familiar, belum lagi seragam yang dikenakan para buruh pelabuhan justru memproduksi keringat yang berlebihan yang menimbulkan bau kurang sedap (dalam bahasa Jawa “kecut, tengik, badek “) mengingat kota Semarang berudara sangat panas dan sedikit terjadi sirkulasi angin, udara panas memiliki temperatur antara tiga puluh sembilan derajat celsius sampai dengan empat puluh dua derajat celcius , kadang-kadang perilaku para tenaga buruh terkesan agak kurang etis dengan mengeluarkan kata-kata makian dalam bahasa Jawa yang biasa digunakan oleh orang jalanan atau bahasa kotor secara langsung dan tidak langsung yang melecehkan penumpang yang menggunakan jasa pengangkutan barang penumpang, sehingga penumpang merasa jijik dan marah lalu penumpang jadi membatalkan niat mereka untuk menggunakan jasa para buruh pelabuhan serta membwa barang bawaan mereka sendiri walaupun sebenarnya mereka kerepotan dan terasa berat. Ada juga yang merespon makian tersebut dengan kata “astafillurah alazim “. 


Pemandangan diatas mengambarkan bahwa belum adanya koordinasi bagi para tenaga buruh dalam menentukan lokasi tetap untuk mengangkut barang dan mendapatkan jasa yang diperoleh dari penumpang kapal.


Organisasi lokal yang ada saat ini hanya berupa Koperasi Bongkar Muat Barang (KBMB) yang memiliki wewenang untuk mengelola keberadaan buruh di pelabuhan dan menentukan penempatan wilayah kerja bagi tenaga buruh pelabuhan, namun pada kenyataannya Koperasi Bongkar Muat Barang belum mampu mengakomodir aspirasi dari para buruh, badan ini justru bersifat otoriter terhadap tenaga buruh pelabuhan terbukti dengan diberlakukannya aturan tidak tertulis, bahwa sebagian dari upah mengangkut barang harus masuk ke pos ini dan masuk ke pos para preman pelabuhan yang dianggap sebagai pengendali keamanan dan keselamatan tenaga buruh di wilayah pelabuhan terutama bagi tenaga buruh yang bekerja dimalam hari yang dikatakan sebagai biaya keselamatan kerja dalam jangka tertentu.


Peningkatan kesejahteraan sosial kaum/kelompok buruh pelabuhan Semarng tidak dapat dipisahkan dan dipengaruhi oleh perubahan sistem politik-ekonomi pasca reformasi yang melanda Indonesia medio tahun 1998, dimana pada saat itu krisis moneter melanda Indonesia yang berdampak luas terutama di sektor ekonomi yang berhubungan dengan ketenagakerjaan, jelas hal ini membawa implikasi yang signifikan hubungan buruh dengan pimpinan. Nasib kelompok buruh semakin termaginalkan, sedangkan pengusaha pemilik modal/kapital semakin menduduki tahta birokrasi. Buruh sebagai tenaga non informal yang mengandalkan otot dalam bekerja hanya bisa meratapi nasib tanpa tujuan yang pasti.


Berdasarkan latar belakang diatas yang merupakan kondisi faktual di pelabuhan Kota Semarang Jawa Tengah penulis berpendapat perlu adanya kohesivitas/keeratan/kekompakan didalam tubuh kelompok buruh yang bertujuan untuk mengakomodir aspirasi-aspirasi mereka dalam suatu tindakan yang terencana agar kelompok buruh dapat menyatukan keinginan mereka dalam satu tindakan dan penulis beranggapan perlunya tindakan secara kolektif untuk merumuskan alternatif-alternatif strategi yang dapat dimanfaatkan secara bertahap menyelesaikan permasalahan-permasalahan buruh pelabuhan. Hasil akhir dari penulisan karya ilmiah ini adalah menindaklanjuti hasil penelitian menjadi suatu program pemecahan masalah.


Alasan pemilihan lokasi di Pelabuhan Semarang berdasarkan hal-hal sebagai berikut:
1. Pendapatan buruh pelabuhan di Semarang belum mengalami perubahan dari tahun ke tahun .
2. Kelompok buruh pelabuhan di Semarang belum mampu mengakses sistem-sistem sumber.
3. Kesejahteraan Sosial kelompok buruh pelabuhan masih jauh dari harapan.


Berdasarkan paparan diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti “Bagaimana Kohesivitas Kelompok Buruh Pelabuhan Dalam Peningkatan Kesejahteraan Sosial di Pelabuhan Tanjung Mas Semarang Propinsi Jawa Tengah ?.”


B. Permasalahan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka penulis membuat perumusan masalah yang diajukan adalah “Bagaimana Kohesivitas Kelompok Buruh Pelabuhan Dalam Peningkatan Kesejahteraan Sosial di Pelabuhan Tanjung Mas Semarang Propinsi Jawa Tengah ?.”
Selanjutnya dapat dirumuskan dalam sub-sub problematik sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik informan?.
2. Bagaimana tingkat kohesi antar anggota kelompok buruh pelabuhan?
3. Bagaimana cara meningkatkan kohesi para anggota kelompok buruh pelabuhan?
4. Bagaimana cara pemenuhan kebutuhan interpersonal antar anggota kelompok buruh pelabuhan ?
5. Bagaimana cara kelompok buruh dalam mengembangkan dan memelihara keperpecayaan ?
6. Bagaimana konsekuensi para anggota yang bergabung dalam kelompok?
7. Bagaimana taraf kohesi sesama para anggota kelompoknya?


C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Sesuai dengan permasalahan penelitian yang telah dirumuskan, maka tujuan penelitian ini adalah:
a. Memperoleh gambaran karakteristik informan?.
b. Memperoleh gambaran tentang tingkat kohesi antar anggota kelompok buruh pelabuhan?
c. Memperoleh gambaran tentang cara meningkatkan kohesi para anggota kelompok buruh pelabuhan?
d. Memperoleh gambaran tentang cara pemenuhan kebutuhan interpersonal antar anggota kelompok buruh pelabuhan ?
e. Memperoleh gambaran cara kelompok buruh dalam mengembangkan dan memelihara keperpecayaan ?
f. Memperoleh gambarab tentang konsekuensi para anggota yang bergabung dalam kelompok?
g. Memperoleh gambaran tentang taraf kohesi sesama para anggota kelompoknya?


2. Manfaat
Manfaat penelitian berkaitan dengan pentingnya kohesi dalam suatu kelompok yang bermuara pada tujuan dan karakteristik kelompok selain itu da manfaat lain yaitu :
a. Manfaat praktis adalah sebagai landasan empirik bagi penyusunan program.
b. Manfaat konseptual yaitu memberikan sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak terkait dan aparat setempat serta memberikan sumbangan secara tidak langsung terhadap pekerjaan sosial dan praktek pekerjaan sosial. 


D. Landasan Teori
Kohesi dapat diilustrasikan sebagai sesuatu yang abstraks bisa dirasakan tetapi tidak dapat diraba, tetapi keberadaan kohesi memiliki kedudukan yang tinggi didalam kelompok dalam menentukan keberhasilan tujuan kelompok karena di dalam kohesi mengandung beberapa makna antara lain: tingkat kohesi ( aktivitas-aktivitas kelompok, ketepatan waktu, kepercayaan, dorongan, penerimaan dan rasa kegembiraan), meningkatkan kohesi (memperdalam kepercayaan), kebutuhan interpersonal (inklusi, kontrol dan afeksi), mengembangkan dan memelihara kepercayaan (mengemukakan pendapat, menumpahkan perasaan, informasi, opini, reaksi dan ide), konsekwensi dalam kohesi kelompok (norma, tanggung jawab, motivasi, kepuasan kerja dan produktifitas) dan taraf kohesi (kerjasama,demokrasi, organisasi, keanggotaan dan kedudukan) sebagaimana menurut pendapat Carolina Nitimihardjo dan Jusman Iskandar (1993:24-27).


E. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Tentang Kohesivitas.
Beberapa hal yang berkaitan dengan kohesi kelompok sebagaimana dijelaskan Carolina Nitimihardjo dan Jusman Iskandar (1993:24-27)
a.Tingkat Kohesi Kelompok.
Tinggi rendahnya kelompok dapat dilihat dari kehadiran anggota di dalam aktivitas–aktivitas kelompok, ketepatan waktu dalam setiap kegiatan kelompok, kepercayaan dan dorongan di antara anggota kelompok, penerimaan antar anggota kelompok dan kegembiraan yang dimiliki anggota kelompok.


b.Meningkatkan kohesi kelompok.
Cara yang efektif adalah membentuk hubungan yang kooperatif di antara anggota kelompok. Beberapa cara lainnya adalah memperdalam kepercayaan di antara anggota kelompok, mengekspresikan afeksi lebih jauh lagi diantara anggota kelompok, meningkatkan ekspresi, menerima, memperluas dan mengembangkan norma-norma yang menunjang individu diantara anggota kelompok lain.


c.Kebutuhan Interpersonal.
Manusia pada prinsipnya membutuhkan orang lain karena manusia hidup di dalam masyarakat, untuk itu harus memiliki keseimbangan antara dirinya dengan masyarakat. Hakekat sosial manusia dikarenakan kebutuhan-kebutuhan interpersonal. Ada tiga dasar kebutuhan interpersonal, yaitu inklusi, kontrol dan afeksi
.
Kebutuhan inklusi berkisar pada keanggotaan siapa di dalam dan di luar kelompok, siapa yang memiliki kelompok dan siapa yang tidak, siapa yang merupakan bagian dan kebersamaan kelompok dan siapa yang tidak, beberapa anggota menghendaki jalinan yang yang inklusif dan yang lain menghendaki lepas. 

Kontrol berkenaan dengan kekuatan hubungan di dalam kelompok, siapa yang berkuasa. Beberapa anggota menghendaki mempunyai pengaruh terhadap pengaruh banyak orang dan beberapa menghendaki tidak mempunyai pengaruh terhadap siapapun.
Afeksi berupa dalam bentuk hubungan yang terbuka dan bersifat pribadi, beberapa menghendaki hubungan yang terbuka dan hangat, yang lain menghendaki hubungan yang dingin dan ada jarak 


d. Mengembangkan dan memelihara kepercayaan.
Aspek yang essensial di dalam meningkatkan kohesi adalah mengembangkan dan memelihara kepercayaan di antara anggota kelompok. Kepercayaan adalah aspek paling penting karena merupakan kondisi yang dapat membuat kerja sama dengan stabil dan dapat berkomunikasi secara efektif. Makin tinggi tingkat kepercayaan di antara anggota kelompok, makin stabil pula kerja sama dan komunikasi yang efekif di antara anggota kelompok.
Pada kelompok yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi, anggota kelompok akan lebih terbuka mengemukakan pendapat, perasaan, reaksi, opini, informasi dan ide.


e. Konsekuensi dan kohesi kelompok.
Kelompok yang kohesif memiliki anggota yang loyal terhadap kelompok, mereka siap berpatisipasi dalam pertemuan–pertemuan kelompok,setuju dengan tujuan kelompok, lebih siap menerima tugas-tugas kelompok, mentaati norma-norma kelompok, memiliki tanggung jawab, motivasi tinggi dan merasa puas mengerjakan tugas–tugas kelompok yang dapat meningkatkan produktifitas kelompok.


f. Taraf kohesif ditentukan oleh beberapa faktor, misalnya :
1) Lebih mementingkan kerja sama daripada persaingan.
2) Lebih bersifat demokratis daripada otoriter atau liberal.
3) Adanya organisasi dalam kelompok.
4) Keanggotaan dalam kelompok kedudukan yang tinggi.
5) Kedudukan sentral dalam kelompok kedudukan yang rendah.


Pendapat Deutsh’s dalam cohevisiness (chap.3 page: 14) yang mengatakan bahwa hubungan kohesi dengan keberhasilan tugas seseorang jika ada dalam satu kelompok: Tujuan kelompok akan tercapai, motivasi anggota meningkat, dan tugas kelompok meningkat dan semakin baik.


Pendapat tersebut selaras dengan pendapat Back dalam cohevisiness (chap.3 page:18) yang telah melakukan survey tentang hubungan komunikasi dengan interaksi yang ada dalam suatu kelompok:
“Jika anggota berada dalam suatu kelompok menggunakan waktu lebih banyak untuk berbicara maka kohesi akan tinggi, tetapi hasil tugas menurun. Apabila waktu yang digunakan dikurangi maka kohesi berkurang pula, tetapi hasil tugas akan tinggi dan apabila tidak ada waktu yang digunakan untuk maka kohesi akan rendah dan tidak berhasil dalam tugas.”


2. Tinjauan Tentang Kelompok.
Pendapat demikian sesuai dengan pendapat dari Moreno tentang kelompok sebagai berikut:
“Kelompok-kelompok kecil seperti keluarga,regu kerja,regu belajar, di mana di dalam kelompok-kelompok itu terdapat suasana saling menolong, hingga kohesi kuat, dan kelompok yang makin kuat kohesinya, makin besar moralnya” (Slamet Santoso, 1992:5)
Sedangkan Cartwright dan Zender dalam buku dinamika kelompok, Abu Huraerah (2005:5), kelompok adalah sekumpulan individu yang melakukan hubungan dengan orang lain (sesama anggota) yang menunjukkan saling ketergantungan pada tingkatan yang berarti (Yusuf,1988:20-21)


3. Tinjauan Tentang Buruh.
Di Indonesia yang dimaksud dengan buruh telah diatur dengan Undang – Undang Ketenagakerjaan no.13 Tahun 2003 Bab I pasal 1.3 yang dimaksud dengan buruh adalah setiap orang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Kondisi buruh dan hubungannya dengan majikan dapat dikaitkan dengan pendapat dari Agus Sudono (1997:2) sebagai berikut :


Pengertian hubungan kerja dengan hubungan perburuhan, hubungan kerja dalam istilah ketenagakerjaan ialah:”hubungan yang langsung menyangkut antara pimpinan perusahaan dengan individu buruh”. Jadi,dalam hubungan kerja yang tersangkut hanya dua pihak,yaitu pengusaha dan individu buruh. Adapun hubungan perburuhan (industrial-relations) menurut pengertian yang lazim ialah”suatu sistem hubungan yang hidup antar semua pihak yang tersangkut dalam proses produksi untuk mencapai tujuan tertentu”. 


Dalam hubungan perburuhan , yang tersangkut bukan hanya dua pihak saja,yakni pengusaha dan buruh,tetapi lama kelamaan sebagai akibat kemajuan zaman, kemajuan industrialisasi,dan makin berkembangnya masalah ketenaga kerjaan dalam arti luas (human resources and manpower development) , maka hubungan berkembang yang menyangkut banyak pihak dan menjadi hubungan antara pengusaha, buruh, masyarakat dan pemerintah.

Penjelasan dari Imam Soepomo (2001:1) tentang hubungan buruh dengan majikan sbb:
“ Hubungan antara buruh dengan majikan ditetapkan kedudukan kedua belah pihak itu terhadap satu sama lainnya, berdasarkan rangkaian hak dan kewajiban terhadap majikan dan sebaliknya terhadap buruh. Ditegaskan pula bahwa hubungan bukan buruh dengan seorang bukan majikan, bukanlah hubungan kerja”


4. Tinjauan Kesejahteraan Sosial.
Mengacu pada pendapat Edi Suharto (2004:2), yang mengulas tentang kesejahteraan Sosial sebagai berikut:
Kesejahteraan sosial memiliki beberapa makna yang relatif berbeda, meski subtansinya tetap sama. Kesejahteraan sosial pada intinya mencakup tiga konsepsi, yaitu:
a. Kondisi kehidupan/keadaan sejahtera, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial.
b. Institusi, arena/bidang kegiatan yang melibatkan lembaga kesejahteraan sosial dan berbagai profesi kemanusiaan yang menyelenggarakan usaha kesejahteraan sosial dan pelayanan sosial.
c. Aktifitas, yakni suatu usaha yang terorganisir untuk mencapai kondisi sejahtera.


Pendapat dari Wolter.A.Friedlander (1968:10) yang dimaksud dengan kesejahteraan sosial adalah :
“Social Welfare “ is the organized system of social service and institution, designed to aid individuals and groups to attain satisfying standarts of life and health, and personal and social relationships which permit them to develop their full capacities and to promote their well being in harmony with the needs of their families and the community (Kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisir daripada pelayanan-pelayanan sosial dan lembaga, yang dimaksud untuk membantu individu dan kelompok agar tercapai standar-standar kehidupan yang kesehatan yang memuaskan, serta hubungan-hubungan perorangan dan sosial yang memungkinkan mereka berkembang segenap kemampuan dan meningkat kesejahteraan mereka selaras dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga maupun masyarakat)


Kesejahteraan Sosial dari penjelelasan yang diberikan oleh Elizabeth Wickenden adalah:
Kesejahteraan sosial mencakup berbagai undang-undang, program, keuntungan-keuntungan dan pelayanan yang menjamin dan memperkuat berbagai jenis penyediaan untuk memenuhi kebutuhan sosial dan berfungsi secara baik 


Di Indonesia kesejahteraan sosial telah tertuang dalam UU No.6 tahun 1974, sbb:
Suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spriritual yang meliputi rasa keselamatan , kesusilaan, dan ketentraman lahir batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak atau kewajiban-kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila.


5. Relevansi Masalah Penelitian dengan Pekerja Sosial
a. Pengertian Pekerjaan Sosial .

Menurut pendapat Max Siporin, D.S.W (1975:3) mengartikan pekerjaan sosial sebagai berikut :
“Social work is defined as social institutional method of helping people to prevent and resolve their social problems, to restore and enhance their social functiong” (Pekerjaan sosial sebagai metode yang bersifat sosial dan institusional untuk membantu orang mencegah dan memecahkan masalah-masalah mereka serta untuk memperbaiki dan meningkatkan keberfungsian sosial mereka). 


Sedangkan pendapat Allen Pincus dan Anne Minahan (1973:9) tentang pekerjaan sosial adalah:
”Social work is concerned with the interactions between people and their social social environment which affect the ability of people to accomplish their life task, alleviate distress, and realize their aspirations and values” (Pekerjaan sosial berkepentingan dengan permasalahan interaksi antara orang dengan lingkungan sosial, sehingga mereka mampu melaksanakan tugas-tugas kehidupan, mengurangi ketegangan, mewujudkan aspirasi dan nilai-nilai mereka).


Pendapat Charles Zastrow (1999) tentang pekerjaan sosial, yakni sebagai berikut:
”Social Work is the professional activity of helping individuals, groups, or communities to enhance or restore their capacity for social functioning and to create sociatal conditions favorable to their goals”(Pekerjaan sosial merupakan kegiatan profesional untuk membantu individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat guna meningkatkan atau memperbaiki kemampuan mereka dalam berfungsi serta menciptakan kondisi masyarakat yang memungkinkan mereka mencapai tujuan).


b.Tujuan Pekerjaan Sosial.
Menurut pendapat Pincus dan Minahan (1973:9) dalam buku Social Work Practice yang menyatakan tujuan dari pekerjaan sosial adalah:
(1) Enhance the problem solving and coping capacities of people (Mempertinggi kemampuan orang untuk memecahkan dan menanggulangi masalahnya).
(2) Link people with system that provide them with resourses, service, and opportunities (Menghubungkan orang dengan sistem-sistem yang menyediakan sumber-sumber, pelayanan-pelayanan dan kesempatan-kesempatan).
(3) Promote the effective and humane operation of these system (Meningkatkan pelaksanaan sistem-sistem tersebut secara efektif dan manusiawi).
(4) Contribute to the development and operation of these system (Memberikan sumbangan terhadap pembangunan dan kemajuan kebijakan sosial).


Mengacu pada pendapat Dean H. Hepworth dan Jo Ann Larsen (1982:16) menyatakan bahwa tujuan Pekerjaan Sosial adalah sebagai berikut :
“The purpose of social work is to promote or restore a mutually beneficial interaction between individuals and society in or to improve the quality of life for everyone” (Tujuan pekerjaan sosial adalah untuk mempromosikan atau memugar kembali suatu interaksi yang menguntungkan antara individu dan masyarakat atau untuk meningkatkan mutu hidup semua orang)


c. Peranan Pekerjaan Sosial
Pendapat Jim Ife (1995:117-127) yang membahas mengenai peran-peran pekerjaan sosial adalah sebagai berikut:
(1) Peran Fasilitator
Peranan fasilitator mengandung tujuan untuk memberikan dorongan semangat atau membangkitkan semangat kelompok sasaran atau klien agar mereka dapat menciptakan perubahan kondisi lingkungannya, antara lain:
• Animasi sosial
Bertujuan untuk mengaktifkan semangat, kekuatan, kemampuan sasaran yang dapat dipergunakan dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi dalam bentuk suatu kegiatan bersama, sedangkan dalam kondisi ini seorang pekerja sosial harus memiliki antusiasme yang tinggi yang dapat menciptakan terlaksananya kegiatan-kegiatan yang telah direncakan bersama klien atau kelompok sasaran. Antusiasme ini dapat diikat dengan komitmen bersama-sama kelompok sasaran.


• Mediasi dan negosiasi.
Peran ini dapat dimanfaatkan untuk meredam dan menyelesaikan ketika terjadi konflik internal maupun eksternal pada kelompok sasaran. Seorang pekerja sosial dalam hal ini harus bersikap netral tanpa memihak satu kelompok tertentu.


• Support.
Peran ini berarti memberikan dukungan moril kepada kelompok sasaran untuk terlibat dalam struktur organisasi dan dalam setiap aktivitas-aktivitas yang sedang berlangsung dan yang akan berlangsung dimasa datang .


• Peran broker/perantara.
Peran ini berkaitan dengan kemampuan pekerja sosial untuk menghubungkan masyarakat dengan sistem sumber atau bagaimana caranya masyarakat mampu mengakses sendiri sistem sumber untuk memecahkan masalah mereka.


(2) Peran Edukasi
Peran ini melibatkan peran aktif pekerja sosial didalam proses pelaksanaan semua kegiatan-kegiatan yang sudah direncanakan bersama kelompok sasaran sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan mereka. Dalam konteks ini dapat diwujudkan berupa pelatihan-pelatihan ketrampilan, misalnya: pelatihan tatacara pengambilan keputusan, pelatihan agenda rapat atau mengelola rapat, pelatihan administrasi surat-menyurat dan pelatihan pemanfaatan waktu luang yang mereka miliki.


(3) Peran Representatif.
Dalam peran ini pekerja sosial bertindak sebagai enabler atau sebagai agen perubahan, antara lain membantu klien menyadari kondisi mereka, mengembangkan relasi klien untuk dapat bekerja sama dengan pihak lain (networking ) dan membantu klien membuat suatu perencanaan.


F. Kerangka Pikir.
Kohesi diilustrasikan sebagai sesuatu yang abstrak bisa dirasakan tetapi tidak dapat diraba dalam wujud nyata, tetapi kohesi memiliki kedudukan tertinggi dalam kelompok dan tidak ada pembandingnya dengan hal lain, kohesi dapat juga diartikan sebagai dogma kelompok karena kohesi merupakan hal yang sangat fundamental bagi keberadaan sebuah kelompok dan merupakan alat untuk mencapai tujuan tujuan kelompok.


G. Metode Penelitian
1. Desain Penelitian.
Dalam penelitian ini digunakan latar alamiah dan memiliki tujuan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang memiliki makna. Makna adalah kondisi dan situasi yang sebenarnya dibalik data yang ada, tetapi tujuan utama penelitian bukan semata-mata untuk mencari kebenaran tetapi ditujukan pada pemahaman subjek terhadap lingkungan sekitar, barangkali yang dikatakan oleh subjek pada saat wawancara tidak sesuai dengan teori dan hukum, dengan alasan tersebut maka peneliti memilih menggunakan metode penelitian kualitatif yang dapat digunakan untuk lingkup mikro dan lingkup makro. 


Dalam metode kualitatif yang menjadi instrumen adalah peneliti, untuk itu seorang peneliti wajib memiliki pengetahuan teori dan wawasan yang cukup luas, yang akan digunakan untuk bertanya, menganalisis, memotret, membuat kontruksi objek sehingga akan terkuak lebih jelas dan lebih bermakna.
Berkaitan dengan kohesivitas kelompok buruh di pelabuhan untuk memahami unsur-unsur pokok yang harus ditemukan sesuai dengan sub-sub permasalahan dari rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian maka digunakan pendekatan metodologi penelitian kualitatif.


Penelitian kualitatif pada hakekatnya mengamati orang dengan perilakunya dan interaksi diantara mereka dan dengan interaksi sosial atau lingkungannya.


Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Kirk dan Miller (1986:9) dalam Moleong (2004:3) bahwa:
“Penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang–orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya”.


Dari pendapatnya Kirk dan Miller tersebut, maka pengamatan difokuskan pada interaksi buruh-buruh pelabuhan dan lingkungannya sebagai obyek penelitian. Sehingga data yang diperoleh berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau prilaku yang diamati.
(Bogman dan Taylor,1975;5 dalam Moleong ,2004;3)


Metode ini bertujuan untuk memberikan gambaran secara lengkap dan mendetail tentang orang dan perilaku yang diamati yang menjadi sasaran penelitian. Metode ini digunakan oleh peneliti untuk memberikan gambaran umum tentang kohesi kelompok buruh pelabuhan, fungsi kelompok, seperangkat pemahaman tentang dinamika kelompok, tentang kondisi dan situasi buruh pelabuhan, kesejahteraan sosial kelompok buruh dengan keadaan yang sebenarnya berdasarkan fakta yang ada dan sedang berlangsung saat ini dan yang akan datang.


Denzin Guba yang dikutip Agus Salim (2001:26) mengatakan bahwa metode penelitian kualitatif adalah:
Metode ini akan mengandalkan pada ungkapan tertulis dan verbal subjebtif mengenai arti yang diberikan oleh individu yang dipelajari, ungkapan ini merupakan jendela ke dalam kehidupan yang lebih dalam dari orang tersebut


Ini berarti bahwa data yang diperoleh dengan menggunakan metode kualititaf adalah data yang terperinci, yang merupakan data yang mengandung makna. Data-datanya merupakan data yang sebenarnya dan merupakan suatu nilai dibalik data yang tampak. 


Untuk itu, maka desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah study kasus. Pemilihan desain penelitian ini dengan tujuan agar penelitian dapat memberikan gambaran secara lebih mendetail, kasus yang diteliti termasuk kasus spesifik dan memungkinkan peneliti untuk belajar banyak dari informan ( yang memiliki informasi). Studi kasus adalah suatu pendekatan untuk mempelajari, menerangkan, atau menginterpretasi suatu kasus (case) dalam konteksnya secara natural tanpa adanya intervensi dari pihak luar (Baedhowi dalam Agus Salim, 2001 ;93)


Hal ini sesuai dengan pendapat Yin (1981:23) yang menyatakan bahwa :
A Case study is an empirical inquiry that
a. Investigates a contemporary phenomenon within its real – life context, when
b. The boundaries betwen phenomenon and context are not clearly evident, and in which
c. Multiple sources of evidence are used
(Studi kasus adalah suatu pemeriksaan empiris yang :
a. Menyelidiki suatu peristiwa dalam konteks yang nyata, ketika
b. Batasan antara peristiwa dan konteks tidak jelas, dan di mana
c. Menggunakan berbagai sumber bukti)


Penelitian ini merupakan suatu kegiatan untuk memahami kondisi nyata yang merupakan suatu kondisi sosial di masyarakat dalam seting alamiah. Artinya, obyek penelitian adalah situasi sosial yang ada dimasyarakat dan tidak ada intervensi atau rekayasa yang dilakukan oleh peneliti. Untuk mendapatkan data valid yang sesuai dengan kenyataannya dan menangkap makna dibalik kenyataan tersebut, peneliti memanfaatkan berbagai sumber data yang ada dilapangan. Dalam hal ini, sumber data tersebut adalah orang-orang yang berada dalam latar penelitian serta mereka yang memahami kondisi lapangan.


Kasus yang hendak diteliti adalah kehidupan kelompok buruh yang merupakan kumpulan individu-individu yang saling berinteraksi dan bekerjasama untuk memperoleh penghasilan yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Sejalan dengan hal tersebut, Mooney (1988) menyatakan bahwa:


Studi kasus dapat dilihat sebagai empat macam model pengembangan yang terkait dengan model analisisnya, yaitu: Kasus Tunggal dengan Single level Analysis (meyoroti perilaku individu atau kelompok individu dengan satu masalah penting), Kasus Tunggal dengan Multi level Analysis (meyoroti perilaku individu atau kelompok individu dengan berbagai tingkatan masalah penting), Kasus Jamak dengan Single level Analysis (meyoroti perilaku individu atau kelompok individu dengan satu masalah penting) dan Kasus Jamak dengan Multi level Analysis (meyoroti perilaku individu atau kelompok individu dengan berbagai tingkatan masalah penting).


Karena obyek penelitian adalah kelompok buruh, dengan sasaran untuk melihat kehesivitas diantara mereka, maka model analisis yang digunakan adalah kasus jamak dengan single level analisis, yaitu menyoroti perilaku individu atau kelompok individu dengan satu masalah; kohesivitas diantara mereka.


Pemilihan desain penelitian studi kasus karena memiliki beberapa kelebihan diantaranya, sebagai berikut :
a. Kasus penelitian menyajikan pandangan subjek yang diteliti.
b. Menyajikan informasi yang terfokus yang berisi pola-pola/karakter kasus.
c. Hasil penelitian disajikan dalam bahasa biasa sehingga lebih komunikatif.
d. Betul-betul empirik sesuai dengan konteksnya yang turut berperan dalam permainan fenomena, sehingga terpercaya.


2. Deskripsi Latar dan Sumber Data
Latar dalam penelitian ini adalah kelompok buruh pelabuhan di Pelabuhan Tanjung Mas Semarang Jawa Tengah dengan sistem latar tertutup dengan alasan latar tertutup memungkinkan terjadi keakraban antara peneliti dengan subjek yang diteliti pada saat dilakukan wawancara mendalam, dengan kata lain antara peneliti dengan subjek terlibat langsung dalam setiap kegiatan, bekerja sama, merupakan satu tim yang utuh dan solid dan saling percaya. Peneliti juga akan melakukan wawancara dengan signifikan other dan lingkungan sekitar kelompok buruh pelabuhan dengan tujuan akurasi data dan sebagai penunjang data digunakan rekaman dan foto yang menunjukkan tentang lokasi/latar penelitian sesuai dengan penelitian yang dilakukan dan sebagai study dokumentasi penelitian.


Hal ini sesuai dengan pendapat Moleong (2002:90) yang menyatakan bahwa: “Informan adalah orang-orang yang berada pada latar penelitian yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian”.


Sumber data dari informan diambil dengan menggunakan dua cara yaitu melalui keterangan orang yang berwenang dan melalui wawancara pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti. Informan yang akan diambil harus memenuhi persyaratan antara lain : jujur, taat pada janji, patuh pada peraturan, suka bercerita, anggota kelompok Koperasi Bongkar Muat Barang Pelabuhan, serta mempunyai pandangan tentang suatu peristiwa yang terjadi.


3. Tehnik Penelitian
Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan catatan tertulis, rekaman vidio/tape audio, pengambilan foto atau film dan data statistik melalui:


a. Obeservasi.
Observasi yang dilakukan adalah observasi partisipatif dimana penulis mengikuti kegiatan buruh dan pengamatan langsung sebagai dasar mendapatkan informasi yang lebih mendalam sekaligus sebagai pengecekan. 


Dalam melakukan observasi, peneliti menggunakan tekhnik semi community involvement dengan tujuan agar hubungan peneliti dengan informan akan akrab sehingga tumbuh rasa saling percaya, karena antara peneliti dan subjek terlibat langsung dalam setiap kegiatan penelitian dan keuntungan lain adalah informan sesuai dengan yang kita inginkan dan memiliki informasi yang banyak (purposive). Namun tetap menjaga batasan-batasan sebagai peneliti sehingga tidak larut dan data yang diperoleh tidak menjadi bias.

b. Wawancara mendalam ( indepth interview)
Wawancara mendalam adalah suatu wawancara yang dilakukan secara langsung atau bertatap muka dengan informan untuk mengetahui program-program kelompok buruh pelabuhan, gambaran tentang kohesi kelompok yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, gambaran tentang bentuk-bentuk kohesi kelompok buruh pelabuhan, serta gambaran tentang fungsi kelompok buruh dan hambatan-hambatan kelompok. 


c. FGD (Focus Group Diskusi)
Focus Group Discussion (diskusi kelompok terfokus) merupakan suatu proses pengumpulan informasi/data mengenai suatu permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui suatu diskusi kelompok ( Irwanto, 1998;1). Dengan teknik ini, peneliti melakukan diskusi secara terfokus dengan para buruh pelabuhan di pelabuhan Tanjung Mas Semarang untuk menemukan jawaban dari permasalahan penelitian dan sekaligus klarifikasi atas informasi yang diberikan, dan digunakan untuk mengetahui sejauhmana dinamika hubungan kelompok dan hubungan antar anggotanya.


Tahap-tahap FGD:
1) Pembentukan TIM.
Tidak semua orang mempunyai waktu luang untuk terlibat dalam kegiatan FGD yang sudah direncanakan, pembentukan TIM tidak hanya didasarkan pada siapa yang paling berpotensi, tetapi juga kapan yang bersangkutan dapat terlibat dan dalam peran atau tanggung jawab apa. Biasanya orang yang paling dikenal dalam kelompok atau organisasi merupakan calon anggota tim yang baik, tetapi jika tidak mempunyai kemampuan, maka dapat diganti dengan orang di luar anggota. Setiap FGD kita membutuhkan: satu moderator, satu pencatat proses, satu penghubung peserta, dan satu atau dua orang logistik dan bloker (orang yang bertanggung jawab mengalihkan pengganggu).


2) Mencari dukungan.
Kita dapat mencari dukungan dari lingkungan informal dan formal dengan tujuan peserta diskusi merasa aman membicarakan masalah pribadi mereka tanpa rasa takut, tertekan dan cemas. Peserta diskusi harus terbebas dari rasa untuk merasa diselidiki mengenai permasalahan mereka. Dukungan dari pihak informal didasarkan pada pihak tersebut dapat memberikan informasi siapa-siapa saja yang akan dilibatkan dalam diskusi dan dukungan dari pihak formal difokuskan pada orang yang berkompeten dengan diskusi dan bersifat mendukung.


3) Mencari Blocker yang baik.
Dalam FGD peran bloker berfungsi sebagai pengalihkan pihak-pihak pengganggu diskusi, biasanya yang paling klise adalah anak-anak. Bloker harus disediakan lebih dari satu orang.


4) Memilih tempat.
FGD dapat dilakukan di mana saja namun pemilihan tempat yang tepat akan membawa pengaruh pada keberhasilan tujuan dari FGD. Pemilihan tempat harus aman bagi peserta diskusi untuk mengungkapkan pendapat.


5) Transportasi.
Transportasi menjadi pertimbangan persoalan penting dalam penyelenggaraan FGD dengan alasan-alasan: 1. Kita meminta bantuan peserta untuk memperoleh informasi, karenannya kita wajib menjaga agar peserta tidak dirugikan sedikitpun, seperti jika peserta harus membayar transportasi sendiri, 2. Waktu yang telah dialokasikan untuk FGD juga terbatas dengan pemberian bantuan dana transportasi penggunaan waktu dapat lebih terkendali, 3. Kita menginginkan partisipasi maksimal.


4. Tehnik Pemeriksaan Keabsahan Data
Untuk memastikan bahwa data yang diperoleh merupakan data yang valid, maka diperlukan pemeriksaan keabsahan data. Menurut Moleong (2002:175-181), pemeriksaan keabsahan data dapat dilakukan melalui:
a. Ketekunan pengamatan :
Peneliti melakukan pengamatan dengan teliti, rinci dan berkesinambungan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi fenomena penelitian. Ketekunan pengamatan dimaksudkan untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan penelitian.


b. Triangulasi.
Triangulasi adalah pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Dalam triangulasi peneliti melakukan hal-hal sebagai berikut :
1) Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
2) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi.
3) Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.
4) Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang.
5) Kecukupan referensi : bahan-bahan yang tercatat atau terekam dapat digunakan sebagai patokan untuk menguji sewaktu diadakan analisis dan penafsiran data.


5. Rancangan Analisis Data
Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Adapun proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Data tersebut kemudian direduksi dengan membuat abstraksi. Langkah selanjutnya adalah menyusunnya dalam satuan-satuan. Satuan-satuan ini kemudian dikategorikan dengan membuat koding. Tahap akhir dari kegiatan ini adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data.


H. Jadwal dan Langkah – Langkah Penelitian
a. Tahap Pra lapangan
Dalam tahap ini yang dilakukan adalah menyusun rancangan penelitian, memilih lapangan penelitian, mengurus perijinan, menjajaki dan menilai keadaan lapangan, memilih dan memanfaatkan informan, menyiapkan peralatan penelitian.


b. Tahap Pekerjaan Lapangan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam tahap pekerjaan lapangan adalah memahami latar penelitian, memasuki lapangan, dan berperan serta dalam penelitian sambil mengumpulkan data

.
c.Tahap Analisis Data
Membuat konsep dasar data (proses mengatur urutan data,mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, katagori dan satuan uraian dasar), menemukan tema dan merumuskan hipotesis serta menganalisis berdasarkan hipotesa.


d. Jadwal Penelitian
Jadwal dipergunakan dengan tujuan penelitian yang akan dilakukan terencana dengan baik, dengan demikian akan dapat mendapatkan hasil yang maksimal dan terstruktur.


Jadwal penelitian adalah sebagai berikut :
1. Studi literatur
2. Pengajuan topik dan lokasi
3. Penyusunan proposal
4. Seminar
5. Pengumpulan data
6. Bimbingnan Penulisan
7. Penyelesaian
8. Pengesahan 


DAFTAR PUSTAKA
Sumber-sumber dari buku:

  1. A.Friedlander, Walter, 1968, Introduction to Social Welfare, Englewood Cliffs, New Jersey
  2. Damin, Sudarwan. Prof. DR, 2004, Motivasi Kepemimpinan dan Efektifitas Kelompok, Rineka Cipta PT, Jakarta
  3. Hudri. Drs, 1994, 432 Istilah untuk Pekerjaan Sosial, BP LTS, Bandung.
  4. Huraerah, Abu. Drs, M. Si, 2006, Dinamika Kelompok; Konsep dan Aplikasi, Aditama, Bandung.
  5. Ife, Jim, 1995, Community Development Creating, Community Aternatif– Vision Analysis and Practice, Logman Ply Ltd, Australia.
  6. Irwanto,Ph.D, 1998, Focus Group Discussion (FGD): Sebuah Pengantar Praktis, Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.
  7. Lab. Pusat Data Hukum, Fak Huk UAJY, 2006, Himpunan Lengkap UU Bidang Perburuhan, Andi CV, Yogyakarta.
  8. Moleong, Lexy, 2004, Metodologi Penelitian Sosial, Remaja Rosdakarya PT, Bandung.
  9. Minahan, and Pincuss, 1976, Social Work Pratice :Model and Methode, F.E Peacock Publishers,Inc,Illinois.
  10. Safaria, Anne Friday Cs, 3003, Hubungan Perburuhan di Sektor Informal, Akatiga, Bandung.
  11. Soekanto, Soejono. Prof, Dr., 1986, Pengantar Sosiaologi Kelompok, Remaja Karya CV, Bandung.
  12. Sudono, Agus, 1997, Perburuhan dari masa ke Masa, Pustaka Cidesindo PT, Jakarta.
  13. Santoso, Slamet. Drs. M. Pd., 2004, Dinamika Kelompok, Sinar Grafika Offset, Jakarta.
  14. Suharto, Edi. Ph. D, 2005, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Aditama, Bandung.
  15. Sukoco,Dwi Heru, 1998, Profesi Pekerjaan Sosial dan Proses Pertolongan, Kopma STKS, Bandung
  16. Sugiono.Prof.Dr., 2005, Memahami Peneltian Kwalitatif, Alfabeta, Bandung.
  17. Team BDS 12, 1999, Soscial Group Work, Community Oraganization and Community and Sosial Case Work, Kopma STKS, Bandung.

Sumber-sumber lain:

  • http://www,udel.edu/communication/COMM356/point/Chap.3.htm
  • http://www.akatitga.or.id/isu buruh-buruh.htm